Berinvestasi di Madinah
Purbalingga Lantai Dua. Julukan dan bahan bercandaan orang-orang di sana untuk menyebut beberapa daerah yang terbilang nggunung — berada di dataran tinggi, dan pelosok. Namun konteksnya biasanya candaan ringan saja, bukan ejekan.
Sebab memang meskipun pelosok, tetapi bingung juga mau mengejek apa. Lah di sana ini daerahnya maju kok. Di daerah yang berada paling jauh dari pusat kota itu banyak industri warga berdiri sudah dari bergenerasi-generasi lalu. Awet dan sustain. Dari komoditas agrobisnis seperti gula merah, kelapa muda, singkong hingga berbagai produk kerajinan dan kebutuhan rumah tangga, pakaian, kasur lantai, sapu, dan lain-lain.
Kita Bagian Tak Terpisahkan dari Masyarakat Global
Kalau Anda memahami definisi UMKM adalah sebatas usaha kecil-kecilan penghasil kripik-kripik dari aneka bahan saja, berarti Anda mainnya kurang jauh. Beberapa waktu lalu saya ngopi bareng dengan seorang kawan. Kawan saya itu bercerita bahwa awal ia pulang kampung ke sini, laboratorium sosial ekonomi yang ia pelajari adalah di Purbalingga lantai dua itu. Ada beberapa kecamatan di sana dan ia stay di sana hingga beberapa bulan.
Awal riset otodidaknya itu karena ia melihat ini daerah kok lalu lalang angkutan logistiknya dan tinggi sekali intensitasnya. Lokasi boleh pelosok, tetapi bukankah berarti transaksi yang terjadi sebetulnya besar di sana? Hal ini memantik rasa ingin tahunya.
Kebetulan kawan saya ini merasa gagap pulang kampung, perlu bekal keilmuan baru untuk beralih dari seorang profesional menjadi wirausahawan yang tinggal di daerah. Namun, karena tekadnya sudah bulat maka proses risetnya itu ia kerjakan. Ia pun melaksanakan “startup bootcamp” di sana, berinteraksi dan belajar banyak hal.
UMKM adalah laboratorium hidup ketika mereka mau berbagi. Transfer knowledge lebih berlangsung dengan terbuka sehingga seringkali replikasi usaha mudah terjadi. Dari sebuah UMKM sebuah kawasan kemudian tumbuh menjadi klaster usaha.
Tak heran apabila pengamat ekonomi kerap menyanjung mereka sebagai penolong keadaan di kala resesi. Resesi 1998 dan resesi hari ini sektor produksi dalam negeri termasuk UMKM yang terus berjibaku untuk dapat berproduksi juga adalah bagian dari penolong perekonomian nasional.
Data perekonomian nasional di 2020 neraca perdagangan kita positif. Hal ini karena impor menurun lebih curam daripada ekspor. Kenapa impor turun, karena dominan impor kita adalah berupa bahan baku. Ternyata stamina kita di dalam berproduksi masih bisa untuk bertahan dengan dukungan bahan baku dari impor. Pengamat ekonomi Aviliani menyampaikan, momentum ini adalah peluang bagi produsen dalam negeri untuk cepat-cepat menghadirkan bahan baku substitusi impor.
Sehingga, ketika nanti pandemi selesai, kita malahan jadi lupa bahwa kita diharuskan impor karena sudah terpenuhi dari barang-barang milik sendiri. Dari uraian di atas apa yang ingin saya sampaikan adalah bahwa berbicara potensi usaha lokal — UMKM, kita tidak harus melulu berbicara mengenai kripikisasi segala rupa. Juga tidak melulu mencemeti masyarakat dengan motivasi kerja keras.
Namun, kita adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat global di dalam puzzle momentum yang terus bergerak. Untuk dapat dikenali alamat kita sebagai potensi berharga bagi masyarakat global, kita tidak cukup menjadi superman sendiri-sendiri melainkan membentuk sebuah ekosistem kewirausahaan yang solid dan berdaya.
Kultur Scaling Up Berlangsung Alamiah
Kembali ke kawan saya tadi, kemudian saya bertanya. Lalu apa yang ia dapatkan dari sampeyan bootcamp di sana? Kemudian panjang dan lebar ia ber-sharing. Di sini saya akan saya sampaikan dua hal saja. Pertama: Yang kawan saya potret di sana yakni, masyarakatnya terbiasa melakukan diskusi-diskusi teknis. “Orang-orang di sana itu mas, amat pandai menaksir perputaran bisnis orang lain loh, haha”. Ia menyampaikan dengan nada kelakar. Pada rutinitas njugur dan medangan santai tanpa sadar mereka melakukan observasi bisnis model. Di kali kesempatan lain yang mereka bincangkan sebetulnya adalah competitor analisys.
Hal itu adalah kelebihan wajar orang desa di Nusantara di banyak tempat. Tampak sebagai kegiatan kultural biasa medangan bersama tetangga tiap petang, tanpa flipchart tanpa post-it tetapi diam-diam mereka sedang mengasah kapasitas diri di dalam berbisnis.
Itu yang pertama, kemudian fenomena kedua yang kawan saya potret: Satu sama lain di antara mereka terdapat peristiwa saling-dukung yang amat baik. Di setiap kiprah seorang anak muda merintis bisnis, di belakangnya ada seorang juragan yang mendukung mendanai. Seringkali skema proponensi yang terjadi adalah sang juragan berasal dari kalangan keluarga dan kerabatnya sendiri.
Dalam teori kewirausahaan sosial sebetulnya adalah praktek di atas adalah pola dari angel investor. Anak tanggal scale up sebuah perusahaan pemula diawali dari memulai seorang diri memecahkan masalah melahirkan solusi berupa ide bisnis. Lalu, seperti Samsan Tech Company di Korea, permodalan paling awal adalah dari orang tua dan teman dekat. Ketika permulaan itu bisa dilalui, maka bisa dikerjakanlah berbagai validasi. Validasi produk dan validasi pasar.
Maka, anak tangga berikutnya, seorang wirausaha pemula sudah layak berjumpa dengan ‘malaikat rejeki’ — angel investor. Apa itu angel investor? Yakni pemodal yang sebenarnya perannya lebih sebagai fasilitator ketimbang pihak yang ingin mendulang profit dari uang yang ia setorkan. Ia berbeda dengan bank yang membutuhkan agunan. Angel investor biasanya siap untung bersama atau rugi bersama.
Angel investor membantu modal tidak menanyakan agunan. Bahkan Angel investor membantu modal yang penting produknya tervalidasi, marketnya tervalidasi dan tim bisnis yang ada mau dicomelin untuk bersama-sama membuat model bisnis yang solid.
Oleh karena itu, kualifikasi paling dasar dari seseorang bersedia menjadi angel investor adalah kedekatan. Karena yang dominan adalah pembacaan yang jeli atas tahapan anak tangga usaha dan kesediaan memberikan kepercayaan bahwa mereka mau diajak maju. Tak heran jika perilaku di pedesaan di mana kawan saya berobservasi itu mendapati juragan yang mendukung itu adalah masih bagian dari kerabat keluarga.
Konsep angel investor ini sudah lama berkembang di Barat karena dirasa kondusif bagi akselerasi usaha pemula. Sayangnya, di Indonesia masih kalah populer dibanding KUR dengan iming-iming bunga murahnya. Masing-masing bisa menelusuri sendiri perbandingan dampak akselerasi antara model angel investor dengan KUR.
Dari Purbalingga Lantai Dua saya ingin mengajak kita melancong ke masa lalu ke Kota Madinah. Jangan-jangan formula angel investor jauh sebelum Barat menerapkannya, formula ini sudah dikerjakan oleh umat di sana.
Seusai hijrah, masyarakat saling bantu satu sama lain. Pak Toto Raharjo dalam observasinya menyebutkan bahwa yang primer dikerjakan masyarakat di sana adalah pengupayaan pangan — kalau sekarang pengupayaan karier.
Icon sukses di sana salah satunya adalah Abdurrahman Bin Auf. Milyarder yang hijrah dan merintis segalanya dari nol. Lalu, bagaimana ekosistem usaha-usaha rintisan di sana sebetulnya berlangsung? Apakah bank-bank berdiri dan memberikan pinjaman modal? Ataukah skema peer to peer lending oleh perusahaan capital venture?
Yang lebih mungkin terjadi menurut saya adalah orang yang lebih mampu di sana menjadi angel investor dan yang lainnya menyetorkan etos diri bekerja merintis usaha. Apa dasar kolaborasinya? Yakni kepercayaan dan persaudaraan. Mengapa bisa? Karena mereka kaum Muhajirin dan Anshor sudah terlebih dahulu dipersaudarakan oleh Rasulullah Saw sebagai Al Mutahabbina Fillah.
Bukan sebab mereka punya agunan. Bukan sebab mereka pasti menghasilkan profit. Tetapi karena di antara mereka terbangun rasa persaudaraan, atau bahkan menjadi betul-betul bersaudara karena Rasulullah Saw. Sehingga kota Madinah menjadi ekosistem merintis usaha yang begitu kondusif.