Apa Adanya Syaikh Nursamad Kamba
Saya mengklaim diri saya sebagai orang yang beruntung bisa kenal dan mengenali Syaikh Nursamad Kamba. Beliau mengantarkan pemahaman dekonstruktif tentang bagaimana kita seharusnya memesrai dan mengindahi Islam dengan cara dan laku yang progresif dan presisif. Bahkan, saya berkeyakinan bahwa beliau mewarisi seabreg keilmuan tasawuf yang mungkin belum tersampaikan dan tertulis sebelumnya. Saya menduga-duga beliau mencadangkan pemikiran yang bertajuk “tasawuf hadlori”, yakni gerakan dan laku berkehidupan berbasis tasawuf yang berorientasi peradaban dan kemajuan Islam. Akan tetapi, sangat tidak sopan jika saya harus membeber epistemologinya, karena saya sama sekali belum pernah sorogan ataupun talaqqi dengan beliau. Saya sebatas menerjemahkan dari hasil intipan, ngira ngaweruh, maujud rentetan pendek tentang rihlah shufiyyah beliau di Maiyah. Mafhumnya, beliau erat dengan kesan disiplin primordialnya bertipe Ibnu ‘Arabi.
Saya mengais dari apa yang pernah beliau ceritakan ketika saya sowan di rumah beliau bersama tujuh orang dulur Gambang Syafaat. Beliau bercerita bahwa beliau sudah mengkhatamkan kitab Al-Futuhat Al-Makiyyah anggitan Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi 9 jilid, Tarjumanul Asywaq, Fushushul Hikam, dan kitab-kitab lainnya. Sehingga beliau sangat mapan dan lekat dengan gaya, struktur, dan dialektika Ibnu ‘Arabi. Selama di Mesir beliau istiqomah mendaras kitab-kitab tersebut. Ketika awal beliau turut ngombyongi dan membersamai Mbah Nun, beliau takjub dengan paparan-paparan Mbah Nun tentang wujud, martabat wujud, dan cinta di Maiyah. Selesai acara beliau bertanya kepada Mbah Nun apakah Mbah Nun sudah pernah khatam kitab Al-Futuhat Al-Makiyyah. Kemudian beliau menceritakan jawaban dari Mbah Nun. “Kitab apa iku?”
Sontak beliau kaget dengan jawaban Mbah Nun yang justru jawaban itu berbalik tanya. Beliau menduga bahwa Mbah Nun itu sudah mengkhatamkan kitab karya Ibnu ‘Arabi itu. Beliau melihat, mendengarkan, dan mengamati Mbah Nun yang membahasakan konsep-konsep dan nilai-nilai tasawuf, yang menurut beliau tasawuf ala Ibnu ‘Arabi itu, dengan bahasa yang enteng, terangkum dengan penjelasan yang singkat, mudah dijangkau dan gampang dicerna. Padahal kalimat-kalimat Ibnu ‘Arabi dalam magnum opus-nya rata-rata tak mudah ditangkap dan butuh waktu lama untuk memahaminya. Itulah mengapa setelah acara beliau bertanya kepada Mbah Nun dengan pertanyaan itu. Alhasil, beliau meruang di Maiyah dan menjadi salah satu maraji’.
Sebagai Marja’ Maiyah, tentu kita banyak mengambil dan mendapatkan laba dari beliau. Bagi saya pribadi, kehadiran beliau adalah laba itu sendiri. Hadir tidak hanya meranah fisik, tetapi ilmu beliau memanah, menancap, dan hadir sebagai pemenuh dahaga pemahaman dan pemikiran. Beliau banyak membongkar pemahaman publik yang lama menjadi konotasi-denotatif sehingga didekonstruksi dan mencoba dikembalikan lagi ke makna asal dari fakta awal yang kemudian ditadabburi dan dielaborasi lebih lanjut.
Sebagaimana yang kita baca dari karya maupun tautan-tautannya. Kita akan temukan banyak dari cara beliau mendekonstruksi dan membangun pemahaman. Kita baca misalnya kata pengantar beliau “Jejak Kenabian sebagai Jalan Peradaban” dalam buku Sejarah Otentik Politik Nabi Muhammad SAW: Dari Dakwah Hingga Piagam Madinah, terjemahan dari karya Prof. Dr. Husain Mu`nis. Di dalamnya kita temukan kalimat bagaimana beliau memberikan porsi uraian tentang gagasan risalah Nabi Muhammad rahmatan lil ‘alamin. Termaktub “…Nilai-nilai akhlak yang universal itulah yang rahmatan lil ‘alamin bukan Kompilasi Hukum Islamnya. Masyarakat mana pun, peradaban kapan pun, serta latar belakang kebudayaan apa pun akan selalu menerima dengan lapang hati nilai-nilai universal dalam Jalan Kenabian Muhammad Saw., yakni: kedaulatan, independensi, penyucian jiwa, kebijaksanaan, kejujuran, dan kasih sayang serta nilai-nilai kebebasan, saling menghargai, dan mengedepankan musyawarah.” (hal. 26).
Di Maiyah, kita sudah sangat mapan bahkan sudah malakah dengan terma denotasi dan konotasi, baik denotasi yang dikonotasikan maupun konotasi yang didenotasikan. Sebagaimana Mbah Nun berkali-kali menyulut semangat kita untuk selalu tanpa henti qiro`ah, membaca, mencari dan istiqra`, meneliti tiap-tiap entitas yang terwakili oleh kata atau bahasa. Dalam hal ini, banyak juga upaya Syaikh Kamba mengedepankan sikap qiro`ah ilmiah yang arti ilmiah itu sendiri tidak beralur sama dengan konvensi pengetahuan perguruan tinggi untuk kembali mendenotasikan makna dari fakta yang tertuang. Ilmiah yang saya maksud, sefrekuensi dengan Syaikh Kamba, adalah mengetahui segala sesuatu apa adanya. Dalam versi bahasa Arabnya “Ma’rifatu kulli syai` `ala ma huwa ‘alaih“. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu apa adanya bisa berarti apa adanya demi apa adanya, apa adanya beserta apa adanya, apa adanya tentang apa adanya, apa adanya dari apa adanya, apa adanya dalam apa adanya, apa adanya dengan apa adanya, apa adanya karena apa adanya, apa adanya menyatu apa adanya, apa adanya bertaut apa adanya.
Apa adanya adalah esensi kesadaran yang perlu dihadirkan dan disikapi dengan personal yang ikhlas, mengedepankan kebaikan, sebagaimana tulisan-tulisan Syaikh Kamba yang tertuang di Tetes caknun.com. Hampir semua Tetes Syaikh Kamba berisi nilai-nilai kesadaran berhamba dan bertuhan, mengajak kembali memahami risalah Nabi Muhammad dan kesadaran berkehadiran, yakni hadir sebagai wujud pergerakan berkemajuan dan beradab (hadlori) untuk membangun Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Barangkali Syaikh Nursamad Kamba ingin mengajak kita semua, Ummat Maiyah, untuk sinau formulasi-formulasi peradaban yang telah dialami oleh para Nabi dan Rasul dari zaman ke zaman. Peristiwa sejarah dan peradaban akan selalu berlanjut dan berulang-ulang. Peristiwa masa lampau sering menghadirkan rentetan penafsiran, klarifikasi, dan verifikasi atas kebenaran tidaknya sebuah kejadian. Di balik masa lampau pula turut menyandingkan nilai-nilai dan entitas-entitas yang ditengarai oleh pelaku sejarah, latar sejarah, ruang, waktu, dan peristiwanya. Jika Syaikh Kamba mengkhatamkan kitab Fushushul Hikam berisi Hikmah (rumusan konseptual) dan Kalimah (model manifestasi) para Nabi yang kemudian beliau meng-uwur-uwur sembur-kan ke Maiyah, maka sepatutnya kita turut membacanya dan menerapkan kehadiran kita yang benar-benar Maiyah. Akhirnya, apakah kita, Ummat Maiyah, berdiam berpangku tangan tanpa karya sementara para Marja` sibuk bekerja? Itulah kedurhakaan yang nyata. Bisa jadi ada di antara kita hadir membuat satu karya ilmu khusus berangkat dari laku Maiyah Syaikh Kamba dengan misalnya “Fashshu Hikmatin Ma’iyyatin Fi Kalimatin Kamba`iyyatin”, Bab Rumusan Konseptual Maiyah dalam Model Tajalli Syaikh Nursamad Kamba.