CakNun.com

Antara yang Galih, yang Lajer, dan yang Carangan

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 3 menit
Mocopat Syafaat Oktober 2019. Foto: Adin (Dok. Progress).

Peta perisuan kontemporer sungguh menarik untuk disimak. Khususnya isu-isu yang muncul selama tiga empat bulan terakhir, termasuk isu yang dimunculkan dan dimuncul-munculkan, isu yang diberitakan terus terang atau diberitakan dengan cara gerilya dan penuh kamuflase, isu yang muncul secara sporadis, spontan, atau isu yang muncul secara terstruktur berkesinambungan mirip kereta api dengan lokomotif isu dan gerbong-gerbong isu ikutannya.

Semua terasa menarik, walau kadang membosankan, menjengkelkan, menggemaskan, menggembirakan sekali-sekali, dan kadang isu itu membuat pening kepala juga. Sebagai orang yang lebih empat puluh tahun menjadi wartawan yang sehari-hari bergelut dan bergulat dengan isu-isu kontemporer saya mencoba memetakannya dengan menggunakan parameter atau alat ukur dan alat lihat bernama budaya Jawa.

Ketika orang Jawa memandang masalah maka masalah-masalah itu dibedakan menjadi tiga kelompok masalah utama. Pertama, masalah yang masuk kategori yang galih dan yang manah (masalah ingkang saged dipun penggalih tuwin dipun manah). Ini disebut masalah yang substansial sekaligus esensial. Meng-galih itu terarah ke dalam (inward looking) dan me-manah itu terarah ke luar (outward looking) dan menyatu dalam kesadaran keabadian makna. Isu-isu yang berkualitas dan berkapasitas galih ini memiliki bobot spiritual yang penuh dalam memandang masalah. Misalnya, memandang virus Corona sebagai tanda atau ayat kauniyah Tuhan, dengan segala kompleksitas pemahaman dan kesadaran, dengan kompleksitas pemikiran dan tindakan yang menjadi pilihannya. Isu yang berkualitas dan berkapasitas galih ini cukup bertebaran di media individual, media sosial, media massa dan media alternatif.

Kedua, masalah yang masuk dalam kategori yang lajer, yang menjadi pokok fokus dari masalah itu. Ibarat ngomong soal bambu yang lajer itu ya bambunya itu. Isu-isu yang berkualitas dan berkapasitas lajer ini banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya memakai pendekatan taktis dan strategis. Misalnya memandang masalah virus Corona sebagai masalah ilmu pengetahuan kesehatan dan metode untuk menghadapinya. Karena karakter virus ini tidak terduga sebelumnya, masalahnya kemudian berkembang menjadi bencana kesehatan dan menimbulkan darurat kesehatan. Dalam perkembangannya malahan menimbulkan implikasi dan komplikasi menjadi bencana ekonomi. Selama isu-isu yang berkembang masih beredar dan berkutat dan berfokus pada wilayah penanganan bencana kesehatan dan bencana ekonomi maka isu-isu ini masih masuk dalam kategori yang lajer itu. Ini masih menarik untuk diikuti, meski komplikasi dan kompleksitas strategis dan taktisnya tidak semua terpahami.

Yang ketiga, masalah yang masuk ke dalam kategori yang carangan. Masalah di luar yang galih dan yang menempel pada yang lajer. Ibarat kalau ngomong masalah bambu, ini carangnya (rantingnya), bukan sosok induk masalah bambunya. Bahkan dalam kenyataan banyak muncul yang lucu dan jenaka, karena isu kategori carangan ini ditempelkan tidak pada pohon induk masalah yang tengah menjadi masalah utama yang dihadapi masyarakat. Ibarat masalah pokoknya adalah bambu, tetapi carang atau ranting masalah yang ditempelkan justru ranting masalah pohon mlinjo atau ranting masalah pohon jati atau ranting masalah pohon kangkung yang tidak ada hubungan fungsional dengan bambu sebagai pokok masalah. Atau malah ada yang memunculkan masalah bagaimana menangkap belalang atau bagaimana cara adu ayam yang efektif, ditempelkan pada isu pokok, masalah bambu itu.

Yang banyak terjadi selama tiga empat bulan ini adalah kekacauan isu-isu (kekacauan wacana, kekacauan berpikir, kekacauan bertindak dan kekacauan mobilisasi ide) akibat dominan dan berkuasanya isu-isu berkualitas dan berkapasitas carangan ini. Isu-isu berkualitas (atau non dan pra kualitas) dan berkapasitas carangan seperti ini sungguh membebani masyarakat yang sesungguhnya sedang berkonsentrasi untuk mengatasi masalah pokok, dalam hal ini adalah masalah bencana kesehatan dan bencana ekonomi akibat gerakan dan pergerakan virus Corona itu. Munculnya banyak isu yang dalam parameter fikih jangan-jangan masuk kategori mubah bahkan makruh ini sungguh mengganggu, tapi menggoda masyarakat untuk melahapnya.

Itulah peta sederhana dari peta perisuan kontemporer yang sempat saya catat selama tiga empat bulan ini. Sebagai wong Maiyah, tentunya kita perlu lebih suntuk bergulat dan bergelut dengan isu yang berkualitas dan berkapasitas galih dan lajer itu. Tidak malah sibuk melayani isu-isu yang cenderung masuk kategori carangan, apalagi carangan isu yang tidak nyambung dengan pokok masalah yang kini tengah kita hadapi bersama. Nuwun.

11 Juli 2020

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya