Blonjo Kebutuhan, Sambung Seduluran
Dulur, aku mau cerita sedikit.
Awalnya membaca kalimat tagline dari hajatan teman-teman Bangbangwetan ini, tak terlalu ada yang mancep. Biasa saja.
Aku membacanya pas secara tak sengaja mengintip IG atau twitter, salah satu media sambung silaturahmi yang aku masih bimbang untuk ikut saling sapa di dalamnya. Sebuah parikan (pantun) yang menjadi caption momen Pasar Etan, hajatan mengumpulkan saudagar (pedagang) dan konsumen yang sama: Jamaah Maiyah.
Rame-rame teko nang Pasar Etan
Blonjo kebutuhan, sambung seduluran.
Tanggal limolas minggu emben
Ndang cateten ojok sampe kelalen
Blonjo kebutuhan. Ini apa maksudnya? Sepengetahuanku namanya belanja ya belanja kebutuhan. Masak nggak ada kebutuhan koq belanja? Gendeng mangan salep ta…
Eits, ternyata aku salah dulur!
Belanja, saat ini — entah mulai dasawarsa kapan — sudah bergeser ke titik nadir dari maksud sebenarnya. Dulu, yang namanya belanja ya kalo sudah mentok ketemu kebutuhan baru berangkat belanja. Saat ini tidak. Belanja saat ini nggak perlu nunggu ada kebutuhan. Nggak ada kebutuhan ya diada-adakan alasan untuk belanja. Belanja di-mindset-kan sebagai sesuatu yang membuat hormon endorphin naik. Senang dan puas kalau sudah belanja. Mirip orgasme.
Itu awal mulanya. Bergeser dari ada kebutuhan baru belanja, menjadi yang penting belanja nggak perlu butuh apa tidak. Belanja minimal menjadi semacam kebutuhan refreshing. Semacam pergi ke taman ria untuk naik dermolen atau nonton tong setan.
Nggak terlalu sulit menebak siapa provokator beralihnya alasan belanja umat buncit kaya kita ini. Ya, media massa dengan gempuran iklan kapitalisnya. Job dajjal colab with ya`juj ma`juj lah. Wuih serem ini kalau bahas itu. Cuma jangan dulu, ini mau ndek-ndek`an dulu yang aku bahas.
Yang jelas, kita sebagai umat buncit, lahir dan besar di zaman surem ini (ada teman yang yakin bukan cuma surem, tapi sudah peteng dedet) sedang mengalami banyak pergeseran alasan kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Belanja ini salah satunya.
Dari kegiatan untuk memenuhi kebutuhan (ini penting, naturally), menjadi yang lebih kurang penting. Bahkan tidak hanya kurang atau nggak penting, tapi menyeret terlalu jauh lagi yaitu hedon, berpuas-puas diri dengan membeli dan terus membeli apapun yang dicecap panca indera kita.
Bukankah ini nggak sehat dulur? Tidak sehat berarti nggak sesuai dengan karep Allah dan tuntunan Rasul terkasih kita. Lama-lama kita pasti jadi hamba pecinta dunia. Penyecap liur nikmat duniawi. Hilang rasa bahwa kita nggak punya saham apapun atas rezeki yang sedang kita pegang. Seakan-akan 100% hak milik kita yang ada d tangan sekarang ini.
Maka “Blonjo Kebutuhan” menjadi tagline yang tiba-tiba menghempaskan kembali kesadaran kita, ojok kemaruk, jangan terlalu konsumtif. Belanjalah sesuai kebutuhan kita. Jangan sesuai keinginan kita saja. Tujuan normatifnya jelas. Biar selamat hidup kita. Amanah atas rejeki yang kita dapat. Kenyataan ndek-ndek`ane: uripmu nggak cocok boros. Penghasilan sakmene (telunjuk dan jempol didempetkan), gayane sakmunu (nuding langit). Diguyu kucing, Lur!
Sambung Seduluran
Terus apa hubungannya belanja dengan seduluran? Mumpung ingat, pertama aku usul kirim Alfatihah buat Covid19. Karena hadirnya ia, menjadikan kita bisa menemukan kembali manfaat kegiatan belanja dengan langgengnya seduluran.
Di masa pandemi ini mau tidak mau kita nuruti pendapat orang banyak, bahwa harus kurangi interaksi sosial. Kita manusia yang makhuk sosial diminta jangan bersosialisasi secara fisik dulu. Jangan dekat-dekat, meskipun sudah nggak memuncratkan droplet karena pakai masker. Pokoknya berjauhanlah dulu, jangan dekat-dekat. Toh ada internet.
Nah, itu kalimat toh ada internet itu yang sedikit jangkrik`an. Meski tidak akan merampas habis kebiasaan interaksi tatap muka, jargon populer sepanjang pandemi untung ada internet ini nglamak juga lama-lama. Ini juga kalau diurus sangat mungkin job side dajjal colab with ya`juj ma`juj juga. Wkwkw asem, Gusti Allah bikin petugas tekling langkah kita koq ya cerdas-cerdas…
Sori ngelantur, kembali ke sambung seduluran. Kalau yang aku rasakan, dari bulan Maret awal pandemi sampai 7 bulan ke sekarang ini, hidup rasanya nggak bermutu. Atau kurang bermutu lah minimal. Maksudnya bermutu itu bukan pada kualitas penghambaan kepada Tuhan lho, tapi titik berat pada kehangatan komunal. Okelah karena alasan sesuatu kita nurut anjuran WHO, tapi kenyataan di lapangan nggak seseram yang dimuat media massa. Jadinya hidup terasa amsyong.
Kondisi yang mirip-mirip lebaran di era whatsapp, cukup blast wa minta maaf lahir batin dan menjawab dengan copy paste kami sekularga sama-sama. Nggak ada komunikasi fisikal, tegur sapa dengan suara manusia asli, saling traktir bila sedang berbahsgia, pisuh-pisuhan, gojlok-gojlokan dan lain sebagainya..
Ujung dari situasi “hampa sosial” sejak bulan Maret ini, meski tidak terlalu horor tapi ya cukup menyesakkan dada. Kita jadi nggak pernah benar-benar tahu, teman atau dulur aslinya sedang “puasa sepanjang minggu” padahal postingannya tiap hari drop pin tempat makan di seantero kota. Si Fulan sedang sakit, atau si Falun kondisi aktualnya bagaimana, semua blank. Tertutupi casing percakapan dunia maya.
Itulah sebab aku geleng-geleng kepala sama pancuran ide dari Jibril yang ditangkap dulur-dulur Maiyah ini. Mereka mau merajut kembali kehangatan, saling sapa bertemu muka antar dulur jamaah, dalam aktivitas yang diyakini semua senang: datang ke pasar. Jadi Pasar Etan ini dulur, selain niat ndakik-ndakik untuk merintis percontohan pasar ala Rasul sewaktu di Madinah, ndek-ndeka`an sudah menyambungkan kembali rantai sepeda yang mau los. Dan juga ini yang penting, kembali ke asal: blonjo kebutuhan. Benar-benar hikmah yang luar biasa pada skala umat ndek-ndek`an.
Meski di akhir acara ada yang berteriak kencang: “Aku belonjo gak mergo butuh barange, Cak. Aku belonjo kuabeh bakulane dulurku tak tukoni, mergo atiku lagi seneng ketemu dulur-dulurku. Suwe gak Maiyahan, kangenku tak lampiasno belonjo. Arep lapo sampeyan nek gak setuju?”
Jiamput, aku duduk gak setuju. Iku satengka ngisore wali sampeyan iku. Wis gak ono hukum boros iku makruh mubah ta haram nek gawe sampeyan. Malah borosmu nang dulurmu, iku sing nggarai gusti Allah gak tego ngekei rejeki sak imprit (nggremeng dalam hati).
Surabaya, 16 november 2020
Wak Mad