Zamzam di Tapak Kaki Ismail
“Zam…Zam…Zam…Zam…,” ujar lirih Siti Hajar ketika melihat sumber air terpancar di dekat tapak kaki putranya Ismail.
Dimulai dari cinta dan diakhiri dengan cinta, kisah ini adalah kisah romantis paling indah antara dua hamba yang saling mencintai dan dicintai Tuhannya (Nabi Ibrahim As dan Siti Hajar) bahkan pada ujian paling tidak masuk akal yang kemudian mendorong cinta dan keimanan mereka rekah. Hari itu di lembah pasir yang kering tanpa rerumput, tanpa pohonan, bahkan di beberapa literatur disebutkan tak ada satu ekor burung pun yang mampu melintas dan tinggal, di sana Siti Hajar dan bayinya (Ismail) ditinggalkan oleh Ibrahim As (Lihat Q.S Ibrahim: 37).
Ada banyak pelajaran dalam ‘kisah paling berlinang’ ini selain keimanan, cinta dan cikal bakal ibadah haji, namun mari kita melihat kisah ini dari sudut pandang Al-Qur`an surah Ath-Thalaq ayat 3. Bagaimana Allah mencukupkan mereka (Siti Hajar dan Ismail putranya) dalam upaya bertahan dengan penuh keyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan mereka. Perjuangan dimulai ketika Siti Hajar melihat putra tercintanya kehausan, ia berupaya mencari bantuan berupa apapun. Ia mendaki bukit terdekat yakni bukit Marwah kemudian ke bukit Shafa. Keduanya berjarak sekitar 450 meter dan jika Siti Hajar melakukan pendakian tujuh kali, maka ia menempuh perjalanan sekitar 3,15 kilometer. Apa Siti Hajar mengeluh? Apa kemudian Allah diam saja? Tidak!
Ketika pendakian ketujuh di bukit Marwah, Siti Hajar mendengar tangis putranya yang pecah. Ia kemudian berlari ke arah di mana putranya berada dan di sinilah cinta Allah. Dari hentakan kaki Ismail kecil memancar mata air “Zam…Zam…Zam…Zam…” (artinya kumpul jangan berhenti) ujar lirih Siti Hajar dan sampai hari ini air itu tidak pernah berhenti. Lalu pertanyaannya adalah Ketika Siti Hajar berusaha mencari pertolongan, mengapa Allah memilih menolong Siti Hajar dan putranya dari jalan yang tidak disangka-sangka? Mengapa bukan Siti Hajar yang menemukan air? Mengapa air justru muncul dari hentakan kaki Ismail yang masih balita?
Seperti yang ditulis di awal, kita berusaha melihat kisah ini dari sudut pandang Q.S Ath-Thalaq: 3, dan mungkin kita juga sering mengalami hal serupa meski dalam skala yang lebih kecil. Ketika kita berharap rezeki dari satu pintu (ikhtiar yang kita lakukan) tapi kemudian Allah memberi rezeki dari pintu-pintu yang tidak kita duga sebelumnya dan nilainya jauh lebih besar dari yang kita inginkan, maka lantas saya berpikir sangat tidak layak ketika kebesaran Allah kita perkecil dengan cara berpikir kita yang sempit. Kita sering mendengar perkataan semacam ini: “Kita mau makan apa kalau tidak kerja ini”, “Kalau usaha kita bangkrut kita bisa mati”, “kalau hari ini kita gagal maka habis kita”. Ungkapan semacam ini bukankah sama artinya kita menutup kemungkinan lain?
Dan lagi dengan alasan apa kita terkadang menyalahkan orang lain, diri sendiri bahkan Tuhan untuk keadaan tertentu yang kita anggap buruk? Adakah kita sudah berupaya segigih Siti Hajar? Adakah kita sesendiri Siti Hajar? Adakah kita sesepi Siti Hajar? Atas penderitaan seperti apa kita sampai menyalahkan keadaan? Paling tidak ini yang terjadi pada diri saya sendiri. Mari kita sama-sama memperbaiki cinta yang pernah kalah pada kebencian, memperbaiki keyakinan yang pernah kalah pada keragu-raguan, memperbaiki perjuangan yang pernah di kalahkan putus asa.[]