Urun Kemesraan untuk Masa Depan Pascanegara
Kun Fayakun: Semua Individu Berhak Connect Langsung dengan Sang Maha Pengabul Permintaan
Poin “jer basuki mowo bea” juga sempat disampaikan oleh Mbah Nun dengan pengartian yang jauh lebih mencakrawala. Bahwa segala sesuatu butuh pengorbanan, butuh biaya oleh Mbah Nun. Ini bukan sekadar “biaya” fisik. Bukan hanya bayaran tunai. Tapi kita sebagai individu maupun masyarakat juga urun dalam melakukan apa kepada Gusti Allah.
Mungkin urun lagu “Keluarga Cemara” dengan sambungan Thola’al Badru, dari Bu Novia yang diiringi aransemen KiaiKanjeng juga adalah usaha kita menabung-tanam kemesraan yang kita harapkan di masa depan. Suara Bu Novia yang merdu, rupanya sangat dirindui oleh para Jamaah yang mengalami masa keemasan sinetron Keluarga Cemara di statsiun tivi swasta dulu, para ibu-ibu apalagi tampak bersemangat menyanyi mengikuti nada.
Dan selanjutnya adalah kita urun mental yang siap-siaga pada spontanitas, ledakan serta haru. Itulah kejadian-kejadian hadirnya Pak Nuriadi dan Pak Tanto Mendut malam itu menghiasi, ikut menjadi tambahan urunan kita untuk masa depan peradaban. Bahwa yang namanya nasionalisme jangan terlalu dihargamatikan, kondisi global sudah semakin rasional. Mitos negara mulai runtuh sehingga yang muncul belakangan ini adalah ide-ide substansial yang lepas dari sekat-sekat golongan, ormas maupun madzhab beku.
Generasi yang baru lahir dan tumbuh pun sangat terbuka pada ilmu-ilmu terbaru, walaupun tentu perlu ada pembimbingan mental dari kasepuhan namun juga bukan berarti terjebak mendikte dan mengarahkan hasil pencarian. Hampir tidak ada lagi ide kognitif yang betul-betul dianggap anti-mainstream oleh generasi sekarang ini. Bagi kaum muda semua sangat lumrah dibahas dan hampir semua sudah pernah mereka dengar. Tradisi lama bisa saja berlalu, bentuk bisa berganti, namun spiritnya bisa kita lanjutkan apakah dengan meng-uri-uri atau justru menciptakan kreasi tradisi baru.
Salah satu tradisi yang rasanya baru ada di majelis-majelis Maiyah adalah ketika pada akhir acara Mbah Nun menggelorakan “innama amruhu idzaa arooda syai’an an yaquula lahu...” dan para hadirin menjawab dengan seruan: “Kun fayakun!” Seorang mbah putri, sambil meneduh karena gerimis mulai hadir. Menatap panggung dari kejauhan, menangkupkan tangannya entah memendam doa apa. Karena ini tradisi di mana permintaan pada Sang Khaliq tidak diseragamkan oleh kelas agamawan, tapi semua individu berhak connect langsung dengan Sang Maha Pengabul Permintaan. Mbah Putri yang berkebaya biru itu tampak ingin sekali ikut bersorak namun tubuh yang ringkih tidak mengizinkan sehingga tampak tubuh mungil beliau saja yang bereaksi, “Kun fayakun.” Hanya lirih namun tangannya mengembang ke atas, seperti ingin menggapai ke langit. Ke masa depan?