Tekanlah Ananiyah dan Perbesarlah Itsar
Pada Majelis Ilmu Padhangmbulan di penghujung 2019 yang berlangsung tadi malam (11/12/2019), Cak Fuad sedikit menyinggung perihal penafsiran kata khilafah berdasarkan Al-Qur’an. Cak Fuad mengajak jika selama ini kita termasuk orang yang memandang khilafah adalah hak mutlak kita sebagai manusia dengan didasarkan pada firman-Nya, bahwa Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, ada baiknya kita berhenti sejenak. Kita periksa kembali pandangan kita akan penafsiran kalam Tuhan yang satu ini.
Menurut Cak Fuad, memang Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah, tetapi bukan berarti kita bisa serta merta mengatur dan mengelola bumi sesuka hati. Kita harus ingat, bahwa tugas khilafah ini hanyalah titipan, bukan suatu hak yang mutlak. Sebagai seseorang yang diberi titipan, kita pun perlu dan sudah seyogyanya belajar menjaga titipan ini sesuai dengan kehendak Tuhan yang telah menitipkan. “Khilafah adalah desain Allah tentang peran manusia di atas muka bumi untuk menjaga dan memakmurkan bumi sesuai aturan-Nya,” tegas Cak Fuad.
Dalam QS. Shad ayat 26, Tuhan mengingatkan agar kita sebagai manusia yang telah dipilih sebagai khalifah di muka bumi dapat memberikan keputusan secara adil dan tidak mengikuti hawa nafsu. Dalam Islam, kita mengenal istilah ananiyah. Sebagai seorang pemimpin, kita tidak dianjurkan untuk merawat dan mengedepankan sifat ananiyah yaitu, “Motivasi seseorang yang hanya mempertahankan pandangan yang hanya menguntungkan dirinya sendiri.” Kita harus belajar untuk menekan nafsu ego kita sendiri.
Bersikap Mementingkan Orang Lain
Sebaliknya, kita diperkenalkan dan dianjurkan untuk bersikap itsar, mementingkan orang lain di atas diri sendiri. Meskipun kita sendiri sebenarnya juga butuh. Kemudian, Cak Fuad mewedarkan beberapa kisah yang dapat dijadikan teladan untuk lebih melatih itsar pada diri kita. Ada kisah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah yang hanya mempunyai tiga butir kurma untuk berbuka puasa, satu untuk Ali, satu untuk Fatimah, dan satu untuk pembantunya. Kemudian datanglah peminta-minta ke rumah mereka, Fatimah pun mohon izin kepada Ali untuk memberikan sebutir kurma itu untuk orang yang meminta-minta. Setelah itu datang lagi peminta lainnya, dan diberikan lagi satu kurma untuknya, hingga tersisa hanya sebutir kurma. “Kira-kira diberikan kepada siapa sebutir kurma itu? Untuk pembantunya.”
Ada juga kisah bagaimana para Sahabat saling mendahulukan minuman saat terluka dalam peperangan, bagaimana para kaum Anshar menolong kaum Muhajirin, sampai kisah Kanjeng Nabi Muhammad yang ingat para Sahabat saat ditawari makanan dan mengajak mereka untuk bergabung. Padahal sang tuan rumah hanya mempunyai satu porsi persediaan makanan, dan ternyata pertolongan Tuhan datang, makanan tadi senantiasa bertambah, tak habis-habis untuk dimakan para Sahabat dan Kanjeng Nabi Muhammad.
Agama Islam tak kurang-kurang mengajarkan kita untuk senang berbagi. “Sederhananya, doa-doa yang diajarkan Rasulullah.” Cak Fuad mengambil contoh doa saat tahiyyat awal. Dalam doa tersebut ada ‘Assalamu’alaika’ dan ‘Assalamu’alainaa’. Semenjak dalam berdoa pun kita sudah diajarkan untuk mengingat orang lain, menyertakan orang lain dalam doa kita. “Ada yang bilang, doa ini adalah pengulangan permohonan Rasulullah kepada Tuhan saat Isra’ Mi’raj, meskipun ini juga masih diperdebatkan (kebenarannya).”
Saking pentingnya ajaran berbagi ini, Islam pun mengaturnya melalui syariat. “Di dalam Islam itu ada soal tidak mementingkan diri sendiri tapi lebih mementingkan orang lain ini juga diatur melalui syariat.” Dalam Isam, kita dianjurkan untuk mengeluarkan infaq. Ada infaq wajib yang kemudian disebut dengan zakat, dan ada infaq sunnah yang kemudian disebut dengan sedekah.
Cak Fuad juga mengajak jamaah untuk mencoba membaca sosiologi orang Timur dan Barat dalam perihal berbagi. “Kira-kira lebih senang mana untuk berbagi?” Orang Barat cenderung lebih senang menikmati hartanya. Mereka banyak menggunakan harta untuk jalan-jalan mengunjungi suatu tempat. Mereka tidak memikirkan warisan untuk anaknya. Karena anaknya sudah dibebaskan semenjak remaja dan dilatih mandiri untuk mencari ‘penghidupan’ sendiri. Karena lebih cenderung menggunakan harta untuk dinikmati, orang Barat juga tidak segan untuk mendonasikan harta kekayaannya. Sementara itu, orang Timur lebih cenderung memikirkan harta warisan untuk anak turunnya. “Bahkan orang Cina itu tidak hanya mewariskan harta untuk anaknya, tapi sampai tujuh turunan.” Akibatnya, orang Timur cenderung ngeman-ngeman ke harta bendanya, termasuk untuk didermakan ke orang lain. “Nah, Islam itu tengah-tengahnya. Islam mengajarkan berbagi, tapi juga tidak melupakan anak-cucu.” Kata kuncinya, menurut Cak Fuad, jangan melupakan dunia tapi perbanyak untuk urusan akhirat.
Mas Helmi juga mencoba mengulik itsar berdasarkan piramida kubutuhan manusia yang telah diperkenalkan oleh Abraham Maslow. Bahwa kebutuhan manusia yang paling dasar adalah menyoal kebutuhan fisiologis, kebutuhan-kebutuhan untuk mempertahankan fisiknya, sampai yang tertinggi adalah kebutuhan aktualisasi, kebutuhan untuk berbagi. Kemudian yang tidak banyak diketahui orang adalah, di akhir hidupnya, Maslow menyesal karena Piramidanya sebenarnya terbalik. Di akhir hidupnya Maslow menyadari dan merevisi bahwa kebutuhan yang paling dasar bukanlah kebutuhan fisiologis, melainkan kebutuhan aktualisasi, kebutuhan untuk berbagi.
“Semakin memikirkan kepentingan orang lain, semakin kita mendekati Nabi Muhammad,” Kyai Muzammil juga menambahkan. Lantas, bagaimana kita bisa terus belajar mendahulukan kepentingan orang lain, sementara sudah lumrah manusia mempunyai rasa ego untuk lebih mengedepankan kepentingannya dulu dibandingkan orang lain? Menilik apa yang telah disampaikan Cak Fuad di awal, itsar tidak akan ada pada diri kita selama kita masih mempunyai sifat kikir. “Orang itu bisa itsar kalau tidak punya sifat kikir, bakhil. Di sini, kata bakhil menggunakan kata syukhkhun.”
Jika Dua Orang Syukhkhun Makan Bareng Di Warung
Cak Fuad mencoba menyederhanakan perbedaan bakhil dan syukhkhun. “Bakhil tidak mau mengeluarkan sesuatu dari dirinya untuk orang lain. Syukhkhun tidak mau mengeluarkan sesuatu untuk orang lain, tapi berharap orang lain mengeluarkan sesuatu untuk dirinya.”
Membayangkan jadi lucu sendiri, saat Cak Fuad mengilustrasikan dua orang yang sama-sama mempunyai sifat syukhkhun keluar makan bareng. Keduanya akan sama-sama saling menunggu dibayari. Sedangkan itu tidak mungkin terjadi, karena keduanya sama-sama berharap dibayari, alih-alih mau mengeluarkan hartanya untuk orang lain. Walhasil, menthok-nya, mereka akan naik satu level, dari syukhkhun menjadi bakhil, mereka membayar makanannya sendiri-sendiri.
Demikianlah, Majelis Ilmu Padhangmbulan tadi malam meneruskan mendalami dikotomi sikap altruis vs selfish yang merupakan perspektif yang dalam Sinau Bareng belakangan diperkenalkan oleh Mas Sabrang dan Mbah Nun dan para Jamaah dianjurkan untuk menyelaminya dengan mengaitkannya ke berbagai konteks dan acuan.