Wirid Cinta dan Rasa Rindu di Pathok Negara
Usai Sholat subuh berjamaah Mbah Nun memberikan beberapa hikmah, “Kalau Adam itu Khalifatullah, Anda ini apa?.” Maka pancingan pertama dari pertanyaan ini adalah agar kita mampu menemukan peran apa yang bisa kita optimalkan dalam kehidupan kita.
Menurut Mbah Nun, banyak sekali orang yang sangat pintar untuk melihat celah di mana dia bisa mengambil keuntungan dari berbagai kesempatan, tapi hanya sedikit yang mau, mampu, dan bersedia memperjuangkan keseimbangan dan kebersamaaan.
Salah satu hal yang masih sulit misalnya adalah seimbang dalam memutuskan untuk patuh dan merdeka. Ada wilayah di mana kita harus patuh dan ada wilayah di mana kita mestinya merdeka. “Anda harus mempelajari patuh pada bidang apa dan merdeka pada bidang apa,” ungkap Mbah Nun. Dialektika merdeka dan patuh ini rasanya sangat menarik untuk kita perdalam lebih lanjut.
Dari penggalan doa inlam takun ‘alayya ghodobun falaa ubaali, Mbah Nun memberikan bekal-bekal semangat dan optimisme, bahwa “rezeki terbesar adalah kalau Allah tidak marah kepada kita”. Maka bagaimana cara agar kita tahu Allah tidak marah kepada kita?
Tentu satu-satunya cara yaitu dengan selalu online, selalu tersambung dengan frekuensi gelombang kehendak-Nya. Menjalin hubungan mesra antar manusia juga adalah salah satu cara untuk selalu tersambung dengan kehendak Sang Maha Berkehendak.
Dan usaha untuk selalu berjamaah subuh di masjid ini juga adalah usaha mempertautkan sesrawungan antar manusia yang dengan sendirinya juga menyambung pada keridhoan Allah SWT.
“Senang sekali saya didoakan anak-anak dan cucu-cucuku,” ungkap Mbah Nun. Ini peristiwa spiritual dan juga peristiwa sosial dan memang keduanya tidak terpisah bukan? Tapi itu tidak berhenti hanya pada haru. Mbah Nun kembali menjadikan ini sebagai poin keilmuan sendiri mengenai betapa tidak tahunya kita sebagai manusia siapa yang sungguh-sungguh dikabulkan doanya oleh Allah.
“Yang dikabulkan doanya belum tentu kiainya,” kata Mbah Nun. “Kabulnya sesuatu itu kadang lucu. Terserah Allah. Allah ya gitu itu”. Dari sini kita bisa menangkap hikmah untuk tidak meremehkan siapa saja. Tidak memandang orang hanya dengan atributnya, tidak merendahkan dan menyepelekan karena sungguh-sungguh kita tidak benar-benar tahu. Dan juga tidak terlalu meninggi-ninggikan seseorang hanya karena pangkat, jabatan, kekiaian, kekayaan, dan berbagai topeng ilusi lainnya.
Subuh telah berganti pagi yang berawan. Mungkin hari memang menunda datangnya agar subuh berjamaah ini lebih panjang. Tidak terasa sampai jam 06.00 WIB. Tapi sesuatu yang nikmat memang harus disudahi sebelum kenyang penuh betul.
Dengan mesra Mbah Nun sampaikan bahwa Mbah Nun tidak pernah bisa tega untuk pergi dari anak-cucu beliau apalagi ketika sudah berkumpul dengan mesra seperti ini. Karena bukankah kebahagiaan terbesar orang tua manakala menyaksikan anak-cucunya berkumpul, bahagia, seimbang dan mesra satu sama lain dan juga mesra kepada segala yang lain dari mereka? Betapa bahagianya orang tua yang menyaksikan anaknya mampu bermanfaat pada orang lain. Mari kita membahagiakan orang tua kita dengan memperluas kemanfaatan dan meminimalisasi hal-hal yang un-faedah dalam hidup. Kita bisa mencoba memperbaiki dan mendewasakan diri terus-menerus.
Dan memang Jamaah ini dewasa, seperti juga anak-cucu Mbah Nun yang semakin mendewasakan cinta mereka belakangan ini. Acara disudahi dengan cinta yang dewasa, dengan doa yang kembali dipantulkan dengan doa oleh Mbah Nun agar semua doa dan harapan berbalas berkali-kali lipat juga pada para pendoanya.