Subasita
Bisakah kita menumbuhkan kerendahan hati di balik kebanggaan-kebanggaan?”–Mbah Nun
Pada tatanan hubungan antar manusia, budaya Nusantara menempatkan akhlak sebagai titik berat. Kepada sesama, kaum muda ke yang lebih tua dan sebaliknya, pertimbangan kedudukan sosial bahkan ke para mendiang di alam sana serta makhluk seisi alam lainnya, dikenal aturan baku. Tata nilai ini dipatuhi karena bisa menjadi indikator bagi seseorang, beradabkah ia atau sebaliknya, urakan dan wagu.
Kita semua sudah mengenal dengan baik dua kata ini “tata krama”. Secara harfiah, ia berarti “aturan dalam berhubungan”. Senada dengan itu, ada kata lain yang bermakna serupa tapi tak sama yakni “subasita“. Meski secara etimologi para ahli linguistik mengartikan sebagai tata krama, subasita punya nuansa sedikit berbeda karena kata ini merujuk pada bagaimana seseorang memfungsikan tata krama dalam setiap perilaku interaksinya.
Sambil terus mendiskusikan makna yang lebih “user friendly“, kita simplifikasi tentang adanya kesejajaran budaya Nusantara dengan apa yang menjadi misi utama diutusnya Rasul terkasih ke dunia: memperbaiki akhlak manusia.
Peranan penting dan kebutuhan manusia di era teknologi 4.0 mengalami dekadensi cukup signifikan. Logika perkembangan zaman menyeret masyarakat bangsa sedunia dan kita ada di dalamnya ke arah penekanan efektifitas dan efisiensi. Lupakan itu rasa, kesalehan sosial, sopan santun, dan–yang semakin hilang–kalkulasi penerimaan lawan bicara, komunikan atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai “panampane liyan“.
Penyebabnya bisa saja apatisme atau memang ketidakmengertian dan ketidaktahuan. Skalanya berpotensi terus menjalar ke segala tingkatan, mikro hingga makro, formal maupun interpersonal. Satu hal, inilah sejatinya vektor yang menggiring masyarakat ke arah kian kronisnya miss conceptual attitude.
Beberapa contoh bisa terbaca, seperti: hilangnya penghormatan kepada bapak dan ibu guru, menganggap remeh mereka yang sedang mendapat giliran bicara, sampai kepada pelecehan atas sesuatu yang ironisnya dianggap sebagai hal biasa.
Tak kalah menarik adalah gejala merendahkan lawan politik yang seolah musuh abadi menyangkut hidup-mati. Satu fenomena yang semakin menjadi “habitual mechanism” di kehidupan dan lingkungan kita.
Apa yang kita saksikan hari-hari ini adalah sebuah kehilangan dari konsep etika pada Manner and Custom yang dicetuskan oleh Aristoteles, yaitu etika yang berhubungan dengan tata cara dan adat kebiasaan yang melekat dalam diri manusia. Sangat terkait dengan “baik dan buruknya” suatu perilaku, tingkah, atau perbuatan manusia.
Sambil memastikan kita semua telah memegang tiket Sengkuni 2019 yang singgah di Surabaya, mari kita perbincangkan kata subasita ini, dari makna dasar, perkembangan, dan keberadaannya kini serta mungkin pula siasat tertentu agar ia kembali aktual di atmosfer pergaulan dan kemanfaatan kita bersama.