Akhir Pekan Pelatihan Terapi Zamatera di Rumah Maiyah
Sepuluh menit menjelang rolasan saya baru berangkat dari rumah. Mrican-Kadipiro menempuh durasi sekurangnya 20 menit. Untung di perjalanan tak begitu macet meski ini hari Sabtu (18/07). Sesampainya di Rumah Budaya EAN, Jalan Barokah No. 287, pelatihan gratis Terapi Zamatera buat Jamaah Maiyah belum dimulai.
Barangkali akan dibuka satu jam setelah waktu yang ditentukan Pukul 12.00. Pikiran saya tepat. Seraya menunggu peserta terdaftar yang datang, di Pendopo Maiyah telah ada Mas Alay, Mas Yudhis, Mas Angga, dan jamaah lainnya. Kami beramah tamah terlebih dahulu. Sak ududan sik.
Seorang berbaju hem lengan pendek warna hijau dengan celana mirip samurai itu memperkenalkan diri. Ia bernama Pak Muhammad Zaeni, Ketua Umum Perkumpulan Penyehat Tradisional Otot dan Sendi Zamatera (Perzamatera).
Pak Zaeni, panggilan akrabnya, bertempat tinggal di Salatiga, Jawa Tengah. Kami menyimak khusyuk sambil melingkar dengan jarak satu meter sesuai protokol.
Sebenarnya pelatihan gratis untuk jamaah Maiyah ini sudah lama Pak Zaeni rencanakan. “Sekitar November 2015 saya berkoordinasi dengan Cak Zakki. Tapi baru terlaksana sekarang. Tidak apa-apa,” kenangnya.
Ia berendah hati menuturkan metode penyehatan tradisional tanpa alat dan obat miliknya bisa cespleng semata-mata karena izin Allah.
“Apalagi ini kan fokus utama terapinya di syaraf tulang belakang,” jelas Pak Zaeni. Keberhasilan ini membuat dirinya dan tim berkeliling Indonesia, bahkan mancanegara seperti Jepang dan Malaysia.
Bila ditelusur ke belakang, Zamatera punya sejarah panjang. Ia masih ingat betul hari Minggu pagi, 19 Desember 1999. Waktu itu bapaknya, almarhum Asrori, wafat.
Tiga hari sebelu itu mendiang susah menggerakan tubuh. Bagian belakang pinggangnya sakit. Saat dibawa ke rumah sakit, dokter bilang belum mengetahui jenis penyakitnya.
Di pusara ayahnya ia berdoa supaya kelak mendapatkan ilmu agar bisa mengatasi penyakit seperti yang pernah diderita orang yang dicintainya itu. Doa itu terkabul meski Pak Zaini harus menempuh proses sakit serupa.
Tahun 2005. Bagian pinggangnya sakit dan menjalar sampai seluruh tubuh. Puncaknya Pak Zaeni merasa tubuhnya seakan terkunci. “Tak bisa digerakkan sama sekali. Yang saya rasakan adalah badan serasa ditusuk besi panas dari kepala sampai kaki,” ucapnya.
Dokter berkata sarafnya terjepit. Manakala ditanya apakah pernah mengalami kecelakaan, Pak Zaeni mengaku sempat ketabrak mobil tahun 1995. Satu sengah bulan ia hanya terbaring di tempat tidur.
Gurunya di pesantren menasihati Pak Zaeni supaya berganti profesi. Sebelumnya ia pernah bekerja sebagai ahli optik. “Ketika saya sakit, orang yang saya hormati bilang: Kurang-lebih sakitmu akan menjadi sembuhnya orang lain. Kesembuhanmu itu dari dirimu sendiri. Harus belajar ikhlas. Menikmati sakit,” ungkapnya.
Kendati mengalami sakit luar biasa, hati Pak Zaeni mencoba tenang dan ikhlas. Dibantu istrinya ia melakukan gerakan-gerakan seperti orang shalat. Seraya bereksperimen sendiri di rumah, ia melahap semua literatur kesehatan yang dapat dijangkau.
“Berangsur-angsur sakit yang saya rasakan berkurang. Dan pada akhirnya hilang,”imbuhnya. Metode tradisionalnya itu lahir dari pengalaman Pak Zaeni langsung. Walaupun perlu mengalami sakit terlebih dahulu.
Apakah metodenya ilmiah? Tahun 2007 ia melakukan penelitian terhadap 70 siswi di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, Salatiga yang mengalami nyeri saat haid. Responden diberikan gerakan peregangan. Sebulan setelah itu sebanyak 67 orang mengatakan tak lagi merasakan nyeri ketika datang bulan.
Tiga orang sisanya masih merasakan sakit. “Lalu kami berikan penyehatan lagi. Bulan berikutnya dua orang menyatakan tidak merasakan nyeri, sedangkan satunya masih,” tuturnya. Selama enam bulan observasi dan penyehatan dilakukan. “Dan mereka telah terbebas nyeri saat haid.”
Langsung Praktik
“Selama ini pelatihan kami bisa dua hari,” papar Pak Zaeni, “namun hari ini kita langsung praktik saja, ya. Menjelang surup sudah harus selesai soalnya.” Asistennya yang dahulu pasien dan kini menjadi pelatih menghitung jumlah peserta satu persatu. Ia mengatakan tiap orang harus berpasangan. Saya satu kelompok dengan Mas Angga.
Matras digelar, latihan bergantian. Sebelum Pak Zaeni mencontohkan tiap langkah, ia menggarisbawahi lima hal. Terapi Zamatera tak boleh dipraktikkan untuk orang hamil, pascaoperasi berat, pengapuran tulang, retak atau patah tulang, dan tulang yang sudah dipasang pen.
Terapi ini berjumlah 17 gerakan. Dimulai dari gerakan paling sederhana. Seperti pelenturan otot dan sendi pergelangan kaki sampai punggung serta pinggang (gerakan kayang). Masing-masing level gerakan terdiri atas lima sampai tujuh langkah.
Misalnya Gerakan 1. Pertama, tubuh harus terlentang dan kaki lurus. Pelatih memegang kedua ujung punggung kaki klien. Posisi punggung kaki ini ditekan secara lembut. Lamanya sembilan detik. Kedua, posisi ujung punggung kaki klien serong ke dalam. Kedua ujung punggung kaki klien ditekan sampai kedua ibu jari bersentuhan. Penekanan dilakukan dengan lembut dan bertenaga. Waktunya sama.
Ketiga, pelatih menekan kedua ujung telapak kaki klien bagian bawah ibu jari. Sama seperti sebelumnya, ia ditekan dengan lembut dan bertenaga tapi sambil digoyang-goyangkan. Keempat, pelatih memegang kedua telapak kaki klien dari arah bawah dan didorong sekitar sembilan detik. Gerakan ini memutar ke dalam sebanyak tiga kali dan keluar tiga kali.
Teknis Gerakan 1 ini mengawali Terapi Zamatera. Prosedur berikutnya bervariasi sesuai metode yang dicontohkan pelatih. Saya sendiri, kendati mengikuti sampai Gerakan 10, merasakan efek segar di badan. Terutama di bagian punggung sampai pundak. Serasa seperti habis bangun tidur. Tubuh kembali bugar.
Acara ini terselenggara berkat program khusus dari Progress di Rumah Maiyah. Biasanya aktivitas diskusi begitu khas di Maiyah, namun kini mulai menjajaki ranah lokakarya (pelatihan). Diskusi dan praktik semestinya seimbang.
Usai pelatihan peserta mendapatkan bekal pengetahuan dan keterampilan. Bisa digunakan secara mandiri di rumah maupun tempat kerja.