CakNun.com
Maiyahan Cak Nun dan KiaiKanjeng ke-4118

Sinau Ngegas Persatuan Ngerim Perpecahan

Liputan Sinau Bareng Ulang Tahun CB Nganjuk ke-31, Stadion Warujayeng Nganjuk, Jumat, 4 Oktober 2019
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 6 menit

Sinau Bareng titik ke-4118 berlangsung di stadion Warujayeng Tanjunganom Nganjuk Jawa Timur tadi malam Jumat 4 Oktober 2019. Klub CB Nganjuk yang tengah berultah ke-31 menggelar Sinau Bareng ini untuk para anggotanya yang berjumlah hampir 1000 orang serta masyarakat umum. Ketika memasuki lapangan sekitar pukul 20.15, puluhan ribu hadirin dan jamaah menyambut kedatangan Mbah Nun di atas panggung.

Selain datang dari Nganjuk sendiri, para jamaah berdatangan dari Kertosono, Jombang, Saradan, Kediri, Madiun, Bojonegoro, Gresik, Sidoarjo, Surabaya, Solo, bahkan ada juga yang dari Kendari. Sementara itu di atas panggung Mbah Nun ditemani ketua CB Nganjuk H. Qoyyum, Ketua Dewan Kasepuhan CB Nganjuk Pak Suryanto, para pengurus lainnya, perwakilan Kodim, Wakapolres Nganjuk, Kapolsek Tanjunganom, Pak Camat, para Kyai, dan tokoh masyarakat lain.

Klub CB Nganjuk yang sudah berdiri sejak 1988 selain melakukan kegiatan hobi bermotor CB, dari touring hingga merawat dan memodifikasi motor CB, juga aktif berkiprah sosial seperti mengadakan bedah rumah, bedah mushalla, sunatan massal, respons kebencanaan, memberikan bantuan air bersih, dan lain-lain. Menarik sekali, bahwa kemudian Mbah Nun mengulas apa yang dikerjakan CB Nganjuk ini dengan mengaitkannnya dengan sebuah ayat yang mungkin tak kita bayangkan dapat dikaitkan.

Ayat laqad ja-akum rasulun min anfusikum azizun alaihima ‘anittum kharishun ‘alaikum bil mu’minina rou’fun rahim Mbah Nun baca dan kemudian dijadikan jalan mengambil ilmu. Di situ kata yang digunakan adalah laqad ja-akum yang artinya sungguh telah datang, bukan Allah mendatangkan. Menurut Mbah Nun, ayat itu menegaskan bahwa Rasul Muhammad-lah yang punya inisiatif untuk datang. Kemudian sekalipun konteksnya adalah menggambarkan sifat Kanjeng Nabi, tetapi bukankah setiap ayat Allah adalah untuk kita semua para manusia.

Maka, menurut Mbah Nun, siapa saja yang datang ke pasar, ke masyarakat, dengan hati yang tidak tegaan dan penuh kasih sayang tak ubahnya tajalli-nya Rasululllah karena mau menginternalisasikan karakter Rasulullah yang digambarkan di dalam ayat itu: berat hatinya kepada kita, welas asih, penuh kasih sayang, dan tidak tega melihat penderitaan kita. Lewat contoh kegiatan yang dilakukan CB Nganjuk Mbah Nun mengajak kita mendapatkan salah satu cara memahami ayat laqad ja-akum tadi. Klub CB Nganjuk dalam pandangan Mbah Nun juga berupaya menjalankan sesuatu yang digambarkan oleh Nabi yaitu al-yadul ‘ulya khairun min yadis sufla (tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah).

Wasilah dan Ghayah

Selain itu para jamaah juga diajak melihat fenomena komunitas seperti CB Nganjuk dengan ragam kegiatannya tersebut melalui pendekatan wasilah (sarana) dan ghayah (tujuan). Sarananya sekadar honda CB saja, tapi tujuan yang telah dicapai sangat banyak berupa ragam kebaikan. Begitu Mbah Nun coba memberikan cara baca. Lanjut Mbah Nun, coba lihat berapa banyak organisasi atau perkumpulan yang dibangun (dan seringkali tujuannya muluk-muluk) dan hasilnya adalah perpecahan. Sementara CB Nganjuk memberi contoh yang sebaliknya.

Oleh karena itu, Mbah Nun berpesan agar CB Nganjuk mengambil posisi sebagai perawat yang menjaga persatuan. “Aku pesan sitok. Mengko nek ono opo-opo neng Jakarta, ojo melok-melok. Gak CB, gak motor liyane, sopo ae neng Nganjuk kudu bersatu dan nggak ada yang bertengkar.” Maka pula tadi malam Mbah Nun meminta semua unsur pemimpin di Nganjuk dan para sesepuh CB Nganjuk berdiri semuanya juga perwakilan jamaah berdiri bersama untuk mengukuhkan semangat persatuan itu lewat serangkaian lagu dalam medlei era. Hati bergembira, persatuan dan persaudaraan harus dimulai dengan laku yang menancap di hati. Kebersamaan akan mudah diperjanjikan satu sama lain dalam posisi hati yang lega dan gembira.

Sinau Ngegas Ngerim

Ngegas berarti melampiaskan, sedangkan ngerim adalah mengendalikan. “Jakarta memimpin Indonesia dengan ngegas, Nganjuk bagian ngerim”. Begitu satu contoh kecil Mbah Nun ketika memulai mengolah sinau ngegas ngerim. Ini juga paralel dengan filosofi lampu kuning yaitu saat bertemu lampu kuning apakah harus ngegas atau ngerim. Yang berpendapat masih kuning, dia akan ngegas, sedangkan yang berpendapat sudah kuning, dia akan ngerim dan bersiap berhenti pada saat lampu merah menyala. Ngegas ngerim juga membawa kita pada pertanyaan misalnya utang harua digas atau atau direm. Utang Indonesia sudah banyak atau masih sedikit.

Tiga kelompok juga telah dibentuk. Satu dari CB Nganjuk, satu dari warga Nganjuk, dan satu lagi dari luar Nganjuk. Antusiasme sangat membuncah. Mbah Nun hanya meminta satu kelompok terdiri tiga sampai lima orang, tapi kelompok ketiga jumlahnya adalah tiga belas orang. Kelompok pertama ditugasi mendiskusikan pertanyaan apa yang selama ini di dalam kehidupan mereka dan masyarakat yang kengegasen dan apa yang kengerimen. Kelompok kedua, hal-hal apa yang seharusnya kita ngegas, dan hal-hal yang seharusnya kita ngerim. Kelompok ketiga, hal-hal apa yang selama ini membuat kita ngegas dan apa yang selama ini membuat kita ngerim.

Presentasi masing-masing memberikan gambaran bahwa mereka sudah mengerti kapan ngegas dan kapan ngerim. Dalam hal-hal apa mereka harus ngegas dan ngerim. Ssbut saja kelompok kedua menjawab apa yang harus digas: kejujuran, persatuan, ketertiban, kebaikan, dan keadilan. Sedangkan yang harus direm adalah: kebohongan, perpecahan, arogansi, kesombongan, sikap nggatheli, dan pilih kasih. Dari kelompok satu kita mendapat satu poin bahwa dorongan mengejar dunia (ngoyak donya) membuat kita ngegas hal-hal yang tak perlu.

Lainnya

Exit mobile version