Tasyahud Nasab Sanad Cinta
Sudah pernah sebelumnya saya mendengar cerita orang yang minta ditampar oleh Mbah Nun. Kali ini saya berkesempatan memasukkannya dalam catatan ini. Peristiwanya sangat singkat. Dalam Sinau Bareng di Pondok Pesantren Al-Hidayat, pada tanggal 26 Maret 2019 Masehi. Itu pada sesi workshop, kelompok ketiga dari keseluruhan tiga kelompok (jadi ya kelompok terakhir). Seorang yang tadinya dikira jamaah akan menjawab pertanyaan yang diberikan pada kelompoknya tiba-tiba mengungkapkan rasa rindu dan harunya bisa bertemu langsung dengan Mbah Nun dan sekaligus minta untuk ditempeleng, dan… Plak!
Saya mesti menggaris bawahi ini, jangan sampai peristiwa seperti ini kita hiperbolik-hiperbolikkan dan lama-lama jadi terlalu banyak followers yang mengikutinya. Salah-salah jadi tradisi nanti. Tradisi bersalaman yang menyemut saja sudah benar-benar menguras waktu dan energi, jangan sampai nanti ada antrian minta tampar.
Bagi saya, yang berharga dalam peristiwa tersebut adalah pada kesigapan Mbah Nun untuk memberikan apa yang orang di depannya pinta. Seolah bersedekah, adalah naluriah instingtif pada diri Mbah Nun. Ini bisa kita pelajari menjadi ilmu. Menampar orang bukan urusan kuat-kuatan. Tapi mengalahkan rasa bersalah sendiri, rasa tidak enak, rasa malu untuk dianggap orang jahat, image sebagai si kejam. Tapi dunia butuh cinta. Dan cinta tidak hanya dalam bentuk belaian. Kadang memang menampar dan kemudian, “Nama saya Ahid, kepanjangannya Aku Hanya Ingin Dipeluk,” kata Mas yang baru saja mendapat tamparan cinta tadi. Dan kemudian cinta berganti wajah menjadi pelukan yang hangat.
Poin cinta bisa dalam bentuk menampar ini sama sekali tidak untuk membenarkan perilaku kejam dalam rumah tangga, kita perlu presisi pada nuansa. Dan terbitlah satu kandungan ilmu penuh cinta dari Mbah Nun, “Bila engkau mencintaiku jangan berhenti padaku. Tapi cintamu padaku adalah untuk mencintai Muhammad Saw dan kemudian untuk mencintai Allah Swt”.
Malam itu nuansanya memang penuh cinta dan ilmu. Tawa dan bahagia. Penduduk sekitar serta para penghuni pondok sangat menanti-nantikan tebar-taburan kemesraan dalam Sinau Bareng. Beberapa rumah bahkan membuka pintu dengan ruang tamu yang semarak serta tampak menyediakan camilan, rasanya seperti lebaran. Ini biasanya, sejauh yang sering saya amati, berarti kerabat tetangga di desa lain juga akan ada yang berkunjung. Makin malam makin padat dan hinga hampir tak tersisa celah bila orang berjalan. Antusiasme kerinduan ini bagi saya sangat mengagumkan.
Di panggung, Mbah Nun membercandai diri sendiri “Saya ini kan nasab ilmunya juga tidak jelas.” Padahal kita tahu tradisi nama-nama nasab-nasaban selalu jadi legitimasi di banyak kultur semacam ini. Namun di satu sisi, justru ketika Mbah Nun mencoba mengali seorang santriwati yang qori’ah mengenai asal-muasal, sanad-nasab nada yang dibacanya justru kebingungan yang tampak. Mungkin persepsi kita mengenai nasab dan sanad ilmu itu yang perlu kita perbarui. Dia mestinya bukan sekadar nama-nama keramat, tapi juga adalah perjalanan washilah keilmuan dengan segala dinamika sejarahnya, kelebihan dan kekurangan capaian zamannya. Bila begitu barulah kita bisa ikut menyempurnakan apa yang belum sempurna di masa lalu. Kalau tidak, yah, nama nasab dan sanad sekadar legitimasi keramat-keramatan, mistis-mistisan belaka tanpa makna. Tampaknya itu yang sedang terjadi sekarang.
Resikonya bila terlalu banyak pemistisan semacam itu maka kita selalu terjebak membekukan. Mbah Nun sampaikan, bahwa kita sekarang sedang menghadapi pembakuan madzhab-madzhab. Seolah madzhab menjadi sama pentingnya dengan agama itu sendiri. “Bermadzhab itu baik tapi jangan lupa kalau madzhab bukan Islam itu sendiri,” ungkap Mbah Nun di panggung.
Seorang sesepuh pondok sempat menyatakan kekagumannya pada Mbah Nun saat permulaan acara. Beliau kemudian mengatakan bahwa baru kali ini lokasi sekitar pondok dipadati sebegitu banyak manusia, menurutnya ini karena begitu banyaknya yang mengidolakan Mbah Nun. Disitu Mbah Nun tegas menolak pengidolaan. Jamaah Maiyah yang hadir, datang untuk menghormati serta bergembira bersama shahibul bait. Mereka bukan kumpulan fans club. Dan kata idola sendiri dikhususkan oleh Mbah Nun bahwa itu dari kata “idol” yang artinya patung sesembahan. Mencintai boleh tapi bukan mengultuskan apalagi sampai tingkat yang tidak masuk akal.
Pertanyaan yang sangat rasional Mbah Nun utarakan bahwa apakah tokoh, ulama, kiai atau para pendiri madzhab dan ormas agama bisa menolong kita di kehidupan nanti? Koor para hadirin menjawab “tidak”. Hanya Muhammad Saw manusia termulia yang memiliki hak syafaat, menolong dan menyelamatkan para pencintanya. Selainnya hanya penggalan-penggalan cinta yang dikurung dalam kitab-kitab.
Bila kita teruskan semacam ini, kita akan sampai pada masa di mana kebakuan itu sudah terlanjur nyaman dan mapan. Terlanjur menciptakan kelas-kelas sosial dan sehingga perubahan hampir tidak dimungkinkan lagi akan terjadi. Maka Maiyah menanam bibit-bibit radikalisme perubahan, konstruksi alam pikir baru pada generasi-generasi muda. Workshop digelar, peristiwa tampar-peluk cinta yang tadi termaktub di awal paragraf catatan ini, memang terjadi saat sesi workshop.
Para peserta Sinau Bareng diajak ke panggung bersukarela. Karena memang menggali ilmu mesti suka dan rela. Kalau sekadar rela, nanti relawan politik saja dan itu tidak keren. Apakah karena ini pondok? Atau karena pondok putri? Tampaknya kebersukarelawanan agak alot. Tampak banyak santriwati yang malu-malu-mau. Mau maju tapi mundur. Maju tapi narik temannya. Pola pendidikan kita sepepertinya perlu lebih banyak menggembleng mental. “Malu ada tempatnya. Tidak malu juga ada tempatnya,” Mbah Nun merespons suasana kisruh “malu-mau-tapi-malu-tapi mau” ala santriwati kali ini. Akhirnya terbentuklah tiga kelompok. Kelompok pertama bernama kelompok Mawar yang terdiri dari para hafidzah, kelompok kedua yang berasal dari sekolah formal menamakan diri Jannah dan kelompok ketiga berasal dari kalangan umum.
Banyak kandungan ilmu yang terkandung pada workshop dan muatan ilmu kali ini sangat padat. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan cukup membuat peserta workshop dan dengan sendirinya para jamaah mengolah logika yang lebih kompleks dari yang biasa mereka temui di institusi pendidikan masing-masing. Tampaknya beberapa santriwati perlu berusaha esktra agar bisa menerapkan logika Islam dan tauhid, tampak juga cukup bingung.
Bingung itu baik untuk proses belajar. Misal Mbah Nun mengajukan pertanyaan, ada berapa agama di dunia ini? Dan dikejar dengan pertanyaan apakah agamanya Nabi Ibrahim, Musa, Isa dan semua nabi sebelum Muhammad Saw? Tampaknya banyak dari kita masih terpaku pada pembagian konsep agama samawi dan agama ardli. Menurut Mbah Nun, “Agama ya hanya yang dari Allah. Kalau yang dari manusia itu budaya, ideologi, parpol dan seterusnya.” Maka kemudian bahasan mengenai proses Islam dari benih hingga puncak berbuah pada era Muhammad Saw menjadi lambaran.
Sempat juga Mbah Nun tanyakan, “Apakah ayat Allah hanya yang ada di mushaf Al-Qur`an?” Seorang santriwati menjawab, “Tidak. Kan ada yang di hadits Qudsi juga.” Kali ini Kiai Muzammil ikut membantu proses pembelajaran adik-adik kita dengan menjelaskan bahwa ayat Allah itu ada yang di alam semesta dan dalam diri manusia sendiri. Mbah Nun berikan shortcut ayat yang di mushaf itu fungsinya untuk pemancing menuju ayat yang lebih universal.
Kali lain terjadi kebimbangan dari peserta workshop ketika ditanya agama apa yang dibawa oleh nabi sebelum Muhammad Saw? Ada yang menjawab Yahudi, Nasrani dan lain sebagainya. “Apakah Ibrahim bukan Islam?” tanya Mbah Nun. “Belum. Agamanya tauhid,” jawab adik kita. “Lho berarti tauhid itu agama? Itu bukan Islam?” setelah dibiarkan sedikit ulang-alik logika barulah Mbah Nun membantu menjelaskan bahwa Islam tidak dimulai dari Muhammad Saw saja. Islam bermula sejak penciptaan itu sendiri, kemudian berproses. Bila kita mengerti itu kita tidak mungkin memancing pertengkaran atau perdebatan dengan proses-proses evolusi tauhid sebelum Islam yang formalnya dijadikan sah pada masa hidup Muhammad Saw.
Di sini juga kita diajak untuk mengenali proses nasab dan sanad bagaimana tauhid selalu berevolusi dari zaman ke zaman dengan dinamika sejarahya sendiri-sendiri. Bukankah itu juga adalah nasab perjalanan sendiri? Inikah nasab cinta itu? Malam itu di Pondok Pesantren Al-Hidayat, nasab bukan sekadar legitimasi kekeramatan, dia dijadikan sebuah kandungan ilmu yang tak henti-henti kita gali.
Kehadiran Pak Tanto Mendut juga memberi warna sendiri. Pak Tanto bersama Mas Haris yang juga pernah hadir di majelis Mocopat Syafaat. Mas Haris bukanlah orang yang bersyahadat, shalat lima waktu, puasa Ramadlan, atau singkatnya beliau tidak beragama Islam secara formal. Mas Haris membacakan puisi yang berjudul Matematika Pesantren setelah sebelumnya menjelaskan beberapa dasar matematika mengenai bilangan Pi. Bilangan yang ada di setiap bentuk atau pola di alam semesta. Bilangan yang ada di dalam kita dan melingkupi kita dan memberi tahu bahwa segalanya presisi namun juga segalanya tidaklah pernah benar-benar lurus, semua yang ada di alam semesta ini selalu bersifat melingkar.
Dari situ Mbah Nun memberi pemahaman baru bahwa itu sejalan dengan kalimat “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” bahwa bila kita berasal dan akan kembali kepada Allah maka itu berarti kita memang berperjalanan melingkar. Ditambahkan oleh Mbah Nun bahwa ini selaras juga dengan filososfi Semar di Jawa, di mana Semar adalah puncaknya para dewa tapi juga adalah sangat jelata dalam bentuk manusia.
Malam Sinau Bareng di Pondok Pesantren Putri Al-Hidayat kita diajak bukan sekadar syahadat tapi juga tasyahud, yang artinya menurut Mbah Nun adalah lebih bersifat ke dalam. Dalam Sinau Bareng, kita mungkin memang berperjalanan ke sana kemari tapi yang utama jua adalah kita selalu menembus petualangan demi petualangan ke dalam diri sendiri. Menyibak lapis demi lapis menemukan cahaya di dalam diri kita masing-masing. Apa yang disajikan di Pondok Pesantren Al-Hidayat kelak akan berkembang menjadi buah peradaban baru yang lebih punya kemandirian dan kedaulatan dalam mencari kebenaran, menikmati kebaikan, serta terus menjadikan keindahan.