CakNun.com

Bercocok Tanam Kepemimpinan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Blora, Desember 2019. Foto: Adin (Dok. Progress).

Maiyah adalah forum silaturahmi, dengan kelengkapan dan komprehensi muatan-muatan nilai yang diperlukan, dicari dan dijalani oleh manusia. Dari budaya sehari-hari, kekeluargaan dan persaudaraan, hingga dimensi kemasyarakatan luas dan kenegaraan.

Wilayah silaturahmi Maiyah terutama, sekitar 80%, adalah bersama, di atau dengan rakyat kecil. Rakyat kecil bisa didekati dari berbagai sisi sehingga bisa bernama orang kebanyakan, masyarakat luas, warga negara, atau secara spesifik bisa disebut adl-dlu’afa atau al-mustadl’afin, alias kaum lemah atau dilemahkan.

Kalau secara pengetahuan, aktivitas dan dinamika Maiyah adalah ujung tombak penelitian untuk mengenali rakyat kecil. Kalau secara ilmu, empirisme Maiyah dengan rakyat kecil mengandung mozaik pengenalan, penghayatan dan pendalaman tentang segala dimensi kerakyatan. Kalau secara agama, Maiyah adalah medan kasih sayang yang menjalani banyak firman Allah atau hadits Nabi tentang kasih sayang kemanusiaan, perlindungan satu sama lain di antara manusia, serta medan silaturahmi yang sangat nyata. Silaturahmi bermakna persambungan kasih sayang. Maiyah bukan monolog atau pengajian satu arah, melainkan Sinau Bareng dalam hal apa saja yang diperlukan oleh ummat manusia dalam posisinya sebagai makhluk Allah.

Kalau secara kenegaraan, Maiyah adalah persawahan demokrasi. Maiyah adalah tempat bercocok tanam kepemimpinan dalam semesta demokrasi. Maiyah adalah selalu bersama, sesama manusia, semua makhluk maupun Maha Penciptanya. Bahkan kebersamaan Maiyah melibatkan seluruh makhluk Tuhan, sehingga manusia disebut makhluk bungsu, dengan kakak-kakaknya berupa hewan, tetumbuhan dan alam. Maka kepemimpinan dan demokrasi dalam Maiyah melibatkan semua makhluk (tanah air, hutan, sungai, lautan dll) sebagai subjek dengan hak hidup yang sama dengan manusia.

Rakyat adalah ra’iyah, sumber kepemimpinan. Rakyat bukan hanya warganegara atau manusia. Binatang, tetumbuhan dan alam juga rakyat. Kalau Maiyah dan ra’iyah adalah sawah, maka di antara tanam-tanaman yang tumbuh di atasnya, terdapat pemimpin. Kalau Maiyah dan ra’iyah adalah kolam, sungai atau lautan, maka dari situlah calon-calon pemimpin dijala atau dijaring.

Pemimpin yang lahir dari ra’iyah Maiyah terdidik untuk berlaku “kaaffah”, berpikir “tauhid”. Pada dasarnya ilmu dan pikiran bekerja untuk memilah, memecah, mengidentifikasi dan manganalisis perbedaan-perbedaan. Tetapi ujung semester Ilmu Maiyah adalah berpikir menyatukan atau berpikir “tauhid” itu. Maiyah melihat dan merespons segala sesuatu melalui komprehensi sudut pandang, sisi pandang, cara pandang, jarak pandang, resolusi pandang, manfaat pandang dan sangat banyak kemungkinan pandang lainnya – yang memungkinkan masyarakat manusia mendekati keadilan dan keseimbangan di antara mereka.

Bahkan secara spesifik masyarakat Maiyah mempelajari dan membijaksanai berbagai konsep dan formula kepemimpinan yang digali dari hikmah berbagai idiom dari Kitab Suci atau sumber-sumber lainnya. Misalnya perbedaan antara Amir dengan Imam, dengan Rais, atau yang spesifik seperti Mukhtar, Mursyid dll.

Tetapi pergerakan Maiyah tidak menyempitkan diri ke dalam ranah politik kepemimpinan Negara, meskipun mereka menghimpun potensi yang bisa saja diefektifkan untuk keperluan kehidupan bernegara. Namun Maiyah tidak membangun atmosfer kepemimpinan formal apalagi politik praktis, sehingga Maiyah tidak berupa atau berwujud atau menjadi Parpol, Ormas atau bahkan tidak juga jenis padatan dan formalisme lainnya.

Perspektif Maiyah adalah “hudan linnas”: firman Allah itu petunjuk atau hidayah untuk (semua, setiap) manusia. Jadi sangat universal dan sangat kristal esensial. Bahwa kemudian ada manusia Maiyah yang mengaplikasikan kepemimpinannya ke konteks Negara atau padatan formal lain, ia sudah memiliki bekal kristal universal, sudah punya modal “Ilmu Glepung”, “Ilmu Saripati”. Setiap manusia Maiyah kemudian berdaulat dan punya hak penuh atas hidupnya masing-masing, akan berkembang menjadi “ahsanu taqwim” saja, atau “insan kamil” saja, atau “khalifah” saja dalam pemaknaan universal — atau menjadi Bupati, Gubernur dan Presiden — yang juga “saja” sebagaimana ahsanu taqwim dan insan kamil. Bergantung pada pemaknaan dan penggunaan kata “saja” itu.

Lainnya

Hati Bagi (Diri) Manusia

Hati Bagi (Diri) Manusia

Beberapa hari saya tidak mendengar kabar dari bocah (baca: guru saya) yang sedang berjuang melawan sakitnya.

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot
Exit mobile version