Amenangi Zaman Jahiliah
Belum pernah ada penjelasan terinci mengenai keadaan edan bagaimana yang berlangsung di masa Ronggowarsito, satu setengah abad yang lalu.
Moral rusak? Moral siapa yang rusak? Moral masyarakat, ataukah moral para pamong negara atau semua? Moral yang apaan? Tidak jujur? Saling menikam nasib? Menjilat? Korupsi? Menjajah?
Mungkin ya semua itu. Tapi apa kunci pokoknya? Manusia di zaman sesudah itu tak pernah sungguh-sungguh bertanya. Barangkali karena mereka langsung paham, dan itu karena memang mereka secara langsung berada di dalam ke-edan-an yang semacam itu juga. Pokoknya baik pedagang gerobak, tukang becak atau Menteri, langsung saja mengerti yang disebut zaman edan.
Mataram di masa Ronggowarsito tak memiliki keadaan luar biasa yang bisa dijadikan indikator dari ke-edan-an. Maka Mataram Amangkurat II mestinya lebih edan lagi. Maka zaman imperialisme Majapahit juga tak kalah edannya. Maka zaman beratus kecamuk Jawa Kediri Singasari juga sami mawon. Kecuali kalau datang kepada kita seorang pakar yang menjelaskan frame sosial-budaya, sosial-politik, atau apa saja yang menunjuk secara jelas ke-edan-an itu.
Maka kemudian, dekade-dekade sesudah sang Pujangga — yang terus di bawah Walondo itu — juga tidak memiliki alasan untuk tak bisa disebut zaman edan. Dan lantas beberapa dasawarsa terakhir ini, kita juga cukup sibuk menyebut zaman Orde Lama adalah sebuah contoh tajam dari zaman edan. Dan akhirnya, tiba-tiba saja, Pak Harto — Presiden kita sampai sekarang ini — memperingatkan para pemuda bangsa besar ini agar eling lan waspada di tengah zaman edan ini. Edan! Jadi sekarang ini zaman edan tho?
Lha kapan tidak edan?
Sejak Qabil dan Habil, sejak umat Nuh, para Fir’aun, abad pertengahan Eropa, sampai zaman pintar dan canggih ini, kok edan terus. Padahal edan itu lebih gawat dibanding jahiliah. Jahiliah itu ke-edan-an yang muncul merambah karena kebodohan, ketidaktahuan, atau — dengan bahasa agama — karena petunjuk Allah belum sampai kepada para pelakunya.
Adapun edan: itu sudah pinter-pinter, buku menjejali dinding, punya komputer, bisa membidik planet, mampu menusukkan jarum ke pusat bumi, sanggup melakukan pembaruan-pembaruan di bidang yang bermacam-macam termasuk agama.
Tapi kita, insya Allah, tidak edan. Namun justru karena itu maka kita tampak edan...
(Dokumentasi Progress. Tulisan tergabung dalam buku Secangkir Kopi Jon Pakir, Mizan, 1992, hal. 96-98).