The Sniping Football
Hal yang paling menyakitkan dari final sepakbola SEA Games 2019 adalah “air susu dibalas dengan air tuba.” Ketika berdoa menjelang pertandingan, Coach Indra Sjafri memimpin doa bersama dengan para patriot U-23, “Ya Tuhan, anugerahkanlah keselamatan bagi semua hamba-hamba-Mu yang bertanding. Nanti keluar lapangan dalam keadaan sehat wal afiat, termasuk anak-anak Kesebelasan Vietnam yang bertanding melawan anak-anak Nusantara Kami.”
Dan Evan Dimas dicederai pada menit ke 20, ditandu keluar lapangan dan hingga hari ini baru di Jakarta akan jelas apa yang anak Surabaya itu alami dengan bagian dalam kaki kirinya.
Prajurit Vietnam mengalahkan pasukan Amerika Serikat dengan perang gerilya. Dan Putra mereka sukses bergerilya: menembak dari arah tersembunyi. Don Van Hau mematuk kaki Evan dengan ujung sepatu bagian luar dalam posisi tanpa bola. Pemain Vietnam yang dipinjam atau disewa dari Belanda itu bagaikan seorang Sniper. Sembunyi di balik pohon atau tembok, mengincar sasaran untuk ditembak. Evan Dimas roboh, dan sesudah itu tak ada lagi inisiatif menembus celah-celah pertahanan lawan, kecuali tiktak tiktak ke kiri kanan depan belakang.
Tetapi memang Van Hau tidak mendengar doa Coach Indra Sjafri yang memohon keselamatannya.
Tetapi apakah hal itu penting?
Apa hubungan antara sepakbola dengan doa? Tidak tahu bagi Vietnam. Tapi Indonesia adalah Negara dengan Pilar utama Ketuhanan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia adalah Bangsa Pancasila. Kesebelasan Sepakbola Indonesia adalah Kesebelasan Pancasila.
Ini soal moral sepakbola dan olahraga. Budaya dan peradaban olahraga dalam kehidupan umat manusia, yang ideologinya adalah sportivitas. Mekanisme hukum di lapangan Sepakbola sudah melebar ke VAR, sudah merasa perlu peran di luar lapangan: video assistant referee. Apakah rekaman IG Asian Football tentang Evan Dimas “dipathil” bisa dianggap logis dan faktual-empiris untuk mungkin berlaku menawar (bahkan membatalkan) atau minimal membuat Keputusan pertandingan final itu dipertimbangkan kembali?
Kalau tidak, maka masuk akal untuk Sepakbola berikutnya dipertimbangkan kemungkinan Santet atau Tenung.
Masalahnya: apakah Van Hau mencederai Evan Dimas itu inisiatif pribadi secara spontan, atau mungkinkah itu bagian yang memang secara resmi dan sengaja dipersiapkan oleh “kurikulum pelatihan” Vietnam?
Kalau demikian, apakah semestinya Indra Sjafri juga menyiapkan hal yang sama? Atau sekurang-kurangnya menyiapkan benteng antisipasinya?
Malam sesudah pertandingan Evan Dimas bilang kepada saya, “Di AFF 2013 sebagai Kapten saya bilang kepada teman-teman bahwa kita harus siap bermain keras. Kita jangan sampai bisa digertak, didikte, atau ditekan oleh sikap keras lawan. Tadi kita bermain tanpa menunjukkan aura bahwa kita tidak mau kalah oleh tekanan.” Dan Coach Indra Sjafri adalah pribadi dan karakter yang sangat lembut: mustahil diharapkan darinya anjuran atau apalagi “kebijakan” untuk bersikap keras.
Kapal ekspor rempah-rempah Majapahit ke Asia Tenggara dan Tengah yang berbentuk hampir bulat diubah menjadi lonjong sesudah beberapa kali dihadang oleh kapal-kapal perompak Portugis yang menggunakan “senjata kepengecutan” yakni bedil dan meriam. Tradisi keksatriaan para prajurit Majapahit yang “duel adalah orang saling berhadapan (demikianlah sportivitas pencak silat)” tidak berkutik, karena musuh melempar batu dari kejauhan atau menembakkan peluru dari jarak jauh.
Peradaban Ksatria “adu arep” yang merupakan manifestasi kejantanan atau sportivitas — dikikis oleh peluru jarak jauh, meriam, dan sekarang rudal. Teknologi adalah penghancur mental dan kepribadian manusia. Peluru, rudal, dan bom adalah Peradaban Betina. Demikian jugalah medsos dan berbagai jenis senjata online sekarang ini. Bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa Timur lainnya harus memperjelas mereka benar-benar bisa menyantet atau tidak.
Sebenarnya kesebelasan U-23 asuhan Coach Indra Sjafri telah sukses meraih target PSSI dengan menjadi finalis Sepakbola SEA Games 2019.
Tetapi saya pribadi terpuruk dan menangis dengan tema ratapan saya sendiri yang mungkin subjektif tetapi sungguh-sungguh menekan hati saya.
Selesai kekalahan final 0-3 dari Vietnam saya merasa sangat malu kepada teman-teman pengurus PSSI yang sebelum pertandingan meminta saya untuk mendoakan agar kita menang di final. Kami berdiri melingkar, saya pimpin doa bersama. Dan kemudian jelas bagi mereka bahwa saya bukanlah orang yang pantas dihormati, karena terbukti Allah Swt tidak mengabulkan doa saya.
Saya bukan orang tua yang bertuah atau “mandi” (bahasa Jawa) doanya.
Dengan kekalahan 0-3 itu Allah menunjukkan bahwa saya bukan orang yang doanya didengarkan oleh-Nya. Bukan hamba yang oleh Allah dinilai perlu untuk dipenuhi permintaannya. Mungkin karena Ibadah saya kurang, akhlak saya tidak lulus, sedekah hidup saya tidak mencukupi.
Anak sulung dari cinta adalah empati. Cinta saya kepada Indonesia melalui kesebelasannya membuahkan empati. Kalau mereka kalah, saya merasa ikut bersalah. Saya mau kaki saya saja yang patah, asalkan anak-anak menang, sesudah sejak 1991 tak pernah juara Asean. Evan juga bilang sebelum pertandingan: “Nanti ndak apa-apa kita patah-patah kaki asalkan juara.”
Sebenarnya sebelum pertandingan itu ketika ketemu Evan saya melirik kaki kiri dalamnya dan saya hampir menampar atau menepuknya. Tapi terhalang oleh rasa takut nanti disangka saya ini dukun yang sok tahu. Sesudah Evan kena “pathil” saya jadi menyesal karena tidak tanggap terhadap “amtsal” tadi itu.
Saya keluar dari Rizal Park Stadion dengan hati yang sungguh-sungguh patah. Seorang wartawan senior nyeletuk, “Besok kita jadi komunis saja supaya menang Sepakbola.”
Tentu saja tidak selinier itu masalahnya. Tetapi kompleksitas masalah antara perjuangan dengan nasib ternyata adalah ilmu tingkat sangat tinggi yang terbukti saya masih sangat awam menghadapinya.