Bangbang Wetan dan Pecut Diri
Kumpulan ummat Rasulullah Saw “Bangbang Wetan” berulang tahun ke-14. Titik di Surabaya yang menyebar ke seluruh Jawa Timur ini adalah salah satu koordinat semesta Maiyah. Ummat Maiyah di seluruh muka Bumi adalah kumpulan hamba-hamba Allah di salah satu alam dari multi-alam ciptaan Allah Swt. Allah bukan hanya Rabbul ‘alam, tetapi Rabbul’alamin. Insyaallah di alam-alam yang lain, yang paralel berdampingan dengan ummat manusia di Bumi maupun di wilayah ‘alamin lainnya. Maiyahan adalah suatu pergerakan cinta Allah dan Rasulullah yang bergetar hanya di koordinat materiil fisika geografis Bumi, atau juga di berbagai tempat, wilayah, frekuensi, dimensi atau koordinat “tersembunyi” lainnya. Sebab kalau makhluk Allah, di mana pun mereka, kalau sampai Allah mengkategorikan sebagai “orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Allah” — maka arah perjalanan hidup mereka adalah kepunahan. Sedangkan Maiyah bergabung, memasuki frekuensi dan memodulasi dirinya ke keabadian.
Di hamparan atau bulatan agung al’alamin itu setiap makhluk, utamanya manusia, butuh menemukan dirinya di titik mana, bergetar karena apa serta bergerak dinamis menuju apa. Jarak antara setiap diri dengan multi-alam semesta itu diberi jembatan oleh Allah dengan “hudan linnas” yang dihimpun dalam Kitab Al-Qur`an. Kemungkinan untuk “liqa`u Rabb, perjumpaan dengan Allah, tidak terdapat pada apapun kecuali pada lingkup “hudan linnas” itu. Tidak ada Pabrik yang memproduksi barang yang bisa bergerak atau berlaku di luar yang Pabrik itu menyediakan rumus dan aturannya. Tidak ada hak asasi produk, hak asasi barang, yang ada adalah iman, taqwa, islam, ihsan barang kepada Pabriknya. Apalagi barang itu bernama manusia dengan kelengkapan “ahsanu taqwim”, sehingga terhindar dari kedunguan hak asasi manusia.
Maka di langkah awal kehidupannya, setiap individu Maiyah, setiap personal Bangbang Wetan, minimal harus menemukan Ayat dan Surah-nya di dalam Al-Qur`an. Menemukan dirinya dalam semesta “hudan linnas”. Mungkin melalui proses ayat apa yang ia senang atau memfavoritinya. Mungkin melalui pengalaman modulasi dan kompatibilitas. Mungkin menggunakan perhitungan akal dalam pengalamannya.
Cak Fuad Effendy meneteskan hikmah: “Kecintaan kita pada surat atau ayat tertentu dan membacanya dalam setiap shalat, ternyata memiliki keutamaan tersendiri, dan kata Rasulullah Saw dapat membawa kita masuk surga. Alangkah tinggi nilai sebuah cinta yang tulus, meskipun hanya kepada satu surat pendek, apalagi cinta dengan segenap jiwa kepada Al-Qur’an. Dari sisi lain kita mendapatkan kesan yang mendalam, alangkah lapang dada Nabi kita menyikapi keanekaragaman umatnya. Beliau menghargai kebaikan sekecil apapun dari para sahabatnya”.
Syukur “menemukan diri di Al-Qur`an” tidak sekedar karena favoritism, meskipun memfavoriti ayat tertentu di Al-Qur`an bisa juga ternyata merupakan wujud hidayah dari Allah Swt. Dan tidak hanya setiap inividu, bisa juga lingkup keluarga, family besar atau nasab, atau lingkaran-lingkaran kemasyarakatan, termasuk Maiyah dan Bangbang Wetan.
Misalnya, Bangbang Wetan yang embrio kelahirannya di mulai di warung lesehan rawon di Sidoardjo lewat tengah malam, ber-khusnudhdhan bahwa koordinat Qur`annya Bangbang Wetan adalah Surat Al-Fajr: semburat cahaya fajar, yang selama 14 tahun Bangbang Wetan selalu memasang spanduk permanen dan patennya tentang “kelahiran dari timur”.
Maka alangkah menggairahkan muatan ayat-ayat Allah di Surah itu. Allah bersumpah demi fajar. Kemudian menyebut malam yang sepuluh. Apa gerangan malam yang sepuluh? Dikasih pintu pula: yang genap dan yang ganjil. Sampai kemudian tatkala malam itu berlalu, ternyata menurut Allah “pada yang demikian itu terdapat sumpah, yang bisa dikuakkan dengan menggunakan aktivasi akal, yang olah forum Bangbang Wetan sudah selalu dilatihkan.
Kemudian apakah engkau membatasi berpikir bahwa “Kaum ‘Ad” itu kisah dari zaman dahulu, sehingga “irama dzatil ‘imad” bukan Gedung-gedung pencakar langit Jakarta? Bukan maniak kapitalisme-liberal? Bukan keangkuhan kekuasaan politik yang toh Allah menyebut Fir’aun langsung di ayat-ayat berikutnya? Apakah Kaum Tsamud yang memotong batu-batu di lembah pasti bukan Freeport dan eksplorasi tambang-tambang di seantero Nusantara? Apakah “yang berbuat sewenang-wenang dalam Negeri” bukan yang dimaksud Allah bukan NKRI? “Lalu mereka berbuat banyak kerusakan” — apakah kurang riuh rendah dan gegap gempita perusakan-perusakan itu di sekitar kita, sejak kanak-kanak dulu hingga usia menua sekarang?
Maka spanduk Bangbang Wetan itu apa maknanya kecuali optimisme terhadap keadilan Allah: “fashabba ‘alaihim Rabbuka shauta ‘adzab”. Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti adzab. Di antara sekian Simpul Maiyah, saya mengenal dan merasakan bahwa ummat Bangbang Wetanlah yang paling mendalam kepercayaannya kepada “intiqam” Allah swt atas kedhaliman manusia. Tema ulang tahun ke-14 mereka “Transformasi Hutan Ke Kebun Persemaian”, sangat membuktikan bahwa mereka bukan kumpulan manusia yang gampang menyerah kepada keadaan apapun saja.
Ibarat pertandingan mix martial art, Covid-19 ini sudah setengah tahun took down penduduk sedunia. Submissi. Bahasa Surabayanya: dibanting, dipithing, ditebek, didekep, ditindihi sampak sesek ambekan. Untuk hal tertentu sudah terjadirear naked chocke. Semua Negara, terutama di wilayah perekonomian, sudah tapped out . Bergerak ke arah manapun terbuntu. Indonesia mangalami jumud nasional, kebekuan, stagnan dan membeku. Sekarang sedikit orang mulai mengerti bahwa mereka tidak punya pemimpin yang sanggup memperbaharui pasukan dan strategi perang melawan Pandemi. Pemimpin yang mampu mendobrak stagnasi nasional kehidupan bangsanya. Tokoh yang menerapkan jurus sakti bangkit dari keterpurukan ekonomi rakyatnya. Pengarep yang sakti untuk mateg aji membuat kejutan kepada dunia dengan menyalip di tikungan sejarah. Panghulu yang kaya ilmu untuk menyusun kembali jurus-jurus masa depan bangsa Indonesia. Yang mengindonesiakan Indonesia dan menduniakan Indonesia. Dedengkot bangsa yang menunjukkan kecerdasan dan kecanggihan kepemimpinannya. Wong agung yang mendeklarasikan dengan langkah-langkah nyata kebesaran bangsa Indonesia. Sedikit orang mulai sedikit berpikir bahwa kita adalah bangsa yang serampangan dan ngawur, dari memilih makanan hingga memilih Kepala Negara.
Tetapi ummat Bangbang Wetan tidak menyerah. Bangbang Wetan tidak tap out. Bangbang Wetan tetap berikhtiar pada skala, konteks dan akurasinya sendiri. Bangbang Wetan tetap kontemplatif sekaligus kreatif. Bangbang Wetan lebih dalam bersujud dan lebih eksploratif menggali masa depannya. Bangbang Wetan tidak menyediakan dirinya untuk ditimpa “cemeti adzab”. Justru mereka ambil “pecut” untuk memecut diri dan kehidupannya untuk tetap bertahan menjadi “rahmatan lil’alamin” bagi masyarakatnya, alam, keluarga dan dirinya.