Sinau Menjadi Jam’iyyah Pengusaha Sorga
Tentu saja tidak semua orang bisa menguasai semua hal, tapi kan tidak juga harus sempit-sempit amat. Akibatnya menurut Mbah Nun kelas-kelas sosial yang sementara ini dikatakan agamawan kurang kreatif dalam mengolah persoalan hidup (terutama ekonomi) sehingga perlu menerima dana dari mana-mana termasuk santri-santrinya. Bisa saja bungkusnya dengan bahasa mahar, kerelaan spiritual pada mursyid atau terserah bagaimana tapi itu menggambarkan persoalan kita bersama. Kemapanan sosial membuat kita kurang mengkreatifi hidup, terjebak dalam kesempitan dan mudah terkecoh oleh kata-kata.
Dari bahasan inilah kemudian kita juga diajak belajar kembali. Betul atau tidakkah selama ini pemahaman kita mengenai kapitalisme. Selama ini bayangan kita mengenai kapitalisme selalu berdasarkan ekonom-ekonom. Tapi bahkan kapitalisme yang selama ini diantagoniskan, bisa kita cari dan telusuri bagaimana mulanya dan bagaimana dia bisa menjadi thariqat. Dari uraian Mbah Nun kita bisa mengurutkannya menjadi seperti ini, bahwa kapitalisme berasal dari kata kapital atau modal. Hanya dia kemudian kawin dengan pemujaan materialistis apalagi yang kemudian di-isme-kan. Sehingga modal yang dicari, dukumpulkan dan diakumulasikan selalu adalah modal (kapital) yang bersifat materiil saja. Padahal menurut Mbah Nun bahkan niat baik, sikap bisa dipercaya, amanah dan ketulusan beribadah itu semua adalah modal dalam perdagangan yang dijanjikan oleh Allah Swt. Memang malam ini ayat yang bisa kita katakan menjadi lambaran bahasan adalah QS Ash-Shaf (61) ayat 10-11.
Pada ayat tersebut Allah memberi penawaran pada kaum beriman mengenai perdagangan yang dapat menyelamtkan dari adzab yang pedih. Sudah sering ayat ini dibahas dengan kesadaran yang itu-itu saja, seolah yang namanya berdagang dengan Allah Swt itu hanyalah kita sebagai manusia menjalankan ritual-ritual mahdlah kemudian Allah Swt ‘membayar’ dengan menyelamatkan kita dari api neraka. Namun elaborasi malam ini di majelis MS, kita dapati bahwa adzab yang pedih itu juga bisa adalah bentuknya politik yang karut-marut, ekonomi yang tidak stabil dan lain sebagainya yang diakibatkan oleh ketidaktepatan kita memahami kersaning Gusti Allah pada diri kita. Maka Mbah Nun memberi tekanan yang sangat tebal dengan berkata, “Setiap orang harus menemukan ketepatan dirinya pada pandangan Allah dan ketetapan Allah”.
Malam ini purnama sedang bulat utuh. Sebentar lagi Ramadlan. Saya menyempatkan diri untuk keluar sebentar dari warung yang tertutup, dan rupanya malam ini sangat padat jamaah yang hadir. Manusia-manusia negeri Maiyah ini, penuh utuh hingga malam menjelang subuh. Saya tidak bisa melihat ketulusan jihad yang lebih dalam dari ini bila tidak di Negeri Maiyah. Mereka pejuang yang selalu melawan potensi penyempitan dalam diri masing-masing, berjhad melawan diri sendiri tanpa henti.
Mungkin Mbah Nun memang sangat memahami psikologi kebatinan para masyarakat Negeri Maiyah, tidak jarang kita dirundung kekalutan menyaksikan dunia, zaman dan peradaban yang berjalan dengan tidak logis dan mengkhianati amanah keimanan serta melencengkan capaian keilmuan. Satu kalimat Mbah Nun malam ini, rasanya seperti mengguyur dengan kesejukan, “Nikmati hidupmu. Nikmati nafasmu. Dan jangan bernafas hanya bernafas. Bernafaslah dengan menghadirkan Allah dalam setiap nafasmu”. Sesuatu sedang bangkit dan menggeliat, baru kelak zaman akan menyaksikannya.