CakNun.com

Agama dan Sains (2)

Saratri Wilonoyudho
Waktu baca ± 4 menit
Image by Free-Photos from Pixabay

Ketidakpercayaan ilmuwan terhadap peran agama dalam pengembangan sains sudah tampak jelas dimulai pada Abad Pertengahan ketika Franscis Bacon dkk mengatakan bahwa jika hendak mengembangkan ilmu pengetahuan alam, seharusnya ilmuwan berkomunikasi dengan alam dan bukan kepada para filsuf, karena pengalaman dan eksperimen merupakan sumber pengetahuan. Berkomunikasi kepada filsuf saja “diharamkan” apalagi dengan agama.

Sebelum itu, agama dalam hal ini Kristen, dan karya-karya filsuf kuno menjadi acuan para ilmuwan, baik sosial maupun alam, namun setelah Galileo dkk menghasilkan iptek yang spektakuler dan berlanjut hingga Revolusi Industri di Eropa Barat, maka paradigma berubah, yakni ilmu harus dibangun dari fakta-fakta empiris (bandingkan dengan agama yang banyak berbicara tentang simbol-simbol dan hal-hal ghaib dan tidak terjangkau akal manusia).

Karenanya, metode ilmiah yang sangat ketat harus dilalui dan dimulai dari observasi dan eksperimen yang berulang. Bekal para ilmuwan adalah panca indera yang prima untuk keperluan pengamatan, seperti dapat melihat, mendengar, meraba, merasakan, dan sebagainya. Hasil pengamatan itulah yang digunakan sebagai dasar untuk generalisasi hukum-hukum alam dan menyusun teori-teori untuk dasar pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah.

Dalam praktik selanjutnya tentu timbul pertanyaan, bagaimana sebuah observasi tunggal dapat digeneralisasikan menjadi hukum universal yang membentuk pengetahuan ilmiah? Dijawab oleh kaum induktif naif, bahwa observasi harus dilakukan dalam jumlah yang besar, dan dilakukan dengan variasi kondisi yang luas, serta keterangan observasi yang sudah diterima tidak boleh bertentangan dengan hukum universal yang menjadi kesimpulannya.

Dari metode itulah kaum induktif naif yakin bahwa ilmu pengetahuan ilmiah dibangun oleh induksi dengan dasar yang kokoh melalui observasi, dan dari titik inilah ilmu dapat digunakan sebagai piranti untuk menjelaskan dan meramalkan. Sebaliknya kaum deduktif berawal dari teori ilmiah yang kemudian dicari fakta, barulah disebut kebenaran. Dengan kata lain, ada unsur logika. Yang harus diingat bahwa kesimpulan bisa saja salah jika premisnya salah, meski secara deduksi sah. Misalnya ada premis, semua kambing dapat terbang. Si Janggut adalah kambing saya, maka kesimpulannya kambing saya dapat terbang. Ini deduksi yang “sah” namun karena premisnya salah, maka kesimpulannya salah.

Dari gambaran ini tampak bahwa kaum induktif memang mempersyaratkan validitas pengamatan, yakni tidak ada subjektivitas, selera, harapan, pendapat, atau angan-angan si pengamat. Dari sinilah muncul pula tantangan bahwa tidak bisa ilmu pengetahuan ilmiah hanya didasarkan pada banyaknya pengamatan dalam berbagai variasi dan kondisi, lantas kemudian menjadi kebenaran mutlak. Benar matahari selalu terbit dari Timur dan tenggelam di Barat, namun ini tidak dijamin seratus persen. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan pengetahuan yang probabel benar. Makin besar jumlah observasi dan variasinya, makin besarlah probabilitas hasil generalisasi itu benar.

Agama

Menariknya ajaran Islam juga mengatakan, ketika kiamat akan tiba, matahari akan terbit dari Barat dan tenggelam di Timur. Rasulullah bersabda, “Sungguh, hari kiamat tidak akan terjadi sebelum kalian melihat 10 tanda-tandanya. Tanda–tanda itu ialah asap, dajjal, binatang melata, terbitnya matahari dari barat, turunnya Nabi Isa ibn Maryam, Yakjuj dan Makjuj, tiga buah gerhana (yaitu gerhana di timur, gerhana di barat, dan gerhana di jazirah Arab), keluarnya api dari Yaman, dan manusia digiring menuju mahsyar mereka.” (HR.Muslim).

Yang menarik, sabda Rasulullah ini menjadi pijakan para astronom untuk menelitinya, dan hasilnya juga mendukung sabda itu. Perubahan dari masa satu siklus rotasi dari 4 jam menjadi 24 jam membutuhkan waktu selama 4.600 juta tahun. Waktu selama itu diperkirakan sebagai usia bumi. Kecepatan rotasi bumi masih terus mengalami perlambatan secara perlahan-lahan sebanyak 1 detik per 100 tahun, sehingga pada suatu saat nanti perlambatan kecepatan rotasi bumi pada porosnya akan sampai pada suatu titik di mana bumi akan mengubah arah putarannya. Bumi akan berputar dari timur ke barat sehingga matahari akan tampak terbit dari barat dan terbenam di timur

Al-Qur`an dan hadits sebagai sumber ajaran Islam tidak menekankan apapun metode ilmiahnya, yang penting umat harus selalu iqro` dan berpikir untuk menghasilkan ilmu pengetahuan, dan yang lebih penting lagi, pengetahuan ilmiah itu harus bermanfaat tidak saja bagi makhluk hidup, namun juga alam semesta. Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, demikian perintah Al-Qur`an. Dalam Surah Al-Baqarah (2): 60, Firman Allah: “Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu’. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.”

Jelas bahwa agama Islam sangat mendukung pengembangan iptek, bahkan banyak hasil-hasil iptek didasarkan atas simbol atau “isyarat” dari ayat-ayat Al-Qur`an seperti perputaran planet-planet, ilmu pengobatan, ilmu pemerintahan, ilmu ekonomi, ilmu politik, strategi perang dan seterusnya. Tentu sebagai kitab suci, Al-Qur`an hanya menyebut simbol-simbol saja dan tidak mungkin dalam 30 juz akan menguraikan secara detail semua cabang ilmu pengetahuan. Dengan simbol-simbol tersebut justru menghormati manusia sebagai khalifah bahwa Allah telah memberi akal untuk iqro` dan berlikir, dan selalu mencari kebenaran ilmiah sepanjang waktu. Sabda Rasulullah pula, mencari ilmu sejak dalam kandungan hingga liang lahat, atau sampai negeri “Cina”.

Dalam surah Al-Qashash (28): 77 Firman Allah :“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagian dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Surat ini juga memerintahkan manusia mencari kebahagiaan duniawi, dalam hal ini dicapai dengan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, namun jangan lupakan bahwa iptek ini hanya jalan dan bukan tujuan. Menurut Islam, tujuan akhir kita adalah kembali kepada Allah. Dengan demikian, iptek harus dijadikan alat untuk menuju Allah. Titik inilah yang kemudian tidak ditaati manusia. Pengembangan iptek justru sebagian besar merusak alam dan menjauh dari Allah. Gejala memanasnya bola bumi akibat efek rumah kaca (greenhouse effect) akibat menipisnya lapisan ozone, menciutnya luas hutan tropis, dan meluasnya gurun, serta melumernnya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran lingkungan kerena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara tidak seimbang

Peran Islam menjadi krusial di titik ini, yakni mengingatkan hal yang ghaib yang tidak bisa dijangkau akal sehingga tidak bisa diperoleh dengan cara observasi seperti kaum induktif naif, namun hanya bisa didekati dengan iman. Al-Qur`an menyebut dzat Allah, malaikat, setan, jin, akhirat, surga dan neraka, dan sebagainya, tidak bisa dibuktikan kebenarannya dengan metode ilmiah, namun hanya dengan keimanan.

Justru disinilah titik kelebihan agama dalam mendukung pengembangan sains yang bermanfaat bagi alam semesta karena jika para saintis dan penggunanya beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka ia bisa mendayagunakannya menuju ke Allah dan tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi.

Saratri Wilonoyudho
Aktif Menemani Jamaah Maiyah Gambang Syafaat. Esais. Peneliti dan Dosen Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang. Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. Ketua Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan Jawa Tengah.
Bagikan:

Lainnya

Exit mobile version