Teropong Sengkuni
Lakon teater “Sengkuni2019” baru akan digelar di Surabaya 7-8 Maret 2019, kota kedua sesudah Yogya. Tetapi akselerasi dinamis pengetahuan dan pemikiran Jamaah Maiyah sudah melewatinya dan melangkah di depannya. Sudah pasca Sengkuni2019. Padahal Sengkuni Teater Perdikan sudah berada pada sekian langkah di depan pemahaman mainstream tentang Sengkuni.
Pengetahuan tentang Sengkuni dalam kebudayaan masyarakat Jawa, termasuk khazanah di dunia Pewayangan dan Pedalangan, adalah satu hal. Sementara Sengkuni Perdikan adalah hal lain. Bahkan hal yang lain sama sekali. Dan itu sama sekali bukan bahan untuk dipertentangkan. Apakah merah bertentangan dengan hijau? Apakah putih bermusuhan dengan hitam? Tidak. Keduanya dan semuanya adalah bagian yang saling dukung-mendukung dalam membangun keindahan hidup.
Bahkan, di abad komputer ini, apakah merah sama dengan merah? Berapa jumlah warna merah? Tergantung gradasinya. Tingkat resolusinya. Jumlah pixelnya. Bisakah angka menampung jumlah variabel warna-warna merah sampai mikro dan nano? Bahkan tanpa angka pun warna merah tak ada batasnya. Merah muda, merah agak muda, merah agak sedikit muda, merah muda banget – dan di dalam merah muda banget terdapat tak terhingga lapisan perbedaannya.
***
Menurut Imam Syafii yang tafsir-tafsir keIslamannya dijadikan madzhab anutan, dalam salah satu bagian dari aturan berwudlu: cukup sehelai rambut diusap, sudah sah. Iman Hanafi dengan pertimbangan lain sebaiknya mengusap minimal seperempat dari seluruh rambut. Anda boleh bikin hujjah sendiri untuk menganjurkan mengusap 17 helai rambut, 45 helai rambut, atau seluruh rambut harus diusap.
Sengkuni 4 bersaudara atau 100 bersaudara. Dia sulung atau bungsu. Dia memutilasi dan memakan seluruh saudaranya beserta Bapak Ibunya. Atau bahan apapun, dari sumber informasi yang berbeda-beda. Tidak apa-apa. Itu bukan pertentangan. Itu bukan perbedaan. Itu bukan bahan untuk bermusuhan. Itu bukan arena untuk mempertandingkan kebenaran. Itu adalah keindahan “syu’uban wa qabail”, keberagaman karya Allah Swt dengan kemungkinan-kemungkinannya yang tak terhingga.
Itulah sebabnya Sabrang menguraikan wilayah antara “fakta” (meteriil, kasat mata) dengan “makna”. Yang nyata itu faktanya ataukah maknanya? Yang nyata itu Sengkuni menurut pakem (yang carangan Jawa juga dari pakem Mahabharata India) atau yang carangan Perdikan di Sengkuni2019? Ataukah kenyataan hidup terletak pada pemaknaan yang dihasilkan oleh kebijaksanaan manusia?
Itulah sebabnya Nabi Muhammad tidak menuntut Ummat Islam melakukan shalat sebagaimana beliau melakukan shalat. Bukan “sollu kama usholli” melainkan “shollu kama roaitumuni usholli”. Setahu kita saja, berdasarkan alur informasi yang sampai kepada kita. Kiper penjaga gawangnya adalah kejujuran ibadah kita serta keputusan akal sehat kita.
Itulah sebabnya di atas fiqih ada akhlaq, di atas akhlaq ada taqwa. Di atas hukum ada moral, di atas moral ada keadilan. Orang-orang bodoh memonopoli dan mengegosentrisi fiqih dan hukum untuk memperbandingkan dan mempertengkarkannya. Orang-orang bodoh tidak menikmati taqwa, tidak mensyukuri keluaran akhlaq. Fiqihnya dipakai untuk mengukur taqwa, hukumnya dipakai untuk menakar keadilan. Kita yang selalu bertengkar adalah manusia-manusia kerdil yang menuhankan diri kita sendiri.
Orang-orang Maiyah, mensyukuri dan menikmati perjuangan untuk memaknai selama dinamika hidup yang tak ada ujungnya.
***
Hampir semua orang, tatkala mendengar judul Sengkuni2019, langsung berasosiasi menunjuk salah seorang politisi senior elite Indonesia. Ekspertasi dan kompetensi utama manusia modern adalah melihat keluar dirinya dengan sangka buruk. Kebodohan utama jiwa dan mental mereka adalah selalu tidak ingat untuk menengok ke dalam dirinya.
Narator Sengkuni2019 mengemukakan:
“Semua kisah tentang perjuangan saya ini, akan saya catat dan tuliskan sebagai Pusaka. Kelak yang akan bisa menemukan dan membacanya adalah cucu saya yang akan lahir 3.000 tahun mendatang. Siapa saja yang ingin mengetahui persisnya apa yang saya lakukan, temuilah cucuku Jagi Basudewo, alias Begawan Sodoguru, yang hidup sebagai seorang Yogi, pada abad ke-21 menurut Tahun Matahari Tenggelam, ya sekarang ini...”.
Maka pergelaran Sengkuni2019 diawali dengan jingle musik:
SENGKUNI HARGA MATI
Mana yang Sengkuni
Yang paling kau benci
Berkacalah di cermin sunyi
Apa bukan wajahmu sendiri
Polah tingkah Sengkuni
Kutu loncat Sengkuni
Sana sini Sengkuni
Mana yang bukan Sengkuni
Iri dengki Sengkuni
Hati kita sehari-hari
Hasat hasut Sengkuni
Isi dada kita sendiri
Sengkuni berapa jumlahnya
Yang merusak Negeri ini
Susah membayangkannya
Bahwa ada yang bukan Sengkuni
Yang berujar kebencian
Pastilah Sengkuni
Yang melawan dan menghadang
Ternyata juga Sengkuni
Kalau bicara selalu dusta
Kalau berjanji mengingkari
Kalau dipercaya mengkhianati
Harus menjaga malah mencuri
Yang mana Sengkuni
Mana yang bukan Sengkuni
Di panggung Negeri ini
Sengkuni harga mati
Amat sangat sedikit orang-orang yang beragama Islam atau siapapun lainnya yang hidupnya terdapat tanda-tanda bahwa ia memaknai pernyataan Kanjeng Nabi sesudah kemenangan dalam Perang Badar. “Kita baru saja menyelesaikan tugas dalam perang kecil, dan sekarang kita mulai memasuki perang besar, Jihad Akbar”. Jihad akbar adalah jihad melawan diri sendiri. Pekerjaan utama hidup manusia adalah menata dirinya sendiri, mengelola potensi-potensi kejiwaannya, mengelola aset-aset kepribadiannya, menaklukkan nafsunya.
Jamaah Maiyah mungkin mempertimbangkan untuk meneropong Sengkuni 30% ke luar dirinya, 70% ke dalam dirinya sendiri. Sengkuni itu sendiri adalah sebuah teropong. Sebuah cara pandang. Pak Kandheg, Bu Kandheg, Punar, Bagus dan Timsuk dalam lakon Sengkuni2019 masih berada pada “semester” analisis yang menguraikan perbedaan antara Pemimpin, Penguasa dan Pemerintah. Sementara Sinau Bareng Maiyahan sudah memasuki semester berikutnya: prakteknya, di Negeri ini tidak ada Pemimpin dan kepemimpinan. Tidak ada Pemerintah dan Kepemerintahan. Tidak ada Negara dan kenegarawanan.
Yang ada di Negeri ini adalah Pejabat-pejabat. Individu-individu yang dikendalikan oleh nafsu dari dalam dirinya. Mereka bergabung menjadi kelompok-kelompok kepentingan: ulang-alik bermusuhan atau bekerjasama, tergantung kepentingannya. Negara adalah pijakan untuk merancang pemenuhan nafsu mereka. Kepemerintahan adalah alat atau perangkat untuk mengaplikasikan kepentingan-kepentingan materialisme kerdil itu. Kepemimpinan adalah narasi omong kosong yang digunakan untuk menipu publik.
***
Jamaah Maiyah, terutama kaum muda yang sudah menyaksikan seluruh jenis kehancuran manusia, masyarakat dan Negara, sehingga menyiapkan semua nilai-nilai baru secara total untuk membangun kembali peradaban dan Indonesia baru sesudah chaos demi chaos hingga hari ini – belajar kepada Sengkuni dan mempelajari Sengkuni. Tidak dengan prasangka egosentrisnya sendiri, tidak untuk kepuasan mental budayanya sendiri, tidak untuk melegitimasi dhonn intelektualnya sendiri.
Melainkan untuk master-plan zaman baru. Desain masa depan yang belajar dari kehancuran kemarin dan chaos hari ini. Jamaah Maiyah belajar kepada Sengkuni tentang martabat manusia dan keluarga. Tentang cecikal, bebakal, tetinggal. Tentang bibit, bebet, bobot. Tentang nasab, komposisi genetik dan ketepatan kesemestaan demi masa depan bersama. Kesetiaan yang diperjuangkan dengan darah, nyawa, kreativitas pikiran, strategi kehidupan, serta tanpa batas waktu. Belajar kepada Sengkuni tentang berpikir jangka sangat panjang dan berorientasi pemikiran “faltandzur ma qaddamat lighad” sejauh cakrawala.
Bahkan belajar dari Bapak dan Ibunya Sengkuni tentang “mowo beo, jer basuki”. Kepada 98 saudara-saudaranya tentang keikhlasan meng-Ismail-kan diri demi tekad perjuangan yang sangat panjang. Belajar kepada Kakang Mbok-nya tentang membalut kepala menutupi matanya sepanjang hidup.
Jamaah Maiyah bukan kumpulan manusia pemakan bangkai yang menikmati pesta pora mengunyah-ngunyah keburukan orang lain. Dengan kejernihan pandang, kelengkapan ilmu, keseimbangan berpikir serta kebijaksanaan dalam bertindak, Jamaah Maiyah mengintensifkan Sinau Bareng di antara mereka di penghujung Gerbang Zaman. Mereka menyelami firman Allah: “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.
Yogya, 5 Maret 2019
Emha Ainun Nadjib