CakNun.com

Urip Malaikatan, Belajar Setia pada Maqam yang Telah Ditentukan

Catatan Majelis Maiyah Bangbang Wetan, 19 Juli 2019
Hilwin Nisa
Waktu baca ± 4 menit

Setia Kepada Maqam

Dalam sesi workshop, jamaah diajak memaknai urip malaikatan versi mereka. Bagaimana urip malaikatan, apa tujuan urip malaikatan, apa sebab akibat dari urip malaikatan. Jamaah dibagi menjadi beberapa kelompok, dan semuanya dibebaskan untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan. Semua tampak menikmati proses pencarian yang dilakukan.

Apa beda malaikat dengan makhluk lain? Apa yang dicari malaikat? Kira-kira, yang membedakan pencarian setan dan malaikat itu apa? Monggo, kita juga masih dipersilakan untuk mencoba mencarinya. Sekali lagi, pencarian-pencarian ini tak lain adalah agar kita bisa lebih bijaksana. “Tujuan workshop, untuk lebih bijaksana lagi. Lebih mengenal diri kita sendiri.”

Tidak peduli akan dipertemukan dengan yang dicari ataukah tidak, yang penting terus berusaha mencari. “Ini bukan masalah bisa dan tidak bisa. Pokoknya Anda dilibatkan dalam dialektika ilmiah. Berpikir.” Mbah Nun kembali mengingatkan, yang penting bukanlah hasil pencarian kita, tetapi, bagaimana kita setia pada maqam kita sebagai manusia, mensyukuri pemberian akal pikiran dengan terus berusaha menggunakannya. “Afalaa ta’qilun?”

Kini saatnya kelompok-kelompok tadi dipersilakan membagikan hasil diskusinya kepada jamaah lain. Ada yang memaknai urip malaikatan sebagai suatu cara hidup malaikat. “Manut, menetapi perintah. Tujuannya, gondhelan Kanjeng Nabi.” Sebab kita merasa kotor, hingga akhirnya mencoba menebus dengan berusaha menjadi abdi.

Sebagai muhasabah, selama ini malaikat adalah makhluk Tuhan yang paling setia. Ia hanya melakukan apa yang telah diperintahkan. Yang ada dalam hidupnya hanyalah Tuhan. Semua dilakukan untuk Tuhan. Sementara kita, sudahkah belajar demikian? Apa yang menjadi muara dari pencarian-pencarian kita? Sudahkah Tuhan yang menjadi muara dari segala muara pencarian kita? “Hidupmu lapo? Nangdi mlakumu? Koen iku nggoleki Gusti Allah ta, gak?” Mbah Nun mencoba menyentil kesadaran jamaah kembali. Hidup kita ngapain saja? kita berjalan ke mana? Sudahkah Tuhan yang kita cari?

Sopo sing gelem nglakoni?” Siapa yang mau melakukan hidup seperti malaikat? Tak ada salahnya kita juga mengecek kembali, selama ini kita Maiyahan untuk apa? Mencari apa? Apakah popularitas, materi, atau apa? Semoga, Maiyahan ini memang menjadi bagian dari laku kita meneladani urip malaikatan. Menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan. Tidak mencari apa-apa, selain Tuhan dan ridla-Nya. Belajar berjalan tanpa pamrih pemberian dari sesama makhluk-Nya. Sudah, pokoknya belajar mencari dan menjalani, apa kiranya yang Tuhan kehendakkan kepada kita. “Gak golek popularitas, bandha. Wis pokok e ndherek karep e Gusti Allah adewe lapo.”

Meminjam bahasa Kyai Muzzammil, urip malaikatan adalah tentang setia pada maqam. “Kita harus setia pada maqam.” Kita belajar mengenali dan mempelajari kembali siapa diri kita. untuk apa kita dilahirkan ke dunia? Apa kiranya maksud Tuhan mengirimkan kita ke sini dan ke sana. Mencoba mencari tahu, dan kemudian kita belajar setia akannya.

Dan lagi, masih menurut Kyai Muzzammil, urip malaikatan berarti kita belajar meneladani keahlian malaikat dalam menahan. “Perlu kemampuan nge-rem. Kemampuan nge-rem yang paling bagus adalah malaikat.”

Termasuk dini hari itu, pukul 03.40 WIB di hari Sabtu, 20 Juli 2019, kita harus belajar nge-rem. Pagi itu, kita harus belajar menahan haus kita akan mencari ilmu. Kita harus kembali menabung rindu, untuk kemudian menantikan kesempatan Sinau Bareng lagi di lain waktu. Semoga Tuhan akan mempertemukan kembali yang memang seharusnya bertemu. Selamat berbahagia di ruang rindu.

Lainnya

Tidak

Tidak

Setiap malam Rebo legi, serambi Masjid An-Nur Politeknik Negeri Malang seolah tidak pernah sepi dari sekumpulan orang-orang yang merasa kesepian dan haus akan pencerahan.

Hilwin Nisa
Hilwin Nisa