“Art of Religion” ataukah “Science of Religion”?
“Seni” adalah kosakata atau satuan nilai yang paling syubhat sampai hari. Baik dalam pemahaman budaya sehari-hari maupun dalam tata akademis pemetaan ilmu. Syubhat maksudnya sesuatu yang tidak tegas pengertiannya. Lazim digunakan dalam hukum Islam: syubhat adalah suatu perkara yang tidak jelas ketentuannya: halal atau haram, makruh atau sunnah atau wajib. Di dalam etika hukum Islam ada anjuran agar hal-hal yang syubhat ditinggalkan.
Dalam hal seni, yang paling baku dipahami masyarakat — seni adalah suatu produk kesenian, bisa sastra, seni ukir, pahat, musik, tari dll. Gejala syubhatnya muncul ketika kata “seni” juga digunakan untuk kegiatan yang lebih melebar: seni memasak, seni memancing, seni bela diri, bahkan pekerjaan tipu-menipu ada kandungan seninya.
Secara resmi akademis ada gelar misalnya Master of Arts, yang meliputi bidang-bidang ilmu sosial, humaniora dan seni itu sendiri. Termasuk psikologi, komunikasi, bahkan agama. Ada MA Ilmu Politik, MA Ilmu Hubungan Internasional, MA Sejarah, MA Bahasa bahkan MA Ekonomi. Di Indonesia telah dilakukan modifikasi, atau semacam ijtihad, dengan paham spesifikasinya sendiri. Tetapi yang saya tulis ini fokusnya adalah “nasib” seni sebagai syubhat pemahaman.
Ketidakjelasan dan ketidakmenentuan sebutan atas bidang-bidang itu sesungguhnya mengandung kesamaan atau kepastian, bahwa kegiatan apapun sebenarnya mengandung suatu dimensi nilai tertentu, yang muncul secara sengaja atau tak sengaja dalam rumusan “seni”. Memasak makanan juga seni, olahraga juga seni, menipu juga seni.
Seakan-akan ada semacam energi tertentu di kandungan perbuatan manusia yang dirumuskan sebagai “seni”. Bahkan petinju dunia sepseti Joe Fraizer disebut “kurang ada seninya’, dibanding Muhammad Ali musuh bebuyutannya.
Akhirnya karena meskipun dimensi seni tidak bisa dihindari dari perilaku dan kegiatan apapun oleh manusia, dan pada saat yang sama tidak benar-benar dicari dan dipelajari — akhirnya justru “seni” menjadi terbengkalai.
Demikianlah gambaran “syubhat seni” dalam kebudayaan ilmu ummat manusia sedunia. Sampai akhirnya juga mempengaruhi kehidupan beragama. Kalau orang memahami hubungannya dengan Tuhan adalah hubungan cinta, maka fakta batin itu lebih dekat ke “seni” dibanding “ilmu”. Agama itu lebih merupakan “art” dibanding “science”. Apalagi Allah menegaskan “wama utitum minal ‘ilmi illa qalila”. Tidaklah Aku menganugerahkan ilmu (kepada manusia) kecuali hanya sedikit saja. Dan sangat jelas bahwa ilmu bukanlah cara atau jalan utama untuk mencapai Allah.
Akan tetapi agama Islam sejak 200 tahun sesudah wafatnya Rasulullah saw diantarkan kepada masyarakat lebih sebagai ilmu dibanding sebagai cinta. Anak-anak kita bersekolah agama dan mengalami pelajaran-pelajaran “science of religion”, bukan “art of religion”. “Ilmu Agama”, bukan “Seni Agama”. Jadinya ya kering kerontang dan bergelimang kemunafikan seperti sekarang ini.