Berkaca pada Samudra 67
Sungguh tidak mudah memulai tulisan ini. Memotret perjalanan 67 tahun bagaikan menatap samudra lengkap dengan dasar kedalamannya, cakrawala, gelombang, angin, langit, pantai, batu karang, ikan-ikan.
Namun sesulit apa pun aku tetap mencobanya, sebagai rasa syukurku kepada Tuhan dan terima kasihku kepada Simbah.
Tidak sedikit akar tulisanku lahir dari pikirannya. Satu cipratan saja menjadi benih untuk disemai, ditanam, ditumbuhbesarkan di kebun kesadaran.
Satu butir benih mengandung sel-sel pengetahuan, ilmu, hikmah, akidah, atau malah kerap tidak kusadari karena ia mengendap begitu saja lalu tumbuh dan berkembang seiring perjalanan waktu.
Benih itu melekat begitu kuat, saking kuatnya, sejak aku kali pertama membaca tulisannya lalu mendengar langsung tuturnya pada 1996-an hingga kini masih saja melekat lalu tumbuh dan berkembang menjadi pohon yang rindang.
Waktu itu Simbah memakai ilustrasi yang sederhana: pertemuan antara penumpang dengan sopir taksi. Salah satu pihak terlambat atau terlalu cepat lewat beberapa menit saja, pertemuan tidak terjadi.
Betapa hidup adalah pertemuan momentum demi momentum. Setiap detik kejadian mungkin sekitar 0,0001 persen yang kita rancang dan tentukan. Selebihnya, momentum pertemuan itu dikehendaki dan diizinkan oleh Tuhan.
Itu benih kalau disemai akan tumbuh menjadi akar akidah, pohon syariat, daun thariqah, buah amal kebaikan. Islam diajarkan tidak terutama sebagai formalisme ritual dan tata aturan, melainkan ditaburkan melalui benih cahaya yang berpendar-pendar mencahayai anasir sel kesadaran.
Aku sadar hidup adalah meniti ajal. Bukankah ajal selalu dikonotasikan dengan kematian? Tidak. Ajal adalah momentum. Ketika ajal atau momentum datang, tak seorang pun dapat menunda atau mempercepatnya. Laa yasta’khiruuna saa’atan wa laa yastaqdimuun.
Kematian adalah satu adegan ketika ajal tiba. Sebagaimana pertemuan seseorang dengan pasangan hidupnya atau perjumpaan seseorang dengan rezeki hidupnya atau perjodohan seseorang dengan akal pemahamannya merupakan ajal yang dikehendaki.
Ajal tidak dihadapi cukup dengan berdiam diri. Ajal mengalir dalam getaran; ajal bergetar dalam aliran. Aku, Anda, kita semua mesti bergerak, membuka peluang dan kesempatan untuk berjumpa dengan ajal “perjodohan” melalui sabil, syariat, thariqah, shirath kebaikan demi kebaikan.
Itu teladan yang aku petik dari Simbah: bergerak, terus bergerak, seakan tiada pilihan lagi selain harus terus bergerak. 67 tahun hingga “entah” Simbah akan bergerak dan terus bergerak: pindah dari satu dusun ke dusun lain, dari kecamatan ke kecamatan lain, dari satu ruang ke ruang berikutnya, dari sedetik momentum ke detik momentum berikutnya.
Bergerak dari Mentoro, santri pondok Gontor, pengurus OSIS, santri Syekh Umbu, lalu menjadi penghuni Maliboro, lalu Patangpuluhan, lalu Kadipiro, menulis puisi, esai, naskah drama, skenario film, musik puisi, album shalawat, Reformasi 98, mini KiaiKanjeng, KiaiKanjeng, Maiyah, nyuwuk banyu, mendamaikan pertikaian, salaman hingga berjam-jam bersama jamaah yang antre mengular…
Bahkan sejarah ajal per ajal, momentum per momentum, detik per detik telah berlangsung jauh sebelum aku mengenal Simbah yang kini kita teladani cakrawala hidupnya pada momentum ke-67 tahun.
Berkat kelapangan dan kebesaran hati Simbah, aku diperkenankan ngéngér, ngangsu kaweruh, nunut sinau bareng, yang mungkin malah mengecewakan Beliau karena betapa aku masih sangat pemalas: malas berpikir, malas menulis, malas melakukan Iqra’, malas mencari sehingga malas pula menemukan sehingga sama sekali tidak bisa diandalkan. Padahal Simbah berulang kali menamparku, “Sing sregep! Sing sregep!” dan jiwanya yang pemaaf diliputi cinta akan memaafkan kesalahanku.
Lalu aku membayangkan Simbah akan menjawab, “Aku tidak menanggung hidupmu, karena setiap manusia mempertanggungjawabkan hidupnya kepada Allah.”
Contoh kecil namun menoreh kesan yang mendalam. Masih pagi reportase Padhangmbulan telah tayang di CakNun[dot]com. Penasaran siapa yang menulis? Ternyata Simbah penulisnya. Sedangkan aku baru hendak menulisnya. Perjalanan dari Jombang ke Yogya Simbah menulis reportase itu di kereta—pakai HP.
Ini bukan soal kekaguman. Keteladanan itulah yang tengah aku gugat kepada diriku. Aku berusaha mengolahnya—semampu-mampuku—menjadi energi untuk menjalani momentum demi momentum. Aku menulis potongan pengalaman ini seraya menatap belepotan wajahku sendiri yang terpantul dari cermin 67 tahun.
Sugeng ambal warsa, Mbah Nun. Mohon dimaafkan segala salah, khilaf, dholum dan jahuul saya selama berkhidmah di Padhangmbulan.
Jagalan 280520