Tanah Air Allah
Tibalah kita (lagi) pada suasana Idul Fitri. ‘Ied, berasal dari kata ‘aada ya’uudu yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berarti: kembali. Maka Idul Fitri bisa diartikan dalam pemahaman kembali kepada fitrahnya manusia, kembali kepada kesucian manusia. Tidak jarang pula Idul Fitri identik dengan momentum kembalinya manusia kepada kemurnian dirinya, seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Mestinya.
Satu bulan lamanya dalam bulan ramadan, ummat muslim menjalankan ibadah puasa. Salah satu ritual ibadah yang sangat privat, sebagai wujud penghambaan manusia keapda Allah. Bersifat privat, karena ibadah puasa tidak bisa terlihat secara kasat mata, baiks ecara kualitatif maupun kuantitatif. Ibadah puasa merupakan sebuah input yang sangat privat, yang tampak di luaran adalah hasil dari puasa itu sendiri.
Jika memang benar idul fitri adalah kembali kepada kesejatian manusia, maka sudah sepantasnya manusia menyadari bahwa ia berasal dari tanah. Alladzii ahsana kulla syaiin khlaqohu, wa bada’a khlqo-l-insaani min thiin (As Sajadah 7), “Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Mungkin itu pula yang menjadi salah satu alasan mengapa manusia ketika mati dikubur di dalam tanah, agar ia kembali menyatu dengan asal-usul dirinya; tanah.
Tetapi, tentu bukan kemudian secara hakiki pada momen idul fitri ini kita berbondong-bondong kembali kepada asal-usul kita; tanah. Tentu saja makna itu adalah sebuah nilai, sebuah ungkapan, sebuah harapan. Ada yang mengatakan bahwa selama satu bulan kita berpuasa di bulan ramadan, maka selama satu bulan itu pula kita memasuki “madrasah” ramadan. Untuk apa? Tentu saja sebagai bekal, karena 11 bulan lainnya dalam satu tahun adalah bulan-bulan yang memang kita memerlukan metode puasa di dalamnya.
Pada inti kesadaran bahwa manusia berasal dari tanah, dan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini merupakan berasal dari diri Allah, maka pada kesadaran yang sama kita memiliki kepekaan pada hakikat bahwa kita juga berasal dari Allah. Maka sesungguhnya seluruh alam semesta ini adalah milik Allah, karena segala sesuatu yang ada berasal dari cipratan cahaya Allah itu sendiri.
Dan hari ini kita enggan menyadari bahwa sebenarnya kita semakin menjauh dari kesadaran asal muasal kita. Fungsi khalifah dalam diri manusia semakin salah kaprah, melakukan segala hal, mengelola segala anugerah yang sudah diberikan oleh Allah berupa tanah, air, udara, dan semua sumber daya alam yang ada dengan semena-mena, semau kita sendiri, tanpa pernah bertanya apakah yang kita lakukan sudah benar dan sudah sesuai dengan kehendak Allah?
Sementara, selama idul fitri kita sudah memiliki kesadaran untuk mudik ke kampung halaman kita. Kesadaran untuk kembali ke asal-muasal diri kita. Kita mudik kembali menemui Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, saudara, handai taulan. Kesadaran mudik adalah kesadaran untuk kembali ke rahim ibu kita, kesadaran untuk kembali mendatangi sumber sejarah kita. Maka peristiwa mudik seyogyanya adalah peristiwa kesadaran bahwa diri kita ini adalah fana’, karena yang sejati adalah Allah Swt.
Dalam beberapa bulan terakhir, Allah telah menganugerahkan kepada kita di Maiyah keberkahan yang tidak terhingga. Pendaran ilmu Maiyah telah semakin mendewasakan kita, semakin mematangkan cara berpikir kita, semakin memperluas hati kita. Dan kita bersama-sama di Maiyah telah menapaki kemerdekaan diri kita di Maiyah.
Salah satu puncak dari kesadaran kemerdekaan kita di Maiyah adalah tertanamnya sebuah kesiapan mental bahwa jika kelak Maiyah tidak ada pun itu tidak menjadi sebuah persoalan besar bagi diri kita, karena nilai-nilai Maiyah telah tertanam baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam alam bawah sadar kita. Kita di Maiyah semakin memantapkan hati untuk tidak menghamba pada simbol-simbol, kita tidak memuja-muja slogan-slogan duniawi dengan segala kemilaunya. Tidak sepenuhnya kita menjadi manusia yang sempurna, tetapi kita sedang berjuang untuk menuju kesejatian manusia itu sendiri.
Kita sedang menjalani peradaban yang bukan saja penuh dengan kekufuran tetapi juga kemunafikan. Kita sedang menjalani peradaban dimana manusia tidak hanya kufur dan munafik kepada Allah Swt, tetapi juga kepada dirinya sendiri. Manusia semakin kufur, semakin munafik, dan semakin menghamba kepada sesuatu yang sama sekali tidak pantas untuk dijadikan sesembahan. Yang kita butuhkan saat ini adalah kesadaran tanah air Allah. Kesadaran untuk bertauhid, kesadaran untuk mengakui bahwa yang abadi hanyalah Allah.
Kesadaran tanah air Allah adalah kesadaran bahwa kita hanyalah sosok kecil di hadapan Allah. Kita adalah Al Faqir ‘Indallah, kita benar-benar sama sekali tidak berdaya apa-apa di hadapan Allah. Sudah terlalu lama manusia merasa paling unggul, merasa paling sempurna, bahkan merasa paling berkuasa di dunia ini.
Dalam suasana idul fitri ini, bersama-sama kita di Kenduri Cinta yang menapaki perjalanan ke-19 tahun semakin menajamkan serta menjernihkan pikiran kita, seraya menata hati kita. Perjalanan ini masih panjang.