Berkosentrasi Produktif pada Masa Bonus Demografi Bangsa Indonesia
Konsentrasi Produktif pada Masa Bonus Demografi
Mas Sabrang merekomendasikan pada masa 10-15 tahun ke depan, jika ada ribut apa saja lebih baik diamkan. Kita konsentrasi pada hal yang produktif. Membuat atau produksi sesuatu, karena apa yang kita lakukan sekarang, akan berpengaruh pada cicit kita kelak. Ini Bonus Demografi. Kalau bicara ukuran pemuda sekarang, kita bukan kebetulan. Kita membawa beban puluhan tahun Indonesia ke depan. “Kita salah bersikap, Indonesia akan busuk panjang. Kita benar bersikap, Indonesia meroket panjang”, tegasnya.
Menurut Mas Sabrang Indonesia kisruh itu wajar dalam naik-turunnya peradaban. Dan kita memang pada keadaan di mana sistemnya sudah berganti. Sistem memang selalu berganti, dalam Complex Theory, sistem yang selalu berganti dinamakan sebagai Dual Loop Teory. Dual Loop Theory adalah sistem yang baru muncul menggantikan sistem yang lama. Ciri-ciri sistem yang lama mati adalah berkurangnya fleksibilitas, apa-apa diatur, apa-apa dihalangi. Itu ciri sistem yang sudah tua. Jadi dia tidak bisa menangkap inisiatif-inisiatif kreatif dari pemuda. Dalam sistem itu kita tidak bisa berbuat apa-apa, sebab melakukan apa-apa akan dihukum, itu merupakan ciri-ciri sistem yang sudah tua. Sehingga tidak fleksibel menghadapi perkembangan zaman.
Makanya perlu membangun sistem baru. Bukan berarti ngomong soal sistem negara. Karena menurut sudut pandang Mas Sabrang, kalau ngomong sistem negara dan ekonomi itu cuma turunan dari sistem sosial yang terjadi di antara manusia. Itu yang fundamental yang harus digarisbawahi. Mengganti negara itu hanya efek samping. Terbukti jika kita percaya dengan agama, Islam. Agama itu tidak merekomendasikan sistem negara, tidak merekomendasikan sistem ekonomi, tidak merekomendasikan sistem sosial, karena yang dituju utama adalah orang, manusianya. Sebab sistem negara, sistem ekonomi dan sistem sosial akan muncul dari interaksi manusianya. “Kalau manusianya beres, mau sistem apa saja beres.”, tegas Mas Sabrang.
Sebelum sesi tanya jawab, Mitra Surabaya mempersembahkan nomor ‘Rumah Kita’ dari God bless. “…Lebih baik di sini. Rumah kita sendiri. Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa. Semuanya ada di sini…”, Merupakan potongan lirik nomor yang dibawakan Mitra Surabaya, seperti menyiratkan kita supaya bersyukur atas anugerah rumah kita, Indonesia, bagaimanapun keadaan dan seberat apapun permasalahan yang kita hadapi saat ini. Karena Indonesia adalah rumah kita sendiri.
Definisi Berdaulat
Bergulir pada sesi tanya jawab. Mas Aldin dari Surabaya merespon pembahasan tentang Bonus Demografi. Dia berharap pemuda Indonesia punya kedaulatan berpikirnya tersendri. Punya ideologi sikap dan berpikirnya sendiri. Berdasar pengalamannya, dia juga sudah mengalami pengembaraan ilmu sehingga bertemu sampai pemahaman bahwa pentingnya kedaulatan diri sendiri dalam masa Bonus Demografi.
Mas Sabrang mengobjektifikasi pemahaman dari pernyataan Mas Aldin bahwa daulat itu penting. Seperti dalam semua hal, itu selalu ada jebakannya. Daulat itu bukan karepe dewe, maunya sendiri. Misalnya ada sebuah kata ‘sains’, terus mengatakan bahwa kata agama itu juga sama dengan sains. Misalnya ada yang membenarkan bahwa definisinya bukan seperti itu, yang dibenarkan malah menjawab bahwa kata agama itu juga sama dengan sains, merasa jawaban itu berasal dari kedaulatannya sendiri, padahal itu jawaban atas maunya sendiri.
Sebab menurut Mas Sabrang, kata sains beda karena memang definisinya berbeda. Katanya saja sudah beda, apalagi maknanya. Kadang-kadang kita juga ‘harus patuh’ pada sosial, untuk bisa menjembatani hubungan sosial. Seperti urusan kosakata, kita tidak bisa berdaulat. Kalau maunya sendiri ya tidak bisa berkomunikasi. Kadang-kadang juga kita butuh konvensi untuk bersama-sama bisa bersosialisasi dan berkomunikasi.
Kedaulatan sangat membutuhkan objektivitas. Untuk urusan ideologi yang menyeret dan mempengaruhi kita, itu baru penting untuk berdaulat. Tapi bukan berarti kita tidak setuju dan tidak mau diseret. Kadang-kadang kita setuju dan mengikuti kepada yang menyeret kita, itu juga daulat. Karena itu pilihan, yang penting sudah dipikir ulang dari berbagai alternatif pemikiran yang kita lihat. Sebab berdaulat tidak berarti harus beda. Berdaulat intinya kita memutuskan apa yang terbaik dan paling cocok untuk kita.
Kedaulatan itu sangat susah, karena dari umur 0-18 tahun kita mengumpulkan prejudis (prekonsepsi), percaya-percaya saja. Misalnya percaya bahwa api itu panas. Karena kepercayaan itu yang membuat kita melakukan hidup sehari-hari dengan efektif. Tapi kemudian kita kikis sedikit demi sedikit, kita gantikan kedaulatan yang sudah kita pikirkan sendiri.
Menghitung Waktu Peradaban
Pada posisi kita sedang gelisah menantikan waktu perubahan, Mas Sabrang memberikan kuda-kuda sikap supaya kita tak salah memandang dan menilai waktu perubahan, sehingga tepat langkah kita dalam menyambut titi-mongso perubahan itu. Mas Sabrang mengawali pengertian bahwa beda antara menghitung waktu berdasar peradaban dengan menghitung waktu berdasar jam. Menghitung waktu jam itu detiknya sama terus, bergerak ke waktu berikutnya. Kalau peradaban itu berdasarkan action. Untuk dapat bergerak ke detik berikutnya, sesuatu harus terjadi. Sesuatu baru terjadi, akan membuat zaman bergerak.
Problemnya karena kita tidak tahu apa yang harus terjadi, kita tidak tahu detik berikutnya butuh apa, makanya perlu kita melakukan sesuatu yang bisa kita lakukan. Karena dari 1000 percobaan, siapa tahu yang satu itu yang kita butuhkan ke detik berikutnya.
Jadi inisiatif kita melakukan sesuatu yang bisa kita lakukan, jangan dikira bahwa itu tidak ada gunanya. Siapa tahu itu detik yang dbutuhkan untuk memajukan zaman ini. Jika kita diam saja, tidak produktif, produktif tidak harus yang mengeluarkan keringat, misalnya diskusi itu juga suatu hal yang produktif, sebab kita pulang membawa bekal untuk berbuat sesuatu. Nah detik mana yang kita butuhkan untuk memajukan peradaban. Kalau mau ngomong kuncinya supaya cepat adalah kita membuat intan di lokal kita masing-masing. Siapa tahu ini detik zaman yang dibutuhkan menuju zaman berikutnya. Ini kalau semua berjalan, cepat nih progres pergerakan detik zaman yang kita lakukan, karena semua sudah tersedia.
Mas Sabrang merefleksikan jawaban itu atas pertanyaan jamaah dulu ketika di Mocopat Syafaat di mana jamaah bertanya bahwa Nabi Isa pernah berkata bahwa akan datang nabi setelahku, lebih zuhud, kekasih Tuhan. Sebentar lagi, jaraknya seperti alis dengan bulu mata. Lha kok 600 tahun rentang jarak kehadiran Nabi Muhammad dengan Nabi Isa, padahal diibaratkan hanya seperti jarak antara alis dengan bulu mata. Sebagaimana Nabi Muhammad juga pernah bilang jarak antara beliau dengan kiamat adalah seperti jarak jari-jari tangan. Lha kok sudah berlangsung 1500 tahun belum kiamat? Sebenarnya yang dimaksud jauh dan dekat bagaimana?
Pada konsep peradaban itu, yang kemudian Mas Sabrang menjawab bahwa konsep peradaban detiknya bukan pada waktu, konsep peradaban detiknya pada kejadian yang termanifestasi. Masalahnya kita tidak tahu yang mana. Maka yang bisa kita lakukan, ya melakukan hal yang bisa kita lakukan. Siapa tahu kita sedang menghalangi peradaban zaman, yang seharusnya kita bertugas melakukan malah tidak kita lakukan. Masalah yang disebabkan karena kita tidak mau melakukan sesuatu yang bisa kita lakukan, bisa sangat kecil juga bisa sangat besar.
“Yang penting agar kita tidak punya hutang dalam hal itu, energi dan waktu kita keluarkan sebijaksana mungkin. Siapa tahu kita adalah gerbang sejarah dengan perilaku kita yang sangat kecil menurut kita, tapi secara peradaban sebenarnya sangat besar,” pesan Mas Sabrang memungkasi sinau kita malam itu.
Surabaya, 16 Desember 2020