CakNun.com
Tadabbur DAUR I-156

Trending… Ooh Trending….

Fahmi Agustian
Waktu baca ± 4 menit

“Manusia dibekali akal dan diperintah untuk mencerdasi dan mengijtihadi kehidupan, tetapi ada batas pengetahuan dan ilmu yang ia tak mungkin menguaknya.” – Mbah Nun, IT Jannati – DAUR-156

Sebuah pesan masuk melalui aplikasi WhatsApp, seorang teman menyapa; “Bro, sedang mantau trending topic di Twitter?”. Singkat saja saya menjawab; “Enggak”. Meskipun sebenarnya saya sendiri paham maksud si pengirim pesan itu.

Ya. Dua hari yang lalu, Minggu (6/10), sejak jam 6 pagi muncul tagar #RakyatMemanggilCakNun. Di grup WhatsApp Kenduri Cinta sendiri juga ada yang memposting tangkapan layar kolom tagar di Twitter pagi itu, dan memberi informasi bahwa Cak Nun menjadi trending topic di Twitter. Bahkan, sebelum jam 9 pagi, tagar itu sudah berada di posisi 1.

Apakah menjadi sesuatu yang mengagetkan? Bagi saya pribadi, ini sedikit aneh. Biasanya, tagar Maiyahan memang secara organik akan muncul pada saat Maiyahan berlangsung. Jamaah Maiyah secara mandiri menyemarakkan Maiyahan di sebuah kota dengan juga meramaikannya di jagat maya Twitter. Bukan hanya Maiyahan rutin seperti di Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, Kenduri Cinta atau simpul-simpul lainya, tetapi juga ketika Maiyahan dimana Cak Nun dan KiaiKanjeng dihadirkan di sebuah tempat. Dan jika memang pada saat Maiyahan berlangsung, maka tagar yang berkaitan dengan Cak Nun atau Maiyah muncul di Twitter, bukan hal yang aneh.

Menjadi aneh ketika tagar itu muncul tanpa ada yang men-trigger dari lingkaran inti Maiyah, apalagi tagar yang dirilis cenderung tidak biasanya seperti yang selalu dirilis secara official. Misalnya, ketika Cak Nun berulang tahun, tagar untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada Cak Nun disusun dengan kata-kata yang standar; #65TahunCakNun, misalnya.

Kenapa aneh? Jelas saja, #RakyatMemanggilCakNun adalah tagar yang nggak Maiyah banget. Tidak mungkin misalnya, Inti Kadipiro, Redaktur Maiyah atau Koordinator Simpul Maiyah memiliki rencana untuk menaikkan tagar dengan susunan kalimat seperti itu.

Bagi saya sendiri, tidak terlalu mengagetkan. Karena sekitar 2-3 bulan yang lalu juga muncul #IndonesiaMemanggilCakNun. Lho, ada apa dengan Indonesia? Kok memanggil-manggil Cak Nun?

Maka, iseng saja ketika tagar itu muncul, saya mencoba menelusuri, siapa yang mula-mula menaikkan tagar tersebut, kemudian mencoba memetakan circle akun-akun yang menaikkan tagar tersebut. Dan ternyata, mayoritas konten yang diunggah justru jauh dari konten-konten yang berhubungan dengan Cak Nun. Hanya beberapa postingan saja yang memang terkait dengan konten-konten Cak Nun atau Maiyah.

Menjadi sebuah pertanyaan ketika tagar yang hampir sama, dengan menyematkan Cak Nun dalam tagar tersebut, muncul untuk kedua kalinya dalam kurun waktu kurang dari 4 bulan, dan menjadi trending topic di Twitter. Ini bukan soal bagaimana menjadikan keyword “Cak Nun” bisa kita posisikan menjadi trending no 1 di Twitter. Itu sangat mudah kita lakukan, bahkan secara organik, tanpa buzzer dan influencer yang memiliki followers jutaan. Tagar-tagar Maiyahan sangat mudah dan cepat untuk kita naikkan menjadi trending topic di Twitter.

Ketika tagar yang hampir sama muncul untuk kedua kali, mencantumkan nama Cak Nun didalamnya, ini yang sebenarnya patut kita waspadai. Mungkin memang ada pihak-pihak tertentu yang sedang mencoba menarik Cak Nun ke gelanggang politik nasional. Kita sudah sama-sama mengetahui, bagaimana konstelasi politik di Indonesia hari ini. Dan mungkin masih ada beberapa pihak yang menganggap bahwa Cak Nun sudah saatnya kembali “turun gunung”. Tapi, sudahlah, lebih baik tidak perlu kita berdebat apakah Cak Nun benar-benar akan turun gunung atau tidak.

Yang harus menjadi pelajaran bagi kita semua, sebagai jamaah Maiyah adalah bagaimana Cak Nun menyikapi tagar-tagar itu. Bayangkan seandainya tagar itu ditujukan kepada tokoh nasional yang lain, tokoh yang skala nasional. Bisa saja tiba-tiba tokoh tersebut akan menggelar konferensi pers di rumahnya atau di sebuah hotel mewah, mengundang wartawan, kemudian ia akan diundang dalam sebuah program talk show yang tayang di prime time. Karena hari ini, trending topic adalah salah satu ukuran popularitas. Hari ini, orang tidak perlu tampil di media massa untuk menjadi orang terkenal. Melalui media sosial, orang bisa menjadi sosok yang terkenal, tanpa harus memasuki media massa terlebih dahulu. Sangat berkebalikan dengan 2-3 dekade lalu, ketika parameter orang terkenal adalah pada saat ia muncul di media massa; cetak maupun elektronik.

Cak Nun merespons kemunculan tagar itu dengan gayanya sendiri. Cak Nun bukan orang yang membutuhkan panggung, justru Cak Nun sudah berhasil membangun panggungnya sendiri. Pasca Reformasi, Cak Nun memutuskan untuk meninggalkan media massa yang sudah sejak tahun 70’an menjadi panggung popularitasnya. Dan yang kita alami sendiri hari ini, Cak Nun melalui Sinau Bareng justru telah mendorong banyak content creator untuk mempublikasikan sosok beliau tanpa settingan, sangat organik, alami, tanpa pencitraan apapun. Pada titik inilah kita seharusnya mampu belajar dari Cak Nun dalam merespons fenomena trending topic ini.

Dalam beberapa kesempatan, Cak Nun menyampaikan kepada kita untuk melatih diri kita agar mampu membaca ayat-ayat yang tidak difirmankan. Jika skalanya kita perkecil, maka dari setiap informasi yang terlihat, kita harus mampu membaca informasi yang tidak terlihat. Ketika pertama kali tagar itu muncul sekitar 3 bulan lalu, mungkin masih biasa saja. Ketika muncul kedua kalinya dua hari yang lalu, eskalasinya mungkin sedikit berbeda, meskipun di atas saya memberi catatan bahwa tagar tersebut dinaikkan dengan postingan yang jauh dari konten yang berhubungan dengan Cak Nun atau Maiyah. Tetapi, melihat bahwa jagat maya hari ini menjadi salah satu alat untuk menggiring opini publik, hal ini tidak bisa kita anggap biasa-biasa saja. Apalagi, tagar tersebut muncul dalam bualan-bulan yang mana suhu politik di Indonesia sedang panas-panasnya.

Setelah kita melihat bagaimana Cak Nun merespons fenomena ini, lantas, bagaimana kita harus merespons?

Saran saya, mari kita lakukan perilaku yang seperti biasanya kita lakukan ketika Maiyahan. Silakan lihat, kapan ada Maiyahan, saat itulah kita bersama-sama meramaikan jagat maya untuk membanjiri konten-konten Maiyahan berupa live tweet, semacam reportase langsung melalui cuitan di Twitter.

Ketika kita membicarakan internet hari ini, maka kita sedang membicarakan tentang big data. Ketika kita memasukkan data dengan keyword yang sama di internet, maka kata kunci tersebut akan tersimpan di jagat maya. Mungkin, banyak orang yang tidak tertarik dengan tagar yang muncul dua hari lalu, tetapi mungkin juga suatu hari, ada banyak orang yang akan mencari informasi tentang Cak Nun di internet. Dari kata kunci yang pernah kita posting di internet, bisa jadi itu akan mengantarkan seseorang untuk mengenal siapa sosok Cak Nun dan sangat besar kemungkinannya kemudian untuk mencari informasi tentang Maiyah.

Seperti yang saya nukil di paragraf awal, bahwa akan ada batas dimana ilmu dan akal kita tidak mampu menguak rahasia dibalik fenomena yang terjadi. Pada titik itulah kita menggunakan iman kita.

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil