Anugerahilah Kami Tetesan Kelembutan Muhammad
Dari sini, Mbah Nun menyusun satu wirid yang berisi permohonan kepada Allah agar kita dianugerahi tetesan Muhammad berupa tetesan kelembutannya. Wirid ini diperkenalkan kepada jamaah dan dipraktikkan untuk diwiridkan bersama dalam formasi kelompok dengan mencipta pola iramanya bersama.
Inilah wirid itu: Robbana atina qothrota Luthfi Muhammadin fi qalbi/ Robbana atina qothrota Luthfi Muhammadin fi jasadi/ Robbana atina qothrota luthfi Muhammadin fi ruhi/ Robbana atina qothrota lutfhi Muhammadin fi hayati.
Jamaah dibagi ke dalam empat kelompok dan dengan dipandu para vokalis KiaiKanjeng diajaklah mereka melantunkan wirid ini. Di tengah-tengah itu, Mbah Nun masuk menyulukkan wirid ini bergantian dengan Mas Islamiyanto untuk membangun tanjakan kekhusyukan. Tidak cukup ini saja, untuk “menguji” penguasaan atas wirid ini, empat orang dipersilakan maju. Mereka ditugasi membawakan wirid tetes kelembutan Muhammad ini.
Ini sekaligus juga sebuah kuis rupanya. Sebab salah seorang jamaah, seorang pemuda yang baik hati dan masih jomblo, ikut naik ke panggung, dan menyampaikan kalau umpama ada kuis, dia siap berpartisipasi memberikan hadiah buat peserta. Empat orang yang maju tadi alhamdulillah akhirnya mendapatkan tahadduts bin ni’mah dari mas ini berupa sejumlah uang dari pemuda tersebut.
Sebelum sampai ke wirid Tetesan Kelembutan Muhammad ini, dalam beberapa Sinau Bareng belakangan, Mbah Nun menyebut bahwa anak-anak cucu Jamaah Maiyah dapat enjoy dan asik berkebersamaan dalam Maiyahan bukan lantaran karena ilmu atau hal lain, tetapi karena ada kelembutan (luthfun) di dalam hati mereka. Pendapat ini Mbah Nun petik dari pandangan marja Maiyah Syaikh Nursamad Kamba.
Dari situlah, Mbah Nun kemudian merespons dan mencipta wirid ini. Sesungguhnya ini nyambung dengan pemahaman Syaikh Kamba mengenai kegagalan umat Islam dalam membangun peradaban di mana kegagalan itu tidak disebabkan oleh apa-apa selain karena umat Islam khususnya elit-elitnya tidak mau menginternalisasikan karakter pribadi Muhammad Saw.
Barangsiapa ingin berperan dan berkontribusi dalam sejarah, maka dia harus terlebih dahulu mentransformasi dirinya menjadi pribadi yang layak dengan jalan menginternalisasi akhlak dan karakter Muhammad Saw ke dalam dirinya. Tetesan kelembutan Muhammad adalah daya transformatif dalam diri pribadi umat Islam. Itulah sebabnya, Mbah Nun mengatakan, satu tetes air Muhammad sudah cukup.
Napak Tilas Penghormatan Kepada Nabi
Di atas panggung, yang tak lain adalah bagian terdepan dari bangunan Pendhapi ini, Mbah Nun didampingi Wawali Solo, Achmad Purnomo, Plt. Kepala Dinas Kebudayaan Kota Solo, Kinkin Sultanul Hakim, Kepala Pelestarian Budaya Kota Solo, Is Purwaningsih, Kapolres Solo, dan Dandim Solo, serta beberapa tokoh masyarakat lainnya. Beliau-beliau semua turut Sinau Bareng dan menyaksikan masyarakat yang hadir berasyik-masyuk dalam kegembiraan belajar kepada Mbah Nun dan KiaiKanjeng.
Selain paparan keilmuan menyangkut shalawat, syafaat, dan ihwal Serambi Madinah, Mbah Nun juga mengajak masyarakat dan jamaah untuk napak tilas tradisi penghormatan kepada Kanjeng Nabi melalui seni hadroh atau terbangan. Di sini, KiaiKanjeng mengeksposisikan beberapa jenis pukulan terbang (dan harmonisasinya dengan alat musik lain) mulai dari yang bergaya Timur Tengah, Jawa Asli, model Zapinan, Model Martapuran, kemudian dipuncaki dengan kenduri shalawat KiaiKanjeng yang menghadirkan nuansa dari berbagai daerah dari Sunda, Jawa, Mandar, Banyuwangi, dll. “Semoga ini bisa menjadi wacana untuk festival mendatang, supaya lebih kaya,” kata Mbah Nun.
Tentang KiaiKanjeng ini, Pak Kinkin sempat menyampaikan dua hal. Pertama, dalam Festival Hadroh 2020 ini, banyak kelompok hadroh yang coba menghadirkan nomor shalawat yang musikalitasnya mengacu kepada KiaiKanjeng. Kedua, ratusan tahun lalu, bangsa Arab baru bisa menghasilkan alat musik terbang yang notabene terbuat dari kulit dan kayu. Bangsa Eropa pun demikian dengan gitarnya yang terbuat dari kayu dan senar. Sementara leluhur bangsa kita sudah melahirkan gamelan yang bahannya adalah kayu dan logam. Menurut Pak Kinkin, KiaiKanjeng adalah representasi leluhur kita yang kemudian memadu dengan berbagai alat musik modern.
***
Sebagaimana dalam Sinau Bareng, sesi tanya jawab juga dibuka bahkan hingga dua kali. Berbagai pertanyaan terlontar dari para jamaah yang kesemuanya ingin mendapatkan bimbingan dari Mbah Nun, dari soal mendapatkan jodoh, menghadapi dilema antara tuntutan ortu dan keinginan sendiri dalam memilih pekerjaan, hingga hal-hal yang menyangkut pencarian batiniah. Mbah Nun menjawab semuanya satu per satu dengan sabar dan penuh pembimbingan. Yai Muzammil turut membantu merespons beberapa pertanyaan.
Lapangan rumput yang berada di depan Pendhapi Gede ini dipenuhi masyarakat dan jamaah dari Solo maupun kota-kota lain. Pohon yang rindang yang menyatu dengan kawasan budaya dan pemerintahan yang berada tepat di jantung kota Solo ini turut menjadi saksi berkumpulnya orang-orang yang menimba ilmu. Sejak sore hujan deras mengguyur kawasan ini. Hingga Maghrib pun masih berlangsung. Menjelang isya’ mulai reda. Dari deras berganti tetes-tetes gerimis.
Tetes-tetes itu seakan mengisyaratkan dan menyambut bahwa nanti majelis Sinau Bareng ini akan memasuki topik baru yaitu Tetes Kelembutan Muhammad, dan Solo adalah kota pertama di mana Mbah Nun memperkenalkan wirid baru Tetes Kelembutan Muhammad, yang mengajak semua hadirin dan anak cucu untuk memohon kepada Allah: Anugerahilah kami tetes kelembutan Muhammad di dalam hati, jasad, ruh, dan hidup kami.
Demikianlah sebagian kecil dari tetes-tetes yang dapat kita himpun dari Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng di Pendhapi Gede Balaikota Solo malam itu.