CakNun.com

Yang Tak Kunjung Haji Hingga Mati (2)

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit

Para haji, ketika melakukan ihram, berkesempatan untuk mengalami puncak “Idul Fitri”: menyadari universalitas dan universalisme. Ihram itu sendiri berstatus “wajib”: kewajiban itu suatu idiom hukum yang di dalam kasus ilmu bernama objektivitas, di dalam kasus filsafat namanya keniscayaan atau imanensi, di dalam kasus moral dan etika namanya kelayakan, sedangkan dalam kasus estetika namanya kewajaran. Artinya, manusia, demi kemanusiaannya, tidak punya kemungkinan lain, kecuali menguniversal: hanya itu yang merupakan jalan untuk menjadi objektif atas dirinya sendiri, untuk menjadi niscaya, layak, dan wajar—sebagaimana hakikat kemakhlukannya.

Manusia tidak bisa lari dari keniscayaan untuk melepaskan aksesori, rumbai-rumbai, kosmetika, dan perlambang-perlambang semu yang oleh masyarakat modern digali, dieksplor, dan dibiayai secara terlalu mahal dengan eksploitasi, pengisapan, dan perang dengan sesamanya. Manusia pada akhirnya harus “tua” dan bersiap “menjadi debu” atau “menjadi cahaya”. Memilih antara debu kerendahan dan kehinaan, atau cahaya kemuliaan dan uluhiyah atau keilahian.

Para pejalan haji dihadapkan pada penglihatan terhadap betapa dungu dan kurang ajarnya mereka dalam menjalankan sejarah, betapa banyak keliru pilihan-pilihannya dalam melaksanakan amanat kehidupan dari-Nya. Jika politik ber- henti pada kekuasaan, manusia gagal menjadi manusia. Jika ekonomi berhenti pada laba, manusia gagal menjadi manusia. Jika karier berhenti pada kebesaran, manusia gagal menjadi manusia (betapa sembrononya kita semua ini, yang sibuk menyelenggarakan sesuatu yang dengan pongah kita sebut “Rapat Akbar”, “Tabligh Akbar” dan seterusnya, padahal hanya Allah Yang Akbar, sedangkan kita hangus terbakar oleh gelar teramat agung itu).

Semestinya para hajilah yang paling memiliki ketajaman untuk menyaksikan betapa sejarah kita terlalu bergelimang primordialisme budaya, primordialisme negara dan ras, primordialisme yang menerjemahkan dirinya melalui formalitas kekelompokan, strata, kelas-kelas, kostum, dan simbol- simbol, yang setiap kali harus dipenuhi, dibayar, dan dilunasi melalui maniak persaingan, etos kalah-menang antar-manusia atau kelompok, kemudian akhirnya perebutan, perampokan, pengisapan, monopoli, dan perang terus-menerus.

Ibarat ihram dan keseluruhan haji mengajak manusia untuk kembali sungguh-sungguh menjadi manusia. Ihram menonjolkanmu untuk berpikir tentang kesadaran primer: tidaklah yang terpenting bahwa engkau seorang wakil presiden, seorang miliuner, seorang fakir, seorang direktur dan tukang sate, seorang seniman dan bintang. Pencapaian tertinggi adalah menjadi manusia: segala jabatan, kedudukan, fungsi, dan titik orbit sosial manusia dalam sejarahnya adalah kendaraan dan peralatan untuk memperjuangkan bagaimana agar pada akhirnya lulus menjadi manusia. Menjadi ilmuwan, seniman, pemborong, menteri, serta fungsi-fungsi sosial lainnya hanyalah kedudukan primordial, yang nilai akhirnya ditakar apakah ia “memproduksi manusia” atau justru mekanisme kebinatangan.

Seorang haji yang kebetulan seorang businessman, birokrat, atau apapun, selalu ditanyai oleh hakikat hajinya—apakah tatkala berlaku sebagai businessman ia serta-merta adalah juga seorang manusia. Businessman tidak usah peduli apakah seseorang bisa membeli sesuatu atau tidak, sebab ia businessman. Kalau suatu hari ia memperhatikan, yang memperhatikan adalah “manusia”-nya, bukan “businessman”-nya. Kalau sebagai businessman ia pusing oleh orang menderita, segera ia akan mengalami kebangkrutan. Permasalahannya, berapa jam dalam sehari seseorang dalam businessman dan berapa jam ia adalah manusia. Maka, haji tampaknya bertujuan untuk mempertinggi frekuensi seseorang untuk berlaku sebagai manusia.

Sebab, memang hanya manusia yang punya kondisi untuk concern terhadap manusia dan kemanusiaan. Businessman “dilarang” untuk pusing terhadap kemanusiaan karena tugasnya adalah pengeksplor cakrawala keuntungan, ekspansi pasar, dan pembengkakan omset—yang “manusia” tidak sanggup melakukannya karena dibatasi oleh kebersamaan dan cinta kasih sosial. Dunia bisnis itu berlaku universal, tapi substansi nilainya sangat primordial, bahkan super-egoistis. Maka, ibadah haji menawarkan kepada semua primordialitas itu untuk menumbuhkan peluang-peluangnya untuk lebih menjadi manusia ketimbang businessman, menteri, petani, atau kontraktor.

Jadi, alangkah indahnya ibadah haji! Meng-install para pelakunya untuk kembali menjadi sungguh-sungguh manusia. Sebab, hanya pada level be a human being seseorang punya kemungkinan untuk meningkatkan paham, sikap, dan realitas kepribadiannya ke tataran lebih tinggi. Abdullah (hamba Allah, di atas sekadar humanisme), kemudian Khalifatullah (wakil Allah untuk me-manage sejarah, yang melihat-Nya sebagai “rekanan kerja” dan pemilik saham utama): syukur kemudian Najibullah (“staf dekat-Nya” yang mewakili visi-visi-Nya) dan Waliyullah (mandataris utama-Nya yang diserahi sejumlah kecil rahasia-Nya).

Membengkaknya jumlah haji dan perubahan sosial

Pertanyaan kita sekarang: di dalam realitas kehidupan masyarakat kita, seberapa tak berjarak atau justru seberapa jauh jarak antara substansi teoretis ibadah haji dan kenyataan kaum haji? Betapa indah dan penuh kehangatan rasanya tatkala menguak wilayah esoteris yang dikandung oleh tawaran Allah dalam pola ibadah haji. Namun, kita harus kembali ke eksoterisme realitas sejarah kita.

Sebuah kampung yang tak ada hajinya mestinya berbeda dengan kampung yang ada hajinya. Sebab, seseorang yang pulang berhaji akan memperoleh visi yang berbeda terhadap segala sesuatu di lingkungannya. Seorang haji lebih memiliki empati terhadap kemungkinan di sekitarnya, lebih bergairah dan berani memperjuangkan kebenaran, lebih tidak tahan oleh ketidakadilan. Sebuah komunitas yang pada suatu hari memiliki seorang haji akan merasakan atmosfer kepemimpinan baru, di mana manusia bisa lebih tertata dan kreatif menangani permasalahan-permasalahannya.

Seorang haji akan cemas menyaksikan sesuatu yang tidak benar sehingga ia akan mempersembahkan kemampuan kepemimpinannya untuk memperbaikinya, sehingga dengan demikian ia tidak punya cukup waktu untuk—misalnya— menumpuk uang lagi untuk biaya berangkat haji pada tahun berikutnya. Seorang haji tidak punya ketahanan hati untuk membiarkan tetangga-tetangganya hidup susah, sehingga ia akan merasa pakewuh kepada mereka, kepada dirinya sendiri, dan kepada Tuhan, apabila yang ia lakukan adalah “memproduksi atau menginventasikan surga” untuk dirinya sendiri belaka—umpamanya dengan naik haji sesering-seringnya. Seorang haji akan merasa malu di hadapan Allah apabila ia tidak bersedia mengurusi ketidakberesan-ketidakberesan lingkungannya. Seorang haji tidak mampu berangkat ke surga sendirian sambil “tanpa hati” meninggalkan saudara-saudaranya dalam kesengsaraan.

Haji, karena tingkat kualitas kemanusiaannya, adalah the main agent of social change. Ia tergolong pelaku utama yang diandalkan untuk melakukan perubahan-perubahan sosial yang diperlukan. Haji adalah pelopor perombakan, penguak masa depan yang lebih baik bagi masyarakatnya, pioner dalam ishlah struktural dan kulutural. Organisasi kaum haji, misalnya “Persatuan Jamaah Haji Indonesia”, mestinya adalah sebuah institusi yang berfungsi—bisa dipilihnya—sebagaimana lembaga kepemimpinan agama yang concern terhadap kesejahteraan umatnya, sebagaimana lembaga swadaya masyarakat yang menyantuni orang-orang mustadl’afin (golongan yang dilemahkan, ditindas, dibohongi, dimelaratkan, disengsarakan), atau sebagaimana gerakan atau partai-partai politik yang memanggul amanat penderitaan rakyat di pundaknya. Sebab, tak kurang dari Allah sendiri telah mengeluarkan pernyataan eksplisit dalam sebuah Hadits Qudsy bahwa amanat penderitaan rakyat sesungguh-sungguhnya adalah amanat “penderitaan”-Nya sendiri. Allah sedemikian memberikan empati-Nya kepada kaum lemah, sehingga para haji akan merasa tak punya muka kalau tidak melakukan hal yang sama.

Jika titik orbit kesejarahan kaum haji tidak di situ, kita semua kehilangan konteks tentang haji, kehilangan logika dan rasionalitas haji, dan dengan demikian juga kehilangan hakikatnya. Jika menjadi haji berakhir pada kebanggaan primordial yang menyangkut status sosial barunya, betapa tidak modernnya kita. Jika menjadi haji berorientasi pada kapitalisasi karier atau apalagi political camu age, telah berdustalah kita semua tatkala berbincang tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, dan Tuhan. Ibadah haji adalah ufuk terluas dan puncak tertinggi dari “sembahyang kehidupan” manusia.

Menurut Allah, fa wailul lil mushallin, alladzinahum ‘an shalatihim sahun. Neraka Wail bagi para pesembahyang yang lalai terhadap sembahyangnya. Dan, kaum hajilah mestinya yang paling mengerti apa makna kelalaian terhadap sembah- yang, apalagi terhadap hakikat ibadah haji.

Ada orang yang tak pernah punya kesanggupan ekonomi untuk naik haji, tapi kualitas kepribadiannya mencapai tingkat haji. Bahkan, ada seseorang yang sudah bertahun-tahun menabung uang untuk naik haji, tapi menjelang berangkat, ia terpanggil untuk menolong keterdesakan darurat ekonomi tetangganya, sehingga ia batalkan naik haji dan memberikan uang keputusan dengan kualitas haji. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang rajin berkali-kali naik haji, tapi kualitas kepribadiannya, mentalitas pribadi, dan moralitas sosialnya tak kunjung haji, hingga mati. []

**Diambil dari buku “Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai” diterbitkan Bentang tahun 1994.

Lainnya

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Pencapaian diri-rakyatmu mungkin adalah ketangguhan untuk tidak terhina oleh pelecehan, tidak menderita oleh penindasan, tidak mati oleh pembunuhan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik