Bersaksi Dengan Nyawa
Setiap orang hari-hari ini menggali ide dan kreativitas untuk menyusun sekurang-kurangnya empat hal. Pertama, bagaimana di dalam Gua Corona tetap bisa diupayakan menjalani kehidupan dan mempertahankan penghidupan. Kedua, menggali kemungkinan kegiatan-kegiatan individu dan keluarga mengisi 24 jam sehari sampai batas waktu yang tidak diketahui. Ketiga, meneliti apa saja yang baik yang bisa dilakukan di Gua Corona, yang tidak bisa dilakukan atau tidak ada gagasan untuk melakukannya jika tidak ada Corona.
Keempat, apa saja yang harus dipersiapkan menuju perubahan pasca-Corona. Keadaan-keadaan sosial akan berubah, skala prioritas dan model berputarnya perekonomian akan berubah. Sejumlah kebiasaan budaya dan tradisi akan berubah. Meskipun tidak akan ada perubahan yang menyangkut nilai-nilai mendasar pada umumnya kehidupan manusia, misalnya bidang akidah, ideologi dan prinsip-prinsip nilai dasar kehidupan.
Di antara semua itu, setiap orang digiring paksa untuk merenungi diri dan kehidupan, klayaban atau terombang-ambing di rentang kemungkinan antara selamat dengan celaka, antara sakit dengan sehat, bahkan antara hidup dengan mati.
Kalau pakai parameter pragmatis keduniawian sehari-hari, kita menyimpulkan orang yang terjangkit virus Corona adalah orang yang tidak selamat. Sedangkan yang tidak terjangkit adalah yang selamat. Dan kita semua sangat terikat oleh parameter itu.
Tapi kalau kita memakai ukuran yang lebih jauh dan luas, selamat bagi semua makhluk adalah kalau tidak dimurkai oleh Maha Penciptanya. Tidak selamat adalah kalau punya masalah mendasar dengan Tuhan. Hidup dengan umur panjang tidak pasti sama dengan tidak dimurkai oleh Tuhan. Meninggal karena penyakit juga tidak lantas sama dengan tidak selamat. Hidup dengan mati tidak paralel dengan selamat dan celaka.
Hidup dan mati bukan rujukan untuk mengukur selamat atau celaka. Tentu saja keterbatasan hati dan jiwa menusia mencenderungi hidup dan menghindari mati. Kalau manusia berpikir agak lebih jauh, ia bisa melihat bahwa bukan soal hidup-matinya, melainkan ukuran selamat dan celaka terletak pada posisi kita kepada Tuhan ketika hidup maupun ketika mati.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (Ali Imran). Ibrahim, wong agung kakek kita semua berkata: “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilihkan agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan diri-Islam” (Al-Baqarah).
Idiom di ayat ini berabad-abad ditafsirkan dan diperdebatkan. Apakah “wa antum muslimun” itu identitas padat, atau kata kerja dinamis. Dalam kehidupan sehari-hari ada polaritas agak ekstrem. Ada tetangga Muslim tetapi sepanjang hidupnya sangat buruk akhlaknya, sangat merusak bebrayan antar manusia, sangat tidak bisa dipercaya perilakunya dan busuk kata-katanya. Ada tetangga lain yang beragama bukan Islam, tetapi kepribadiannya sangat baik, santun, arif, rasional dan banyak sekali manfaat sosialnya. Seakan-akan bisa diasumsikan bahwa “orang ini beragama apapun tetap menjadi orang baik. Agama apapun yang ia peluk akan ia Islamkan, ia dayagunakan untuk manfaat bersama dengan kepribadiannnya yang memang baik”. Sementara tetangga yang pertama “Islam yang dipeluknya tidak bermanfaat untuk perbaikan kelakuannya, hatinya tetap busuk dan sikapnya tidak bisa dipercaya”.
Silakan Jamaah Maiyah belajar terus kepada ragamnya fenomena kemanusiaan dalam kehidupan, sebagaimana yang dicontohkan oleh dua orang itu. “Illa wa antum muslimun” itu titik beratnya terletak pada identitas formal keagamaannya, ataukah pada fakta perilaku hidupnya, di mana “wa antum muslimun” adalah orang yang kepribadian dan perilakunya menyelamatkan dirinya, keluarganya, sesamanya, serta alam lingkungannya.
Jamaah Maiyah juga tahu untuk tidak mudah terperangkap oleh perdebatan kognitif intelektual soal itu. Jamaah Maiyah lebih mengutamakan kepribadiannya masing-masing bersama keluarganya agar luluh disebut “wa antum muslimun”.
Teman-teman kita para petugas kesehatan di ribuan tempat sekarang ini di tanah air dan seluruh dunia, sangat jelas yang mereka lakukan: menyelamatkan sesama manusia. Mereka adalah Kaum Mujahidin, para pejuang jihad, yang berada di garis depan peperangan besar untuk menjadi “bemper” bagi keselamatan semua orang yang ditolongnya. Mereka adalah garda depan Perang Sabil atau Jihad fi Sabilillah melawan pandemi. Semua Ulama sepakat bahwa di antara saudara-saudara kita petugas kesehatan yang malah tertulari dan meninggal, mereka berposisi Mati Syahid.
Meninggal dalam posisi kerja keras “wa antum muslimun”. Meninggal dalam keadaan menyaksikan kebesaran Allah dan kekerdilan manusia. Menyaksikan ke-Mahakuatan Allah dan ketidakberdayaan manusia. Menyaksikan kedaulatan mutlak Allah dan ketergantungan total manusia kepada-Nya. Mereka menyaksikan tidak hanya dengan pancainderanya. Tidak hanya dengan ilmu dan pengetahuannya. Tidak hanya dengan hati dan rasa tidak teganya. Mereka menyaksikan total dengan nyawanya, dengan seluruh unsur kehidupannya, yang mereka bayarkan tunai demi menyelamatkan kehidupan sesamanya.
Jamaah Maiyah semuanya cemburu kepada wafatnya saudara-saudara kita petugas kesehatan. Cemburu pada kemuliaan matinya. Cemburu kepada fakta bahwa mereka “syahid”, bersaksi, menyaksikan kebesaran Allah dengan seluruh hidupnya, dari ilmu sampai nyawanya.
Jamaah Maiyah saling mewanti-wanti, “tawashau bil-haqqi wa tawashau bis-shabri”. Misalnya, “Andaikan Allah menghendakimu tetap sehat, atau sakit kemudian pulih, atau sakit kemudian dihijrahkan oleh-Nya ke kehidupan berikutnya: hendaklah bertahan pada posisi bertauhid, bertahan pada keadaan sebagai ‘abdullah. Bertahan tidak punya masalah dengan Allah, dan kalau pun masih ada sisa atau PR masalah, sibuklah beristighfar, bertaubat, selama dikurung di Gua Corona”.