Berendah Diri dan Lemah Lembut
Sejak awal Era Corona ini tiap pagi dan sore saya menuliskan sesuatu untuk Jamaah Maiyah. Seluruhnya dengan yang ini sudah 81 tulisan. Insyaallah saya berniat terus menulis, tetapi saya simpan sendiri, sedangkan untuk caknun.com disepakati oleh Pusat Simpul Maiyah cukup sampai tulisan yang ini. Kecuali ada sesuatu yang sifatnya ekstra penting — tidak seperti 81 tulisan yang sudah mulai disusun jadi Buku namun sebenarnya tidak menambah apa-apa pada Jamaah Maiyah maupun siapa saja yang membacanya. Yang saya tuliskan hanya tanggapan, respons, sedikit perenungan, pencarian makna dan hikmah, atas berbagai dimensi nilai kehidupan yang diangkut oleh peristiwa Corona global ini.
Untuk mempamungkasi segala kemungkinan arti dan peran dari 81 tulisan saya itu, bisa diciduk dari dua firman Allah Swt. Pertama, “Hai manusia, kamu fakir di hadapan Allah, maka kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Al-Fathir). Kedua, “Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (Al-Hadid).
Kalau saya faqir di hadapan Allah, itu artinya sangat luas. Miskin harta benda, buta ilmu dan pengetahuan, tidak berdaya apa pun terhadap segala ketetapan Allah atas kehidupan ini. Maka tentang Corona ini pun, muatan 81 tulisan saya tidak lebih hanyalah kebutaan ilmu dan pengetahuan, serta ketidakberdayaan. Paling jauh hanya niat untuk mencintai dan ikhtiar untuk meringankan hati dan pikiran.
Di salah satu tulisan dari 81 itu saya mengemukakan harapan yang sangat besar dan mendalam kepada para Ulama, para Kiai, utamanya Kiai Khash dan Kiai Musytasyar, para Ustadz, para Ulul Albab, Ulul Abshar dan Ulun Nuha dari kalangan Kaum Muslimin. Agar beliau-beliau berkenan menolong kita semua Kaum Muslimin dan Bangsa Indonesia untuk menemukan jawaban-jawaban atas keadaan yang sedang mendera. Agar beliau-beliau berkenan sowan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw untuk memohon dhawuh dan fatwa. Agar beliau-beliau bersujud sowan kepada Allah Swt kemudian menyebarkan kepada kita semua hidayah yang beliau-beliau peroleh dari kemurahan hati Allah Swt tentang Corona ini.
Kenapa kita sangat berharap, karena beliau-beliaulah yang punya akses langsung kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw. Beliau-beliaulah yang kualitas iman, aqidah, akhlaq dan ilmunya memenuhi syarat untuk kasyaf, dibukakan pintu informasi, pengetahuan, ilmu dan petunjuk dari Allah Swt dan Rasulullah Saw yang amat sangat dibutuhkan oleh Kaum Muslimin dan Bangsa Indonesia, bahkan oleh seluruh ummat manusia di muka Bumi.
Beliau-beliau itu menguasai semua khasanah Islam, dari yang klasik hingga modern. Beliau-beliau sangat mengerti semua deretan Kitab-kitab Kuning, yang kita-kita di Maiyah sangat awam seawam-awamnya.
Di tengah kebingungan rakyat Indonesia dan kegamangan langkah-langkah Pemerintahnya, sungguh sangat kita perlukan hidayah Allah dan dhawuh Kanjeng Nabi yang bisa kita peroleh dari Para Ulama Khash, Ustadz-ustadz cemerlang dan Kiai-Kiai Kasepuhan sejarah bangsa kita. Beliau-beliau adalah Mursyidin kita bersama.
Selama ini ada semacam kesan dan tuduhan seolah-olah Maiyah dan saya sendiri kurang menghargai sanad-sanad Ilmu Islam. Maiyah terlalu mengakses Al-Qur`an langsung padahal tidak punya posisi kualitatif ilmiah untuk itu. Kurang memperhatikan dan kurang menjunjung pentingnya wasilah ilmu bahwa di antara kita dengan Al-Qur`an ada Kitab-kitab Kuning, ada khasanah Ulama-Ulama. Dan kita semua memerlukan “transformator” itu, karena Maiyah tidak punya kompetensi dan derajat keilmuan untuk bersilaturahmi langsung dengan firman-firman Allah Swt.
Padahal disiplin utama Sinau Bareng Maiyah adalah, misalnya “jauh lebih banyak yang tidak kita ketahui dibanding yang kita ketahui.” “Kebenaran yang kita yakini malam ini bisa kita bantah sendiri besok pagi.” “Penafsiran kita terhadap firman Allah tidaklah sama dan sebangun maknanya dengan firman itu sendiri.” “Rabbana la ‘ilma lana illa ma ‘allamtana.” Sampai-sampai kita minta tolong kepada Marja’ Maiyah, yakni Syeikh Dr. Nursamad Kamba, Cak Ahmad Fuad Effendy dari Majelis Umana’ Kerajaan Arab Saudi, Kiai Ahmad Muzzammil, juga Kiai Abdul Jalil Kudus, pembelajar tekun Kitab-kitab Kuning di induk Pesantren.
Juga sejumlah Marja’ untuk menjadi tempat kita semua bertanya: Kiai Tohar ahli ilmu sosial dan gerakan kerakyatan, Sabrang MDP, pembelajar sabana-sabana komprehensif ilmu-ilmu pengetahuan yang amat luas dan detail wilayahnya. Tidak ada satu kalimat dari saya yang berkaitan dengan Islam, Al-Qur`an dan Rasulullah Saw yang tidak saya rekonfirmasikan atau saya rujukkan kepada para Marja’ Maiyah itu.
Sebagaimana setiap Muslim menegakkan shalat dengan Takbiratul Ihram mengawalinya, antara si hamba itu dengan Allah jangan ada saya, Mbah Nun, Marja’ Maiyah, atau siapapun. Maiyah sangat menghindarkan kemungkinan bahwa kalau Mbah Nun atau Marja’ Maiyah atau siapapun merasa harus ada mereka di antara Allah dengan hamba-Nya yang bersembahyang, apalagi dengan alasan legitimasi keilmuan atau kompetensi keagamaan — maka jangan-jangan kemungkinan itu yang dimaksud oleh firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit atau murah, mereka itu sebenarnya tidak memakan, tidak menelan ke dalam perutnya melainkan api neraka, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (Al-Baqarah).
Sesungguhnya sub-tema di alinea itu, adalah hasil ijtihad Sabrang yang diungkapkan kepada saya. “Al-Qur`an langsung dari Allah, dan akal pikiran manusia juga langsung dari Allah. Kalau ada variabel yang lain, misalnya otoritas Kitab Mbah Nun atau Kiai Muzzammil, yang terlibat dalam komunikasi Rahman Rahim itu, malah ada kemungkinan atau peluang untuk bias, ambigu, meleset, malpraktek atau bahkan bisa jadi sesat, minimal karena disotentisitas prosedurnya,” kata Sabrang.
“Orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan sebagaimana mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf). Betapa mengerikan kita diloloskan masuk dan bertempat tinggal di Sorga tapi Allah ogah menyapa kita. Bahkan tidak melirik ke kita barang sekejapan mata. Tentu lebih mengerikan lagi kalau ternyata konsumsi saya adalah api neraka karena ada Jamaah Maiyah membaca Al-Qur`an kemudian merenunginya dan menjadikannya manfaat dalam hidupnya, lantas saya marah dan menuduhnya sesat karena dia mengakses Al-Qur`an langsung tanpa melewati saya.
“Wa ilallahi turja’ul umur”. Dan kepada Allahlah kembalinya semua urusan. “Ila Rabbika muntahaha.” Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya atau ketentuan waktunya. Juga Corona. Jamaah Maiyah mengkhusyuki tuntunan Allah Swt: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raf). Membersamainya dengan mendidik jiwanya masing-masing, akal pikiran dan kelegawaan hatinya untuk merasukkan informasi Allah: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Al-‘Ankabut).
Hidup di dunia ini tak akan pernah berpengetahuan lengkap karena belum mengalami kematian. Maka seluruh manusia pasti salah sangka terhadap kematian, bahkan kebanyakan suudhdhon kepada kematian, sehingga tak seorang pun yang tidak menolak kedatangannya serta sangat takut kematian. Padahal, kalau memang beriman, bukankah sudah terang benderang pemberitahuan Allah Swt:
“Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Ar-Rum: 50).