Adaptasi Normal Baru Kluster Kehidupan dan Penghidupan
Transisi menuju kenormalan yang baru terjadi terus-menerus. Seperti kemunculan internet tiga dekade sebelumnya. Segala lini praktis menyesuaikan. Demikian pula masa pandemi sekarang. Mau tak mau adaptasi harus dimungkinkan. Kendati perubahan dan penyesuaian itu digenjot secara radikal, tak sebagaimana sebelum-sebelumnya yang gradasional. Demikian pancingan awal Mas Sabrang di Mocopat Syafaat virtual (17/05) yang disarasehakan dari Pendopo Rumah Maiyah Kadipiro.
“Kalau dulu penyesuaian atas new normal itu tidak terasa,” lanjut Mas Sabrang, “kalau sekarang drastis sehingga membuat seluruh masyarakat dunia shock.” Analoginya seperti memanaskan air. Bila air pelan-pelan dipanaskan maka tak terasa akan matang. Jika sebaliknya, suhu dinaikan lekas, maka niscaya membuat kaget. “Mencolot!”
Di tengah wabah jamak orang berduyun-duyun meneliti gejala serta penanggulangannya. Oleh sifat Covid-19 yang relatif anyar, seluruh dunia bersinergi mencari solusi. Mas Sabrang berpendapat pemecahan masalah harus secara holistik (menyeluruh). “Setelah ada masalah, lalu dicari solusinya. Setelah solusi didapatkan, maka muncul masalah baru,” jelasnya. Pola ini terjadi sinambung. Ia mengibaratkan seperti laju gerakan pendulum.
Layaknya sebuah bandul yang bergerak ke kanan dan ke kiri, pendulum peradaban berjalan kontinu. “Pendulum peradaban kan selalu menegasikan patron sebelumnya dengan mengajukan sesuatu yang baru. Dan ini berlaku terus-menerus,” ilustrasinya. Hal terpenting, menurutnya, selalu mengupayakan solusi, tetap awas dan tangkas terhadap problem yang dihadapi. Adaptasi ke normal baru di tengah badai Covid-19 memang membutuhkan energi lebih.
Yai Tohar menyambung pendapat itu. Menurutnya, “New normal itu mau tak mau harus dilakoni.” Selama di rumah ia banyak berkontak dengan tenaga medis. Satu pertanyaan yang dilontarkan kepadanya apakah jika vaksin ditemukan maka berarti sudah beres. “Ya belum tentu juga. TBC saja sudah berabad-abad, namun juga masih ada sampai sekarang.” Itu kenapa Yai Tohar menyinggung hal mendesak sekarang: memikirkan alternatif penghidupan.
Mempererat Komunikasi
Mas Helmi selaku moderator saling menyambungkan lewat sambungan telepon. Setelah Yai Tohar dimintai respons, ia berlanjut ke dokter Eddot untuk menengok kondisi lapangan. Sebagai dokter spesialis anak ia mewedar informasi terkini. “Anak-anak yang terkena Covid-19 relatif sangat sedikit. Di luar negeri yang dirawat sekitar satu sampai dua persen. Di Indonesia, per Mei kemarin, ada 280 anak,” ujarnya.
Terdapat perbedaan spektrum kemunculan gejala klinis antara anak dan orang dewasa. Menurut dokter Eddot, anak yang terpapar tak memunculkan gejala. “Apa yang bisa kita pelajari dari situ?” tanyanya. Selain segi jumlah yang sedikit, gejala keparahan anak lebih ringan daripada orang dewasa. Situasi demikian masih menuai pertanyaan yang panjang. Ia menilai riset multidisiplin mesti dilakukan agar terjadi keutuhan informasi. Baik dari ranah medis maupun disiplin ilmu lainnya.
Hingga sekarang tren statistik terpapar Corona di Indonesia masih meningkat. Setidaknya ini ditinjau dari pasien terkonfirmasi, meninggal, sembuh, dan menjalani perawatan. Dokter Eddot menyitir aksi mendesak yang dibutuhkan suatu negara untuk menangani Covid-19. “Pertama, kita harus bertindak cepat. Massive testing itu perlu, social distancing itu perlu, pakai masker itu perlu. Kedua, restriksi perjalanan jauh,” ungkapnya.
Penanganan di Indonesia membutuhkan kerja sama skala besar. Ia melihat bila di Pulau Jawa sendiri dilakukan pembatasan, misalnya di satu daerah angkanya landai, maka wilayah lain naik. “Itu kita pikirkan bareng-bareng cara mengatasi hal tersebut,” tutur dokter Eddot. Kondisi tenaga medis di lapangan bekerja penuh. Mereka menyayangkan sikap sebagian masyarakat yang menyepelekan Covid-19. Belakangan di media sosial sempat viral tagar #IndonesiaTerserah Kami Lelah.
Lockdown Mugholadhoh
“Saya sedang mengalami lockdown mugholadhoh. Belum mendapatkan visa dari Mbak Via. Mudah-mudahan bulan depan bisa bergabung ke Kadipiro,” terang Cak Nun lewat sambungan telepon. Mengawali paparan ia menyodorkan pertanyaan apakah Covid-19 bisa hidup di benda mati dan apakah ia dapat menular di udara. Mas Sabrang menjawab sejauh ini belum ada informasi virus itu dapat menular di udara. Sedangkan Corona bisa hidup di benda mati meski terbatas waktunya. “Yang saya ingat di metal bisa empat jam. Bahan kain empat belas jam. Di kardus dua puluh empat jam. Di masker bahkan sampai seminggu,” jawabnya.
Berangkat dari jawaban itu Cak Nun mewedarkan betapa sekarang terdapat dua kutub. Pertama, mendapat janji dari Tuhan yang luar biasa tentang kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan keamanan. “Sedangkan yang kedua kita sekarang membutuhkan wahyu. Namun, sekarang sudah tidak ada lagi nabi masalahnya. Kita butuh wahyu langsung dari Allah,” ucapnya.
Selama pandemi Cak Nun meminta kepada Tuhan tapi belum diberi. Menurutnya, informasi yang didapatkan baru sebatas “fragmen-fragmen atau tanda-tanda kecil” yang bersifat belum substansial.
“Sebetulnya kita tidak ada beda antara Corona atau tidak ada Corona,” lanjutnya, “Kalau tidak ada pun kita tetap menjaga kebersihan, kesehatan, jarak, tidak membahayakan orang lain, dan seterusnya.” Letak perbedaannya sekarang dengan teknis protokol yang lebih ketat. “Itu pun karena kita sembrono, tidak hati-hati, dan cuek dengan nilai-nilai kehidupan.”
Cak Nun bersepakat kepada Mas Sabrang kalau Maiyah harus membuat kluster. Ia menyebut baldah Maiyah. Cak Nun berpesan agar jamaah Maiyah harus seimbang antara pesan di Al-Qur’an dan penyesuaian sosial di masyarakat. “Di satu sisi kita percaya seperti kata Allah tidak ada satu pun binatang melata yang tidak dijamin rezekinya. Dan kita sudah hapal di Maiyah kalau kita membeli jalan keluar dari masalah dan jalan rezeki yang tidak terduga dengan ongkos bernama takwa,” wedarnya.
Jamaah Maiyah juga sedang dan telah membayar dengan tawakal sehingga mencapai apa yang diinginkan. “Kemudian Tuhan akan membikin sesuatu itu tercapai di dalam keinginan kita yang diridhai atau sesuai keinginan Tuhan,” imbuhnya. Berbekal ayat dari Tuhan itu, bagi Cak Nun, jamaah Maiyah sudah lengkap. Namun, ia melihat problemnya tak sesederhana itu. “Saya mohon teman-teman semua, terutama Sabrang dan Yoyok untuk kepentingan Covid-19. Dan untuk Marja, Mas Toto, untuk kepentingan penghidupan.” Ketahanan dan kesabaran. Dua pesan Cak Nun.
“Kita berjalan di jalan yang kita tidak bisa melihat dengan buta, maka kita juga akan punya keimanan dan tawakal yang buta. Cepat atau lambat Tuhan akan menyelesaikan masalah ini,” pesan Cak Nun kepada anak dan cucu Jamaah Maiyah.
Jangan Stres
Banyak informasi tersedia di internet seputar penyebaran Covid-19 dan inkubasi virus di benda mati, Mas Yoyok berpendapat hal terpenting tetap mensanitasi tangan. Ia menilai ketimbang barang disemproti, kalau tangan menyentuh benda itu, “Ya sama saja!” Maka, menurutnya, sumber primer tetap di tangan dan jangan stres. Hal terakhir ini jamak luput dari perhatian orang. Khususnya dari segi psikis manusia.
Stres berkepanjangan akan membuat daya imunitas tubuh menurun. Mas Yoyok berpesan agar poin ini menjadi perhatian bersama—di samping “jangan menyepelekan” karena itu merupakan bentuk kesembronoan.
Terakhir, new normal itu, bagi Cak Nun, harus diikhlasi. “Bahwa kita harus punya protokol cara hidup yang baru, saya kira itu tidak harus kita ratapi. Setiap keluarga, setiap individu mengkreatifi hidupnya untuk survive agar hidup yang lebih panjang ke depan. Selebihnya kita memang sedang diuji oleh Allah supaya lulus menjadi orang yang beriman,” pungkasnya.