CakNun.com
Maiyahan Cak Nun dan KiaiKanjeng yang ke-4107

Sinau Memahami Momentum di Desa Mangunjaya

Liputan Sinau Bareng Desa Mengunjaya, Mangunjaya, Pangandaran Jawa Barat, 11 September 2019
Fahmi Agustian
Waktu baca ± 3 menit

“Ada hal-hal yang memang tidak mesti kita ketahui, bahkan ada hal-hal yang memang lebih baik tidak kita ketahui.” Satu pantikan ilmu dari Mbah Nun di awal paparan Sinau Bareng di Desa Mangunjaya, kecamatan Mangunjaya, Pangandaran hari Rabu (11/9) lalu.

Terkadang, manusia itu merasa gumedhe, merasa besar, merasa tahu segala hal, merasa menguasai semua hal. Yang terjadi kemudian adalah kesombongan yang semakin tampak dalam diri manusia itu sendiri. Tidak memberi ruang kepada hasil pencarian orang lain, selalu merasa dirinya paling benar, selalu merasa dirinya yang paling menguasai semua hal.

Dari satu pantikan ini kiranya kita semua bisa mengambil satu poin ilmu dari Mbah Nun, bahwa kewaspadaan dalam diri kita untuk senantiasa rendah hati terhadap segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Karena memang pada dasarnya tidak semua hal juga bisa kita ungkapkan tanpa saringan. Kita harus mampu melihat momentum, bahwa setiap informasi tidak serta-merta bisa kita sampaikan di semua tempat. Dalam mahfudzot ada pepatah: likulli maqolun maqomun, wa likulli maqomun maqolun. Bahwa setiap perkataan itu ada tempatnya sendiri untuk diungkapkan, begitu juga sebaliknya, setiap tempat ada perkataan yang tepat untuk diungkapkan.

Contohnya begini, ada satu kesempatan kita menjenguk salah satu sahabat kita yang sakit di sebuah rumah sakit. Menurut informasi dari dokter, penyakit yang diderita oleh sahabat kita itu sudah sangat parah, bahkan dokter sudah memprediksi umurnya tidak akan lama lagi. Apakah kita akan membuka informasi tersebut ketika kita menjenguk sahatab kita tadi? Tentu saja tidak kan? Itulah yang dimaksud dengan ketepatan momentum.

Malam itu, Mbah Nun merasa bahwa yang hadir di Maiyahan di Desa Mangunjaya memancarkan aura kerinduan kepada kanjeng Nabi Muhammad Saw, maka segera kemudian Mbah Nun meminta KiaiKanjeng menyajikan nomor Solawat Nariyah, semua pun bersholawat bersama-sama.

Ada satu peristiwa menarik yang muncul malam itu. Pada satu momen, Mbah Nun meminta perwakilan dari jamaah yang memiliki kemampuan tilawah Al Qur`an, kemudian naiklah remaja laki-laki dan juga remaja perempuan naik ke panggung. Kalau melihat penampilan remaja perempuan, sangat tidak mengherankan jika kemudian ternyata dia mampu melantunkan tilawah dengan baik. Layaknya santriwati, ia berkerudung. Maka tidak aneh jika dia mampu tilawah Al Qur`an dengan suara yang indah. Sementara remaja laki-laki yang juga naik ke panggung, tidak terduga. Ia berpakaian kaos, dengan tulisan khas band metal di bagian belakang. Rambutnya pun agak gondrong, di tangannya juga ia memakai gelang. Tapi, begitu Mbah Nun meminta dia melantunkan kalimat ta’awwudz, suaranya juga tak kalah baik dibanding remaja perempuan di sebelahnya.

Dari peristiwa ini kita memotret bahwa memang penampilan seseorang itu tidak bisa kita jadikan pedoman untuk menilai kualitas personalnya. Bahkan, sebenarnya kita juga memang sama sekali tidak berhak untuk memberi nilai raport kepada orang lain. Sudah berulang kali kita sebenarnya kecelik dengan fenomena yang ada di dunia, dan mungkin kelak di akhirat kita juga akan kecelik, kita bisa-bisa akan kaget dan menggugat kepada Allah jika ternyata orang yang kita sangka akan masuk neraka justru berada di surga.

Dua remaja itu kemudian diminta Mbah Nun untuk melantunkan surat An-Naas secara berurutan dan bergantian. Mbah Nun kemudian menggoda; “Apa perwakilan KUA ada di panggung?”, jamaah pun tertawa bergemuruh.

Seperti halnya Maiyahan biasanya, Mbah Nun mampu mengemas Sinau Bareng dalam konsep yang menggembirakan. Padahal, malam itu suara Mbah Nun seperti sudah hampir habis, karena rangkaian padat Sinau Bareng, tetapi Mbah Nun tetap maksimal untuk menyampaikan materi-materi Maiyahan, tidak berkurang sedikitpun rasa cinta dan kasih sayang Mbah Nun kepada jamaah yang hadir malam itu.

Malam itu, Mbah Nun bersama KiaiKanjeng dan juga perwakilan dari jamaah pun menyelenggarakan workshop dengan tema permainan anak-anak kecil yang sudah dilupakan oleh anak-anak generasi sekarang. Permainan dengan lagu dolanan cublak-cublak suweng diperagakan oleh beberapa personel KiaiKanjeng malam itu.

“Yang penting, setelah pulang dari sini, hati kita menyatu satu sama lain”, ungkap Mbah Nun. Berulang kali Mbah Nun mengingatkan bahwa di Maiyahan ilmu menjadi nomor ke sekian, tetapi yang utama adalah agar tali silaturahmi antara satu dengan yang lainnya tetap terjalin, dan yang lebih utama lagi adalah agar kita selalu menomorsatukan Allah dan Rasulullah Saw.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version