Tenteramnya Nalar Kepanditaan Rasional
Begitu pun tafakkur bukan sekadar berpikir dan tadzakkur bukan sekadar berdzikir, tapi semua sudah proses ke dalam, proses mandito itu sendiri. Dengan kematangan mandito yang berperjalanan ke dalam itulah akan ketemu ketenteraman dan tenteram itu adalah yang compatible dengan sistem penerimaan Allah Swt. Ini diambil oleh Mbah Nun dengan ayat “yaa ayyatuhannafsul muthma’innah irji’i ilaa robbiki rodhiyatan mardiyyah fadkhuli fii ibadiy wadkhuli jannatiy.” wahai jiwa-jiwa yang tenteram, maka bila tidak tenteram akan susah compatible.
Gusti Yuda memang seorang priyayi yang menyembunyikan kepriyayiannya dengan cara bicara yang tidak mbagusi dan pencitraan unggah-ungguh dan justru itu adalah poin untuk Mbah Nun masuk ke satu gerbang keilmuan tersendiri. Mbah Nun ingatkan pada kita bahwa dalam kisah para sufi banyak para alim yang berusaha berperilaku aneh agar orang tidak menabi-nabikan dirinya. Sampai ada sufi yang begitu tidak inginnya orang-orang musyrik lantas menunjukkan pada orang-orang bahwa dia makan di siang bolong pada bulan Ramadlan. Tapi orang kemudian tetap saja menemukan alasan untuk memulia-muliakan berlebihan dengan alasan karena wali, atau karena majdzub dan lain sebagainya. Intinya, menolak keramatisme dan pemitosan itu memang tantangan yang harus dilakukan terus. Kita diajak oleh Mbah Nun untuk melihat sosok Gusti Yuda mungkin juga seperti para sufi-sufi itu dan ternyata itu malah meledakkan tawa para hadirin di kediaman beliau sendiri. Rasanya kayak tausyiah, rasanya kita berada di ndalem seorang pangeran keraton, tapi ternyata itu tidak menghalangi kemesraan yang menyenangkan.
Potongan ayat yang berbunyi “alaa bidzikrillahi tathmainnul quluub...” Mbah Nun sampaikan kemudian untuk membuka lagi selaput ma’rifat pengetahuan dan kebijaksanaan bahwa Allah sendiri berkata bila manusia ingin tenteram maka berdzikirlah. Berdzikir, ingat, eling, bahasan kemudian melanjut alirnya pada soalan eling lan waspodo” dengan juga ada varian kemungkinannya bisa “eling tur waspodo” bisa juga “eling ben waspodo” ketiganya mempunyai dimensi fungsionalitas keilmuan yang berbeda dan semuanya sama-sama bisa diaplikasikan oleh masing-masing kita.
Mbah Nun mensimulasikan, bahwa kalau kita lapar maka kita kelingan sego atau makanan. Tapi kelingan tidak hanya berhenti di situ, kita akan berdaya upaya agar mendekat ke arah tercapainya makanan itu “Itu namanya eling BEN waspodo. Waspodo adalah tidak pernah menemukan apapun tanpa Allah ada di dalamnya. Tidak pernah melihat apapun tanpa Allah ada dalam pandangannya. Tidak pernah mendengar apapun, mengalami apapun, menempuh apapun tanpa Allah menjadi faktor primer. Allah primer kita sekunder” tegas tandas dan ini kalimat yang sangat quotable karena selain cukup singkat namun sangat presisi pilihan diksinya.
Ternyata takwa yang bemakna waspodo itu juga perlu berkoordinasi dengan akal, nalar dan rasio. Bila kita sudah ingin mendekat kepada apa yang kita selalu kelingan kita perlu mengaktifkan akal, kalau tadi contohnya adalah lapar kelingan sego maka akal berupaya mentransformasi bahan mentah yang diciptakan Allah menjadi olahan produk kita yang sesuai fungsi syariatnya. Lapar, kelingan sego, adanya padi karena punya akal bukan padinya dkremus tapi dibid’ahkan, dikreatifkan caranya agar jadi makanan. Padi yang ciptaan Allah kita akali prosesnya agar menjadi nasi yang bikinan kita” perihal di tengah jalan ada hal-hal yang di luar kendali kita, misal gagal panen atau kalau sudah jadi nasi di warung, nasinya laris atau tidak. Maka pada wilayah itulah tawakkal punya wilayah permainan “tawakkal dari kata wakil, kita wakilkan urusan kita pada Allah” karena tidak semua hal berada dalam kendali kita bahkan lebih banyak hal.
Pada malam ini juga misalnya, di Batavia sedang digelar acara debat antar capres negara bungsu NKRI itu. Rasional orang dewasa tentu tidak bisa menerima, bagaimana orang baru setelah jadi calon baru bicara dan bertanding konsep ini diakali canda oleh Mbah Nun bahwa itu seperti orang mau menikah tapi baru ketemu dan berkenalannya di KUA (di KUA juga malah debat itu juga) istilah Mbah Nun calon “kudune sakduruge dadi bojo omoong-omongan sek lagi dibojo. Lha iki wes neng KUA malah debat” dan meledaklah tawa kembali dan sedikit miris adinda Indonesia masih pada taraf begitu nalarnya. Sayangnya, nirlogika dan irrasional inilah yang berlaku dan untuk itu kita tidak perlu cemas-cemas amat juga. Tetap tenang, tentrem
“Dunia ini tidak berlangsung sebagaimana kehendak kita dan tidak berada di dalam kendali kita. Dunia ini apakah globalisasi apakah republik indonesia apakah kraton atau DIY atau apapun itu tidak berada di genggaman kita. Dia berada di genggaman orang-orang yang biasanya memang bernafsu kekuasaan dan harta. Yang kita cari kan bukan…” ini nasihat yang sangat berharga dari Mbah Nun. Bagi kita mungkin tidak begitu terasa karena konstelasi politik tidak begitu bepengaruh pada hidup pribadi kita namun bagi para pangeran dan sejawat yang berada di ndalem Yudaningratan malam itu, kalimat ini tampaknya sangat menenangkan dan apakah berlebihan bila dikatakan, terasa sangat meresap.
Dan bukan tentram sekedar disuruh tentram. Mbah Nun membangun optimisme bahwa masih ada orang-orang yang berkumpul dengan al-mutahabbina fillah atas dasar cinta pada Allah SWT, diluar persaudaraan darah-daging dan diluar segala dangkalnya kepentingan materi duniawi. Orang-orang seperti itu ada dan kita bisa menjadi seperti itu dengan selalu membangun tepo sliro serta silaturrahmi yang tulus di antara kita masing-masing.
Dan agar silaturrahmi terjaga dengan mesra, bekal jarak benar, apik dan wicaksono juga disematkan oleh Mbah Nun “Makanya kebenaran itu jangan dijadikan andalan. Kebenaran itu hanya berlaku kalau kita sudah bercinta satu sama lain, kalau anda tidak cinta, kebenaran itu akan menyiksa dan kebenaran itu akan melukai satu sama lain dan itulah yang terjadi di indonesia. Sopo sing salah? Opo Jokowi salah opo Prabowo salah? Opo cebong salah opo kamret salah? Kabeh ono benere tapi dia selalu salah karena berbenturan dengan kepentingan yang berbeda” dengan kalimat ini kita diajak mengaplikasikan secara rasional bagaimana orang Jawa serig mendorong agar para ksatrianya “pensiun dini” mandito walau juga tetap dengan perhitungan yang pas. Mbah Nun contohkan Patih Gajah Mada yang mandito dan mendidik salah satu putra prabu Brawijaya.
Sementara di republik bungsu Indonesia, perhitungannya sering meleset. Sudah kadung terlalu tua harusnya mandito sedang satunya masih bocah banget, sama-sama nyawapres. Entah kenapa pada bagian ini tawa yang terdengar lebih lepas padahal tentu tidak hanya satu pihak yang merasa, tapi semuanya memang kena. Ini juga bukan karena mau ngurusin Indonesia atau benci pada siapapun di sana, ya memang sewajarnya kalau orang masuk ke arena politik dia mesti siap jadi bahan lelucon para jelata. Kalau tidak, lantas apalagi gunanya politik di indonesia? Bisa menghibur kan lumayan.