Belum ‘Adzabun, Rijsun, Waqun atau Nakalun
Kalau kita melihat tokoh-tokoh nasional kita yang berhimpun menjadi tim Negara dan Pemerintah untuk menangani persoalan sebaran dan akibat Covid-19, rasanya tidak ada alasan untuk putus harapan. Mereka semua pakar, ahli, ekspert, berpengalaman dan mumpuni di bidang masing-masing. Tidak ada lubang keraguan pada mereka.
Satu-satunya yang mungkin bisa menjadi blunder atau kans untuk gagal adalah kalau ada ketidakjujuran karena misalnya suatu peta kepentingan atau keuntungan. Kalau ada ketidaktuntasan untuk bersungguh-sungguh menangani proses penyelesaian masalah. Kalau sembrono, merasa bisa, tenang tidak pada proporsinya, apalagi agak sombong sebagai manusia kepada Covid-19 yang amat sangat kecil. Atau kalau ada kebodohan, kedunguan atau kenaifan sampai tingkat melampaui batas toleransi teknis strategis. Kalau ada ketidakterjangkauan kadar problem atau tingkat masalah yang dihadapi.
Selebihnya, dengan modal atau faktor lain yang dimiliki manusia, rakyat atau mayoritas bangsa Indonesia, saya berharap tidak terlalu lama kita berada dalam siksaan Corona. Secara pribadi saya bertawakkal bahwa pada hari ulang tahun saya 2020 ini nanti keadaan sudah relatif mereda. Belum tentu sudah ‘sopan’ untuk kembali ngumpul Maiyahan, meskipun secara teknis medis dan atmosfer keseluruhan dari rentang trauma yang kita alami bersama, hari-hari itu sebenarnya sudah relatif aman untuk melakukan hal-hal sebagaimana sebelum Corona.
Sebenarnya kalau mau jujur melihat ke dalam diri kita semua dan masing-masing hari ini, kalau soal berani atau tidak, tentu kita semua berani nanti malam berkumpul Maiyahan. Masih bawa “payung”: masker, disiplin jaga jarak, jujur pada kondisi badan masing-masing, berbekal tekad, tenang dan percaya diri, tawakkal dan sangka baik kepada rahmat serta perlindungan Allah — nanti atau besok atau lusa malam kita berani Maiyahan lagi.
Itu kalau faktornya hanya soal takut atau berani, yang terdapat di dalam diri Jamaah Maiyah sendiri. Tetapi keberanian kita belum tentu kondusif dan harmonis dengan keadaan masyarakat secara keseluruhan. Keyakinan dan ketenangan kita belum tentu berada pada posisi simbiosis mutualistis dengan kondisi hati sosial masyarakat. Ketenangan seseorang, termasuk kita, berapa pun jumlahnya, bisa menjadi gangguan bahkan ancaman bagi orang lain di sekitar kita.
Dan kalau ada petugas yang bertanya: “Apakah Anda menjamin bahwa Maiyahan ini tidak membuka peluang bagi penyebaran virus Covid-19?”
Anda tidak pada tempatnya untuk menjawab: “Hanya Allah yang berposisi dan punya kemampuan untuk menjamin.” Kita tidak bisa menjelaskan “sanad kafalah”nya. Maka tidak mungkin “keberanian” kita itu kita terapkan di tengah masyarakat yang masih trauma Corona dan di depan Pemerintah yang juga masih melihat kegelapan di jalan perjuangannya.
Kecuali yang memerintahkan atau mengizinkan kita Maiyahan lagi seperti biasanya adalah langsung Nabi Muhammad Saw. Atau Nabi siapapun yang pernah mengalami timpaan bencana: Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Ayyub, Nabi Syuaib. Sebenarnya kita semua adalah utusan Allah. Semua manusia adalah utusan Allah. Setiap manusia adalah pemegang mandat Khilafah dengan dibekali sejumlah alat di dalam jiwa kita. Tetapi Rasulullah Saw adalah Nabi Pamungkas. Sesudah beliau tidak ada lagi utusan Allah dengan derajat, pangkat dan otoritas serta perlindungan sebagaimana para Nabi dahulu kala, terutama Kanjeng Nabi Muhammad yang “ma’shum” dan “mahfudh”.
Atau malah mungkin, meskipun Nabi Muhammad Saw ada bersama kita di sini, lantas beliau melepas kita Maiyahan dan kumpul-kumpul lagi, salah satu kemungkinan besarnya adalah Nabi Muhammad akan ditangkap oleh petugas Kepolisian dan di-sel di Polres atau langsung di Polda Metro Jaya.
Kalau Allah berfirman: “Inna akhdzahu ‘alimun syadid”. Sesungguhnya adzab Allah itu sangat keras dan dahsyat. Atau banyak yang lain “Inna ‘adzabi lasyadid”, “Innahu kana ‘adzaba yaumin ‘adhim”. Covid-19 ini sama sekali bukan atau tidak atau belum seperti yang dimaksudkan oleh firman itu. Coronavirus ini belum “adzabun alim”, belum “hamim”, “wabil”, “washib”, “syadid”, “ghalidh”, “raniyah” atau “tanad”. Covid-19 bukan “rijsun”, bukan “akhdun”, bukan “waqun”, bukan “nakalun”, bahkan bukan “iqabun” pada takaran yang Allah maksudkan di firman-firman-Nya. Atau belum sepadan dengan yang Allah timpakan kepada Kaumnya Nabi Hud, Nabi Nuh, Nabi Luth, Nabi Saleh, Nabi Syuaib, Nabi Musa, Ashabus-Sabt, Ashabur-Rass, Ashabul Ukhdud, Ashabul Qaryah, Kaum Tubba atau Saba.
Covid-19 bukan kedahsyatan dan kengerian dan penghancuran sebagaimana yang tergambarkan oleh kata adzab selama ini. Situasi Corona ini situasi ekstra waspada, kehatian-hatian yang baru, disiplin baru, sejumlah pengorbanan sosial budaya sehari-hari yang mungkin menyebalkan, tapi bukan mengerikan.
Apalagi Allah kasih regulasi, yang prinsipnya sangat menguntungkan mayoritas bangsa Indonesia: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (QS. Al-Anfal).
“Kamu” di situ adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw, yang Jamaah Maiyah memakai idiom hidupnya sebagai “gandholan klambine Kanjeng Nabi” dengan praktik antara lain penerapan “shallu ‘alaihi wa sallimu taslima” di setiap Maiyahan, berdampingan dengan disiplin iman taqwa tawakkal akhlaq mereka dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan “kamu berada di antara mereka” bisa berbeda-beda, tetapi pasti parameternya adalah kesungguhan komitmen iman dan ittiba’, peneladanan hidup shiddiq amanah tabligh amanah.
Covid-19 ini malah membawa pembelajaran bagaimana manusia Sinau Bareng kembali untuk berkeluarga.
Di Maiyahan semua sudah mengembarai skala-skala makhluk berkeluarga, bahkan pun berkeluarga dengan Khaliq-nya. Tidak ada udara tanpa kekeluargaan dengan air. Tidak ada buah menjadi buah tanpa proses harmoni keluarga dengan akar, batang, dahan, ranting, daun dan kembangnya. Tidak ada rakyat tidak berkeluarga dengan Raja atau Pemerintahnya. Tidak ada manusia berumah di Bumi tanpa berkeluarga dengan kakak-kakaknya: hewan dan tetumbuhan, gunung, tanah, pasir, tanah katel, angin, ruang dan langit.
Bahkan Bumi adalah salah satu putra Keluarga Tata Surya, dengan rembulan sebagai salah satu cucunya. Tidak ada kehidupan yang diinisiatifi Allah yang berlangsung tidak dengan konsep keluarga. Demikian juga semua satuan, sistem, struktur, dan apapun saja entitas.
Allah sendiri adalah Maha Kepala Rumah Tangga Semua Makhluk dan Keluarga Jagat Raya yang menjamin kesejahteraan semua anggota keluarganya, sehingga kemudian Ia berhak untuk bikin aturan-aturan. Kita saja ummat manusia, anggota keluarga paling bungsu, yang sok cerdas, sok pinter, sok hebat, merasa mandiri (lucu), merasa layak untuk membangkang, merasa rasional untuk menerapkan Hak Asasi Manusia, padahal asalnya manusia adalah tidak ada, dan dia tidak mampu mengadakan dirinya.
Sekarang ini, dengan Covid-19 yang memang sama sekali bukan “‘adzabun syadid”, bukan adzab yang pedih, semua manusia di muka bumi malah menikmati kemesraan berkeluarga, tak terpisahkan siang malam bercengkerama, dengan keluarganya — sesuatu yang tidak pernah mereka alami sebelum Corona datang. Mereka sekarang lebih terang benderang melihat dirinya sendiri dan kehidupannya. Mereka sekarang lebih jujur, lebih objektif, lebih apa adanya. Banyak manusia yang juga menjadi sangat dekat dengan Tuhan, terpojok untuk tidak bisa tidak membutuhkan pertolongan dan perlindungan-Nya. Bahkan tradisi ibadah mereka tingkatkan, mereka perdalam, mereka intensifkan sedemikian rupa.
Dan yang paling utama adalah memenuhi setiap detik, menit dan jam, siang dan malam, duduk dan berdiri, bangun atau tidur, sampai detak jantung, detak nadi, aliran darah dengan “Astaghfirullah”. “Dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (Al-Anfal). *****