Beragama Transaksional

Sebelum berlanjut membahas mukjizat, mari kita mundur sejenak dengan membahas apa yang biasa disebut “iming-iming” — yang nantinya bermuara pada harapan-harapan untuk mengalami atau mendapatkan mukjizat. Para penceramah agama, yang bermunculan bak cendawan di musim hujan, belum mampu meyakinkan umatnya bahwa ketaatan perlu dikerjakan semata-mata karena ketaatan itu memang baik — tanpa iming-iming balasan apa pun.
Tapi, faktanya, ketaatan masih harus dimotivasi dengan iming-iming surga atau ancaman neraka. Akibatnya, cara beragama menjadi transaksional, seolah orang-orang beragama tidak akan pernah beranjak dewasa lantaran sikap dan perilakunya tergantung pada “iming-iming”.