Antara Tawakkal dan Takabbur
Berbekal jiwa tawakkal, pola berpikir dan sikap mental tawakkal, Jamaah Maiyah berperilaku sebagaimana biasanya, pergi ke manapun sesuai dengan keperluan dan kewajibannya. Ia sangat berpasrah diri kepada ketentuan Allah apapun saja yang akan menimpa dirinya.
Ia berbekal sejumlah pernyataan Allah. Misalnya, “Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Ia akan melindunginya dan memberi jalan keluar atas masalah yang menimpanya”. Dan bahkan, “Menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang di luar perhitungannya”. Arah datangnya kasih sayang Allah bukan di keramaian Mall, Stasiun, tempat belajar, forum publik atau di manapun. Jalan rezeki Allah adalah di jalan taqwa setiap orang.
Dan, “Barang siapa bertawakkal kepada Allah, Ia berjanji akan membimbingnya dengan perhitungan-Nya”. Ke manapun Jamaah Maiyah pergi, berada di tengah rawa tular Corona yang bagaimanapun, Allah menghitung dan memandunya untuk melewati sela-sela yang sehat dan selamat. Bahkan Allah berjanji tetap “membuat Jamaah Maiyah sampai pada hasil yang ia perjuangkan dalam kebaikan-Nya”.
Jamaah Maiyah merawat kesehatannya, mengistiqamahi wudlu dan shalatnya, menjaga jiwa taqwa dan hati tawakkalnya: mewakilkan kepada Allah segala sesuatu dan kemungkinan-kemungkinan yang berada di luar kuasa dan kemampuannya. Jamaah Maiyah memastikan bahwa seluruh keutuhan hidupnya semat-mata mengabdi kepada “Maha Penjaga Ka’bah, “Robba hadzal bait”—karena itulah jalan dan rute untuk mendapatkan gaji langit: dijamin tidak kelaparan dan dipastikan dibebaskan dari rasa takut kepada apapun saja kecuali Allah sendiri.
Kehidupan jiwa dan kesadaran pikiran Jamaah Maiyah berpegangan total kepada Al-Qur`an: “huwa lilladziina aamanu hudan wa syifa`an”. Darah daging otot syaraf Al-Qur`an di dalam hidupmu memberimu petunjuk melangkah ke mana, lewat sela sebelah mana, menuju ke mana, dan jika sesuatu menempel pada Jamaah Maiyah sebagai penyakit, maka jiwa Al-Qur`an menyembuhkannya.
Langkah kaki, lambaian tangan, detak jantung dan mengalirnya darah Jamaah Maiyah selalu mengiramakan “la haula wala quwwata wala qorona illa billahil ‘aliyyil ‘adhim”.
Akan tetapi pada saat yang sama Jamaah Maiyah memaknai “taqwa” terutama pada dimensi “waspada”. Waspada kepada keagungan Allah sehingga mengagumi-Nya. Waspada kepada kekuasaan Allah sehingga senantiasa menggantungkan diri pada-Nya. Waspada kepada alam, limpahan rezeki, berkah bebuahan, azimat madu lebah, sehingga mensyukurinya. Waspada kepada setiap serbuk dan debu, ada serbuk rahmat tapi juga ada debu penyakit. Waspada kepada dirinya sendiri. Jamaah Maiyah bermuhasabah setiap saat dan terus-menerus terhadap tipisnya jarak antara—misalnya—tawakkal dengan takabbur, antara yakin dengan gedhe rumongso, antara bertaqwa dengan percaya buta, antara iman dengan kesembronoan. Di antara dua-dua itu jaraknya sangat tipis. Bahkan sangat-sangat tidak kentara dan sewaktu-waktu bisa tidak terasa pergeserannya.
Jamaah Maiyah belum tentu punya radar atau verifikator untuk mengukur pergeseran yang sangat tipis dan mikro itu, sebab mereka tidak bertugas sebagai Malaikat Kiroman maupun Malaikat Katibin.
Maka kalau sampai itu terjadi, Jamaah Maiyah tidak sekadar mencelakakan dirinya sendiri, tapi juga mencelakakan masyarakat luas, serta membuka lebar pintu-pintu dhonn dan fitnah.***
Jakarta, 18 Maret 2020