CakNun.com

Sinau Bareng: Presisi, Humanis, Dalam Imaji Sejarah

Liputan Singkat Sinau Bareng di Muara Reja, Tegal Barat, Tegal, 24 Agustus 2019
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 3 menit

Salah satu sesi yang menarik dalam Sinau Bareng di desa Muarareja, Tegal pada hari Sabtu tanggal 24 Agustus 2019M ini adalah bagaimana Mbah Nun dengan sesekali berkolaborasi ilmu bersama Yai Muzammil menceritakan versi kisah nabi-nabi, versi yang bisa kita katakan agak liar imajinatif. Terutama saat Mbah Nun membahas kejadian ketika Nabi Ibrahim AS diperintah menyembelih Nabi Ismail AS yang merupakan putra kesayangan beliau. Mbah Nun sempat melempar pertanyaan yang sedikit mengusik pikiran “Menurut anda Nabi Ibrahim (ketika menerima perintah tersebut) mantep atau stress?”

Dan Mbah Nun mengajak para hadirin untuk membayangkan bagaimana kira-kira pergulatan batin Nabi Ibrahim ketika mendapat perintah tersebut. Plus dengan kejenakaan-kejenakaan dan keliaran imajinasi.

Kita boleh sedikit teringat pada pemikiran Prof. Kuntowijoyo, yang kalau tidak salah termaktub dalam kumpulan tulisan di buku “Metodologi Sejarah”. Pada satu tulisannya almarhum Prof Kuntowijoyo menekankan bahwa belajar sejarah itu sangat perlu punya imajinasi. Imajinasi sejarah. Bukan romantisasi sejarah.

Nuansa keilmuan kita belakangan agak kehilangan imajinasi yang manusiawi semacam ini. Ilmu semakin kering baik ilmu akademis maupun ilmu pada wilayah lain. Prodaknya kemudian kita terlalu mudah membekukan. Majelis Sinau Bareng sangat membantu mencairkan kembali kebekuan-kebekuan ini, mengembalikan impresi imajinasi yang humanis dalam kacamata pandang sejarah kita. Bukan tidak mungkin juga dalam fakultas keilmuan lain.

Ketika imajinasi sudah terlatih, secara psikologis ilmu mudah terresap dalam diri. Dan kita makin mudah mensimulasikan fenomena. Baik fenomena dalam diri, fenomena luar diri maupun dalam perjalanan sejarah di masa lalu. Dan imajinasi yang tinggi itu, salah satu tolok ukurnya adalah pada presisi detil dalam pikiran.

Mbah Nun juga kembali mengingatkan kita akan pentingnya presisi. Kurang presisi bahkan bisa berakibat pertengkaran. Contoh kasus yang diberikan Mbah Nun adalah bagaimana orang bertengkar hebat hanya karena tidak bisa membedakan kata “khilafah” dalam Al Qur’an sendiri maupun kata “Khilafah” yang kemudian ditafsirkan oleh sebagian golongan. Maka coba kita presisi agar tidak mudah terjebak pada pertengkaran yang tidak begitu urgent adanya.

Contoh presisi juga adalah tentang perbedaan kata “sunnah”yang bersifat anjuran dalam Fiqh dan “sunnah rosul”yang merupakan tradisi kebiasaan Rosulullah SAW yang dilakukan ajeg. Semacam hobi yang konsisten mungkin. Itu juga yang dijelaskan oleh Mbah Nun pada seorang hadirin yang sempat menyumbangkan pertanyaan tentang sunnah memelihara jenggot. Mbah Nun memberi kejelasan perbedaan dua tadi (“sunnah” dan “sunnah rosul”) namun juga memberi kacamata pandang optimis “Resminya menurut saya tidak ada urusannya dengan pahala dan dosa. Tapi saya akan tetap mendoakan orang yang melakukannya agar mendapat pahala atas dasar cintanya kepada kekasih Allah, Rosulullah SAW”.

Bergembira, hidupkan imajinasi, presisi. Dengan sendirinya logika terbangun di Sinau Bareng. Apa yang disampaikan dalam laporan singkat ini, tentu belum bisa mencakup kedalaman Sinau Bareng dari segala sudut, sisi dan jarak sampai lingkar pandang. Setelah ini akan dilanjutkan dengan reportase yang semoga bisa lebih dalam. (MZ Fadil)

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version