CakNun.com

Bisik-Bisik Sang Hyang Bayu

Refleksi Satu Tahun Mafaza
Aditya Wijaya
Waktu baca ± 5 menit

Simpul Hantu

Mafaza. Termuda sebagai simpul. Dan sebab ia dimotori beberapa mahasiswa dan penduduk Indonesia di Eropa awalnya, maka Mafaza menjadi begitu dinamis dalam organisasinya. Mahasiswa mungkin butuh 2-4 tahun untuk menyelesaikan studinya. Kecuali jika kemudian ia mendapat kekasih dan memutuskan menetap di Eropa. Atau sudah terlampau bising mendengar komedi omong di Indonesia, bahkan jenuh dengan akrobat cara bernegaranya. Tinggal di Eropa, menjadi diaspora bisa jadi pilihan. Lepas dari semua latar belakang tempat tinggal, Mafaza Eropa nyatanya mengalami dinamika yang mungkin tidak dialami oleh simpul Maiyah yang lain.

Jauh sebelum pandemi Covid-19, Mafaza terbiasa dengan sinau online. Menjaring ide lewat koneksi virtual. Mafaza, meski punya basecamp di Belanda dan Jogja, adalah simpul yang ternyata tidak bisa dibatasi oleh letak geografis. Anggotanya saling loncat sana sini. Sekarang Belanda, besok Jogja, kelak Jerman atau bahkan Papua. Mafaza seperti angin. Berhembus bergerak sesuai cuaca. Cuaca dalam dan dari luar diri. Maka sudah sepantasnya penggiat Mafaza mampu membaca kahanan. Membaca cuaca.

Sebab penggiatnya susah berdiam dalam satu titik koordinat, maka Mafaza juga bisa dikenal sebagai simpul hantu. Keberadaannya bisa diketahui ketika mawujud dari ide-ide menjadi sebuah gerakan. Jangan bayangkan gerakan seperti sebuah kendaraan politik. Tapi bayangkanlah gerakan seperti sebuah kewajaran dalam hidup. Ora obah, ora mamah. Sewajar bahwa hidup butuh makan.

Maka yang perlu dilakukan oleh penggiat Mafaza adalah membagi ide dan konsep. Lalu me-manunggal-kan dalam laku hidup, angslup dan ajur-ajer dalam masyarakat. Bukan masuk dalam lingkup ekslusivitas pengetahuan. Ajur-ajer juga bisa dimaksudkan dengan nyengkuyung program Maiyah Nusantara lewat kreativitas ide yang berasal dari perkawinan mata angin. Timur dan Barat.

Maskulinisme dan Feminisme

Tinggal (atau pernah tinggal) di wilayah yang mengagungkan zaman Renaissance atau Erklarung, tentu membuat penggiat Mafaza bisa melek, bahwa pengetahuan bisa mendorong ke arah yang berseberangan. Pencerahan dari dogma-dogma sempit, pada kenyataannya bisa juga menarik pelakunya dalam jurang kegelapan yang jauh lebih dalam dan pengap. Betapa untuk menjadi cerah ternyata harus menutup peluang kesejahteraan orang lain dan bahkan menginjak martabat orang lain. Pasca Renaissance yang katanya gemerlap itu dipenuhi sejarah penaklukan dan penindasan. Seolah-olah manusia pada zaman itu berduyun-duyun menggapai matahari, yang tanpa mereka sadari akan purna dengan kekalahannya sendiri. Kebutaaan tidak hanya karena terlampau gelap. Bahkan terlampau terang pun bisa menyebabkan kebutaan.

Eropa sangat maskulin saat itu. Merasa mampu menggagahi apa saja dan siapa saja. Pengetahuan, penguasaan industri, pengelolaan modal, dan kemajuan peradaban (dalam versi mereka). Laki-laki bernama Eropa sangat parlente. Sangat menarik bahwa kemudian maskulinisme menghasilkan budaya diskusi dan kritik yang luar biasa. Sebab maskulinisme didominasi kegagahan, maka diskusi yang alot akan menghasilkan kemungkinan potensi solusi terbaik. Perlu dicatat, ini hal yang baik.

Tetapi jangan lupa, bahwa setiap kelahiran butuh perkawinan. Butuh penyatuan dua kutub. Majma’ul-Bahroin. Juga tentang melahirkan sebuah peradaban yang jangkep. Dibutuhkan perkawinan antara maskulinisme dan feminisme. Konsepsi lawas yang sering kita temui dalam banyak simbol; lingga dan yoni, bintang David, gelar-gelar raja nusantara, dan masih banyak yang lain. Kegagahan dan ke-lelaki-an ide-ide Barat yang sering vulgar, harus dikemas dalam lemah lembut kebijaksanaan Timur. Bener lan pener. Tak cukup hanya benar saja.

Penggiat Mafaza harus benar-benar ngonceki dan mendalami bagaimana pengetahuan dirumuskan di Eropa. Bagaimana penduduk Eropa mengaplikasikannya. Tetapi penggiat Mafaza juga harus menoleh pada kearifan Timur. Bagaimana kebudayaan telah bersatu dengan hakikat keilmuan. Seringkali kita kecolongan. Mendongak pada konsepsi pengetahuan Barat dan merendahkan “ke-jumud-an” pencapaian teknologi Timur. Saya akan memberi contoh tentang diskusi saya dengan beberapa professr disana.

Suatu ketika, selepas diskusi SDGs (Sustainable Development Goals), seorang profesor menyatakan bahwa untuk penanganan perubahan cuaca dengan pola banjir yang lebih sulit diprediksi dari sebelumnya, masyarakat harus mulai hidup dengan alam. Bagaimana membuat konstruksi rumah di pinggir sempadan sungai bisa beradaptasi dengan potensi banjir. Saya cengengesan di hadapan profesor tersebut. Ketika ditanya kenapa, saya pun menjelaskan kepadanya bahwa di Indonesia, di Kalimantan misalnya, masyarakat telah beradaptasi dengan membuat rumah-rumah panggung agar ketika banjir, rumah tetap aman. Teknologi pengawetan kayu pun telah dilakukan selama beratus-ratus tahun lampau. Sang profesor tertarik pada akhirnya untuk meneliti tentang kebudayaan eco-friendly infrastructure yang telah lama berkembang di Indonesia.

Atau tentang umpak misalnya. Ketika ramai orang berbicara tentang metode dilatasi–membuat pembatas pada struktur fondasi dan kolom bangunan agar ketika gempa hanya fondasi yang bergerak dan kolom hanya terpengaruh sedikit pada pergerakan tanah sehingga lebih aman terhadap gempa–cobalah tengok pada bangunan tradisonal di Nusantara ini. Tahun 2009 ketika saya berkesempatan menjadi asesor bangunan untuk program pemulihan pasca gempa Sumatera Barat, saya menemukan bahwa pada struktur rumah Gadang (juga sama seperti rumah Joglo dan beberapa rumah adat lain) struktur kolom atau tiang bangunan dibuat terpisah dan hanya diletakan di atas umpak batu. Hal ini memungkinkan konsep dilatasi terjadi ketika gempa. Tengoklah betapa budaya Timur berasimilasi dengan pengetahuan yang didapat mungkin dari ilmu-ilmu empiris dan ilmu titen selama ratusan tahun.

Belum lagi jika kita mendalami filosofi dari masing-masing kebudayaan Timur. Bagaimana mengawinkan alam bahkan tata kosmos dalam infrastruktur kebudayaannya. Tetapi harus diakui dan dipahami bahwa pasca Renaissance, terjadi penggelapan yang luar biasa terhadap pengetahuan kita sendiri. Sehingga salah satu jalan cepat yang bisa dilakukan untuk menemukan kembali perkawinan ilmu dan kebijaksanaan adalah dengan menelaah maskulinisme pengetahuan Barat yang berkembang pesat dan digabungkan dengan kesarehan, kesadaran, dan kelembutan budaya di Timur yang telah juga teruji selama berabad-abad. Akarnya, dominan dari sebuah peradaban haruslah Ibu. Haruslah ngemong. Itulah kenapa Kanjeng Nabi yang laki-laki disebut sebagai Nabi yang ummi. Yang rasa manusianya adalah rasa keibuan.

Angslup Nyawiji, Laku Dumadi

Kalaulah telah dipahami bahwa perkawinan ini perlu, maka yang perlu dilakukan ada menggali setiap ide dan kemungkinan untuk bisa diformulasikan dalam bentuk laku. Karena ilmu iku kelakone kanthi laku. Lelaku yang dimanifestasikan dalam bentuk kerja bersama. Telah jelas bagi setiap pelaku Maiyah, betapa Mbah Nun telah menyemaikan benih-benih kesadaran sebagai manusia. Ini sangat penting. Bagaimana menguak dan mendekonstruksi pemahaman sebagai manusia adalah titik tolak untuk menciptakan peradaban. Inti peradaban adalah adab. Adalah kesetiaan sebagai manusia untuk meng-khalifah-i semesta. Baik yang berupa jagat alit dalam diri ataupun jagat ageng. Maka ketika manusia telah tumbuh sebagai manusia, ia harus bersiap menjalankan fungsi sebagai pohon. Entah sebagai perindang, pohon buah, atau apapun saja yang bernilai kemanfaatan. Semaian nilai kesadaran harus dipupuk dengan pupuk-pupuk ilmu dan pengetahuan sehingga mampu tetap memberi manfaat di tengah cuaca yang semakin tidak menentu. Nilai dasar manusia yang dikawinkan dengan kemampuan membaca kahanan dan mengakali cuaca, akan menghasilkan peradaban yang tidak hanya menjadikan manusia sebagai budak pikirannya sendiri, tetapi peradaban yang bisa saling menyelamatkan satu sama lain.

Ambilah contoh misalnya, di Jakarta. Telah tahu kita dari prediksi ilmiah bagaimana penurunan muka tanah di pantai utara Jakarta dibarengi dengan kenaikan muka air laut akan mengancam saudara-saudara kita yang bermukim di sana. Meskipun telah dibangun tanggul untuk melindungi pemukiman, akan tetapi untuk jangka panjang, tanggul akan tetap terlampui oleh badai dari laut. Pernahkah kemudian kita mencoba mencari alternatif tentang bagaimana tinjauan secara sosial dan teknis apabila masyarakat pesisir diubah konstruksi peradabannya menjadi rumah panggung dengan perahu sebagai alat transportasi nya? Bagaima konstruksi sosial dan ekonomi untuk mempertahankan mata pencahariannya? Bagaimana pendekatan sosial untuk mengubah peradaban kebudayaannya?

Tentu masalah serupa dengan akar masalah yang berbeda-beda akan ditemui di setiap simpul Maiyah. Bagaimana peran simpul Maiyah untuk menjawab tantangan zaman dan perubahan cuaca di sekitar tempat tinggalnya? Maka Mafaza yang telah diperkenankan Gusti Allah diperjalankan ke titik pusat peradaban modern perlu untuk mengambil peran. Melakukan identifikasi masalah dan memformulasikan kemungkinan-kemungkinan solusi yang secara praktis bisa didiskusikan di setiap simpul Maiyah Nusantara atau sampai bahkan taraf menerapkannya sebagai laku solusi di setiap tempat.

Mafaza diharapkan menjadi angin yang berhembus sepoi, memberikan rasa aman karena masyarakat menjadi punya alternatif jalan untuk ditempuh. Bukan sebagai angin badai, yang menyajikan paparan njlimet kepada umat karena pengetahuannya atau bahkan sekadar mencerca keadaan. Dan sebagai angin yang harus angslup kepada sanubari umat, maka penggiat Mafaza harus semakin lebih pintar mendengarkan rasan-rasan yang dihembuskan oleh Sang Hyang Bayu. Yaitu Gusti Allah itu sendiri.

2020

Lainnya