Biasakan Berpikir Rangkaian
Bu Kati, bersama anaknya, menempuh enam jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari Lamongan. Saat ditanya Cak Nun kenapa datang ke Gambang Syafaat, Ia menjawab hendak bertemu Pak Kiai. Bagi Bu Kati, Cak Nun adalah kiainya. Anaknya ditanya Cak Nun kenapa bersedia ke Semarang. “Mumpung masih dapat mewujudkan keinginan ibu saya,” jawabnya. Riuh tepuk tangan spontan diekspresikan jamaah.
Tekad Bu Kati dan anaknya ke Gambang Syafaat membuktikan bentangan jarak ratusan kilo meter bukan perkara besar. Temali kasih di antara jamaah Maiyah yang mempertautkan itu. Persaudaraan tanpa tepi membuat jarak tempuh Lamongan-Semarang memendek. Ketenangan hati barangkali yang dirasakan Bu Kati saat berada di naungan Maiyah. Meski ekspresi wajahnya terlihat letih, Ia antusias menyimak.
Gambang Syafaat Sabtu malam (25/01) itu belajar ilmu hikmah. Ia datang dari mana saja tak terkecuali dari kondisi lapang maupun sempit. “Kalau ada sesuatu yang membuat Anda sedih maka semoga Anda dapat mengolahnya menjadi kebaikan dan keindahan,” kata Cak Nun. Menikberatkan pada harmoni dalam manajemen diri, Cak Nun berpesan agar pandai mengolah pikiran dan hati. Kondisi internal apa pun, kalau diolah secara tepat, maka akan berbuah manfaat bagi masyarakat.
Pembeda manusia dengan makhluk lain ditandai oleh keberadaan akal. Posisi akal, menurut Cak Nun, hendaknya terus dilatih secara dialektis dalam memahami gejala sosial di luar diri. Itu kenapa dalam mengambil keputusan, melibatkan akal untuk menimbang dari dua sisi menjadi penting.
Mengenai akal, Cak Nun mempertajam pembahasan. Terdapat perbedaan antara nasib dan takdir. “Posisi takdir ini sebetulnya merupakan negosiasi takdir manusia dengan takdir Allah. Sehingga takdir itu tiada lain adalah kerja sama diplomatis manusia dengan Allah,” jelasnya. Sedangkan ketentuan baku dari Tuhan, lanjut Cak Nun, disebut nasib.
Dengan analogi sederhana, ia memperjelas kedua konsep itu. Ketika Allah menasibkan padi, maka manusia menakdirkannya menjadi nasi. Di sini pentingnya akal. Bahkan munculnya inisiatif individu mustahil ada tanpa kehadiran akal.
Posisi akal dalam sehari-hari, kalau difungsikan maksimal, menurut Cak Nun, akan memperjelas betapa antarpengalaman tiap orang saling berjalin-kelindan. Tak ada sesuatu yang berdiri terpisah. Menghikmahi setiap pengalaman diri berarti akan membawa manusia lebih peka.
Bukan lagi terjebak pada baik ataupun buruk, melainkan kebaikan serta keindahan macam apa yang dipelajari dari baliknya. “Jangan mengingat sesuatu tanpa melihatnya sebagai sebuah rangkaian,” ujar Cak Nun.
Kesalahan manusia kebanyakan selalu berpikir parsial. Mempreteli segala sesuatu tanpa kemudian berusaha menyambungkan peristiwa implisit. Di Maiyah kecenderungan itu dijungkirbalikkan. Maiyah menawarkan konsep harmoni sebagai persambungan dan kesetimbangan.
“Kita harus belajar berpikir paralel. Makanya di Maiyah dialog interaktif dalam format Sinau Bareng menjadi inti. Salah satunya agar saling mengingatkan, menguatkan, dan melengkapi,” paparnya.
Dimensi paralel dicontohkan dalam Islam. Sebagai sebuah kesatuan, menurut Cak Nun, kalau mengingat Islam berarti memahami posisi Kanjeng Nabi. “Dan di samping Rasulullah terdapat malaikat dan kemudian akan sampai di titik akhir, yakni kepada Allah Swt,” ucapnya. Maiyah sendiri memosisikan sisi paralel itu, salah satunya, diformasikan melalui Solusi Segitiga Cinta: Allah, Rasulullah, dan hamba.
Perihal dimensi berpikir secara paralel memang harus dilatih dengan tekun. Ketekunan tanpa kesungguhan memulai dan menjaga ritme belajar akan pincang. Cak Nun menasihati, “Kita harus bersungguh-sungguh dalam tiap hal, bahkan dalam permainan pun, kita tak boleh bermain-main.”
Senada dengan Cak Nun, Gus Aniq merespons kalau proses belajar semestinya didasarkan atas laku katresnan. Menurutnya, nilai tersebut dahulu diperjuangkan oleh Ki Ageng Suryomentaram. Ia tak pernah meninggalkan kesadaran ruang, waktu, dan peristiwa. Ketiganya mesti dijalankan secara harmonis.
Perbincangan hangat, kendati hujan turun, melengkapi topik pembahasan di Maiyah sebelum-sebelumnya. Di awal Mas Helmi telah mewedar kalau jamaah perlu merefleksikan sekaligus mengkristalisasikan nilai-nilai Maiyah yang telah terdialogkan. Enam bahasan di Maiyah, lanjut Mas Helmi, sebagai berikut.
Pertama, pendekatan altruism dan selfish. Kedua, mengenali ayat-ayat Tuhan yang tak terfirmankan. Ketiga, muroja’ah atau mengenali sekaligus menimbangkan kembali tiap kata. Keempat, seputar iman yang menitikberatkan pada apakah Allah telah mempercayai kita. Kelima, dunia kini terlalu menunggulkan kompetensi, sedangkan di Maiyah lebih pada asas manfaat. Keenam, pendekatan yang utama bukan bil-khoir, bil-haq, melainkan bil-hikmah.