CakNun.com

Tenteramnya Nalar Kepanditaan Rasional

Tasyakuran di Ndalem Yudaningratan, 17 Januari 2019
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 9 menit

Dan menurut Mbah Nun pilpres maupun pilu pemilu tidak ada masalah. Semua orang sudah punya ilmu dan pilihan, tinggal masuk ke bilik suara “toh memilih opo ora yo ora ono sing ngerti” sumber pertengkaran salah satunya ketika beberap dari kita mulai memamerkan pilihannya kemana-mana. Sebenarnya, mungkin termasuk pilihan untuk tidak memilih belakangan ini juga perlu kita waspadai untuk tidak dipamerkan karena sekarang hal ini juga sudah bisa jadi bahan pertengakaran baru.

Hampir satu jam tidak terasa, walau Mbah Nun beberapa kali sempat meminta diingatkan kalau ‘tausyiah’ ini berkepanjangan ternyata tidak ada yang tersadar. Bahkan para ponokawan di sebelah Mbah Nun nyeletuk kalau Mbah Nun masih mau waktu beberapa jam lagi semua orang malah senang. Tapi Mbah Nun membatasi diri, Mas Kimpling sebagai MC kembali menempati posisi “Saya menganggap Cak Nun adalah maha guru kewarasan Indonesia terbaik saat ini” Mas Kimpling ternyata sering menyaksikan majelis Maiyahan via youtube, dua hal yang mengena baginya adalah soal logika “Babi tidak haram kecuali kalau dimakan” dan kedua pilihan Mbah Nun untuk tidak mau disebut kiai, ustadz atau ulama. Inilah kemudian terjadi tanya jawab singkat. Mbah Nun sampaikan bahwa Mbah Nun bukan tidak mau disebut kiai, ustadz atau ulama atau apapun itu. Pilihan untuk menyebut dengan gelar-gelar tersebut monggo saja “Ning aku dudu kuwi. Aku dudu soale opo? Soale semua idiom, semua patrap. Semua terminologi hukum, terminologi agama, terminologi sosial, terminologi politik kan terbukti membikin kita pecah-pecah. Terbukti kemaslahatannya semakin turun, kemudharatannya semakin tinggi”

Kita sedang sangat tidak serius dengan kata-kata sehingga membedakan ulama dengan kiai saja kita tidak bisa, belum lagi dengan ustadz, habaib dan sebagainya dan sebagainya. Kiai tidak perlu ada hubungannya dengan agama, bahkan bukan manusia juga bisa kiai sedangkan ulama bukan status beku yang statis. Kita kemudian menambahi lagi ada gelar ustadz, gelar Gus dan sebagainya yang makin tidak jelas pengartiannya dan semakin polusi pada makna, sejarah penyebutan pun makin buram saja. Namun Mbah Nun menolak menjelaskan satu-dua hal karena akan menyakitkan, terlanjur sudah begitu keadaan kita.

Kalau ada yang sedikit perlu kita benahi mungkin adalah idiom yang berasal dari kitab suci kita sendiri yakni kata ulama dari ayat“ Innama yahysyallaha min ibaadihil ‘ulama” Mbah Nun sedikit jelaskan bahwa kan artinya barangsia di antara hambaku yang takut kepada-Ku adalah ulama” tapi yang terjadi kemudian “Cara mikir sekarang seolah-olah ada presiden, ada CEO, ada pengusaha, sultan dan ada ulama terus yang takut sama Allah hanya ulama. Lho waktu ayat itu turun belum ada (status) ulama dan tidak ada lembaga orang-orang yang disebut ulama. Ndak ada. Jadi maknanya menurut saya ndak rasional” maka pemaknaan yang coba diajukan mungkin adalah siapapun anda, apapun status anda, mau pengusaha, CEO, dosen, cleaning service atau apapun kalau terus belajar hingga “punya rasa takut pada Allah” itulah ulama. Jadi, sangat terbuka kemungkinan bahkan kiai juga bisa saja ulama, tidak seperti mainstreamnya yang terjadi sekarang.

Mas Kimpling masih seperti tergelitik rasa ingin tahunya, pertanyaan-pertanyaan juga beliau ajukan dan Mbah Nun sigap menjawab dengan tandas. Misal mengenai nalar, rasio dan akal. Itu kalimat yang dikutip di awal tulisan, adalah dari hasil tanya jawab ini.

“Namanya meng-akal-i, artinya mentransformasi dari bikinan Allah jadi bikinan kita. Telo bikinan Allah getuk bikinan kita. Islam bikinan Allah tapi NU, Muhammadiyah dll bikinan manusia. Saiki podo kerengan antarane getuk karo gripik sakpiturute.”

Mas Kimpling menyebut ini sebagai Meguru Nalar Rasional, dari pertanyaan itu Mas Kimpling memaknai bahwa nalar itu adalah sesuatu yang pas pada tempatnya sehingga justru bukan butuh orang yang pintar secara keilmuan tapi orang yang peka pada syariat sesuai dengan pengamatannya. Dan bertanya lagi, kenapa ditengah tivi nasional sedang menayangkan debat capres justru orang memilih hadir di ndalen Yudaningratan ini saat ini?

Mbah Nun tampak paham bisa saja penanya tidak sadar akan membawa masuk pada bahasan politik yang bila dibahas mungkin akan menuju pada panas kuping pendukung ini maupun pendukung itu. Mungkin itu kenapa Mbah Nun menjawab dan mengakhiri acara “saya kira kita jangan ikut nakal memperbanding-bandingkan. Yo ora popo ono sing rono, ono sing rene.”

Kemudian doa terbaik dilantunkan, suasana khidmat dan khusyuk. Sangat akhir sekali Mbah Nun ujarkan, “Sekarang baru, saya ucapkan assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh” salam dijawab dengan jawaban yang penuh senyuman dan tawa. Ini seperti tausyiah tapi bukan, tapi mirip. Namun bobotnya lebih mesra, lebih dalam perenungannya dan lebih mencakrawala secara keilmuan.

Lainnya

Exit mobile version