73 Tahun yang Men-Satu-kan Hati dan Pikiran


Yang masih melekat hingga kini terutama pada bulan Juli, selain beliau luman menabur ilmu tentang tafsir Al-Qur’an sebagaimana kita terima setiap pengajian Padhangmbulan, Mbah Fuad tidak bisa dipisahkan dari ilmu “Serba Tujuh”.
Hari ini, Selasa, tanggal 7 bulan 7 pada 1947 (yang lalu), momentum yang bertepatan dengan “Ilmu Serba Tujuh” Mbah Fuad. Usia beliau kini 73 tahun. Terngiang dalam memori saya ungkapan Mbah Nun, “Bagi Cak Fuad mencapai tujuh itu sudah cukup.”
Bagi kita pencapaian “Tujuh” Mbah Fuad adalah keberkahan dan kemanfaatan yang tiada pernah habis kita petik. “Tujuh-nya” Mbah Fuad adalah limpahan cinta yang bersemi dan berbuah sepanjang masa, yang pasti juga dirasakan manfaatnya oleh jamaah Maiyah.
Kepada para Marja’ Maiyah: Mbah Fuad, Mbah Nun, dan Syaikh Nursamad Kamba kita perlu menggeser cara pandang dan sikap pandang yang awalnya berangkat dari kekaguman menjadi keteladanan.
Pertanyaannya, apa yang bisa diteladani dari “Tujuh-nya” Mbah Fuad? Keteladanan apa yang bisa kita petik lalu menjadi langkah internalisasi individual dan komunal dari tetes jiwa samudra Mbah Nun? Akar pemikiran apa yang dapat kita tanam untuk dijadikan bibit tanduran dari kejernihan Syekh Nursamad Kamba?
Terus terang saya harus menanggung malu saat menulis ini. Mbah Fuad yang muthmainnah di tujuh memberikan nilai manfaat yang tiada tara dan tiada pernah ada habisnya. Lha dapurane saya: jangankan tujuh, beranjak menuju satu apalagi dua rasanya masih tangeh lamun.
Mau ditaruh di mana muka ini setiap berhadapan dengan Mbah Fuad dan Marja’ Maiyah. Padahal setiap bulan saya mereguk hidangan ilmu di Padhangmbulan secara leluasa dan nikmat. Saya merasa belum melakukan internalisasi nilai-nilai Maiyah—apalagi menghasilkan sebiji karya yang bermanfaat untuk orang lain.
Tujuh saya adalah produktivitas yang menghasilkan mudlorot demi mudlorot. Dan itu berarti minus tujuh (-7), yang akan dan sedang bergerak menuju -8, -12, -102, -212 dan seterusnya. Bukan terutama apa jenis pekerjaan yang saya kerjakan, melainkan kandungan pekerjaan itu lebih berat timbangan khabats (buruk/-) daripada thayyib (baik/+).
Dua istilah itu, thayyib dan khabats, saya pinjam dari Mbah Fuad. “…yang menjadi perhatian dalam Islam ialah apakah pekerjaan itu baik (thayyib) atau buruk (khabâts), karena yang satu halal dan yang lain haram, yang satu amal shâlih dan yang lain amal ghairu shâlih. (Tetes, Kriteria Pekerjaan)
Saya jadi belajar bahwa kesalehan dan ketidaksalehan pekerjaan ditentukan oleh prinsip akhlak yang digariskan Allah dan Rasulullah. Minus yang saya maksud, dengan demikian, bukan sekadar bleger jenis pekerjaannya, bukan pula orientasi hasilnya, namun bagaimana pekerjaan diproses.
Pada wilayah akhlak dan etika tersebut banyak orang yang kedodoran. Cukup bermodal niat, tekad dan pengetahuan bahwa yang dikerjakannya baik (thayyib), lantas menjadikannya abai terhadap akhlak yang memandu bagaimana pekerjaan tersebut diproses. Bahasa gamblangnya, pekerjaan itu dilaksanakan secara tidak beradab.
Meneladani “Tujuh-nya” Mbah Fuad adalah kesungguhan mateg aji untuk menegakkan komitmen penuh saat mengerjakan aktivitas—sekecil apapun atau bahkan seremeh apapun aktivitas itu, baik di tengah keramaian maupun di lorong kesunyian, dipuji atau dicaci, dijunjung atau diinjak—tetap istiqomah di thariqah yang beradab.
Meneladani “Tujuh-nya” Panjenengan, Mbah Fuad, kami sungguh kuwalahan — apalagi harus becermin pada 8, 10, 99, 200 dan ketidakterhinggaan berkah dan manfaat yang Panjenengan berikan kepada kami. Yang pasti tampak adalah bopeng dan belepotan wajah kami sendiri yang memantul dari mata air kejernihan batin serba Tujuh.
Matur sembah nuwun, Mbah Fuad atas tetes demi tetes ilmu, kesabaran dan kelapangan, kelembutan demi kelembutan.
73 Tahun Panjenengan bagi kami adalah momentum 1, awal, start, nawaitu menata hati dan menjernihkan pikiran untuk kembali melangkah dan terus melangkah di atas tanah panas ini.
Jagalan, 7 Juli 2020