Sinau Bareng Merestorasi Rasa Iman dan Rasa Aman
Ini adalah kali kedua Sinau Bareng digelar di lapangan Kridobuwono, Tlogo daerah Prambanan, Klaten. Lapangan ini cukup dekat dengan Candi Prambanan yang ramai oleh wisatawan itu. Prambanan ini secara administrasi masuk wilayah Klaten, tapi Candi Prambanan seperti juga Candi Borobudur di Magelang, sering jadi ikon pariwisata Yogyakarta. Tampaknya kesadaran batas administrasi memang tidak terlalu banyak pengaruhnya dalam keseharian masyarakat pribumi di bagian tengah pulau Jawa ini. Sebab, selain batas administrasi toh yang lebih meresap adalah batas kultural.
Seperti juga itu, pada malam hari ini manusia-manusia bumi ini yang merasa memiliki kultur bersama menampilkan berbagai gelar kesenian tanpa banyak merasa terkungkung oleh berbagai batasan formal. Batas usia? Nah itu ada bocah-bocah lucu yang menampilkan tarian Mindat-Mindut dengan busana warna-warni ceria.
Dan kata siapa shalawatan hanya milik ormas tertentu? Pemuda-pemudi dari Muhammadiyah Boarding School, para remaja yang tampaknya kreativitas mereka dipupuk dengan semangat tajdid melantunkan shalawat-shalawat dengan accapela. Senentara para remaja Karang Taruna desa setempat juga menampilkan kebolehan mereka dalam bermusik.
Tanah lapang ini terbilang luas. Hanpir setahun lalu Sinau Bareng digelar di sini, dingin sejuk seperti ini. Hanya waktu itu udara terasa lembab, rumput basah. Malam ini sejuk yang berbeda, rumput-rumput sedikit menguning. Pada Sinau Bareng di tempat ini sebelumnya, Mbah Nun banyak memberi masukan pada pemuda-pemuda desa setempat. Seingat saya, dulu para pemuda bertanya bagaimana agar mereka bisa menjadi lingkar Maiyah juga. Dan kalau tidak salah Mbah Nun mengingatkan bahwa bukan status sebagai lingkar Maiyah yang penting, namun bagaimana agar para pemuda tetap berkarya, kreatif dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Soal nama atau status, itu sekadar penanda yang juga bukan keistimewaan karena di baliknya justru ada tanggung jawab.
Majelis Maiyah, dengan gelar Sinau Bareng dan Mbah Nun sendiri sebagai orang tua kita bersama tidak pernah lelah menyemai, menanam benih-benih, memupuki kreativitas. Bisakah kita katakan bahwa di desa Tlogo, Prambanan pada malam hari ini semaian itu telah menampakkan tunas-tunas yang menggembirakan hati? Tunas berupa kreativitas generasi baru yang tidak dramatis atas identitas sempit golongan, membangun kebersamaan atas kesadaran bukan atas dogma yang menjadikan manusia sebagai massa, pemuda-pemudi yang sedia merawat dan ngemong orang-orang tua mereka, tidak menyepelekan tradisi sekaligus juga tidak anti pada modernitas tapi bisa menikmatinya tanpa terseret-seret arus kebimbangan zaman.
Gamelan dengan tempo yang sedikit rancak mengalun. Para adik-adik kecil dari Sanggar Sri Rama menarikan Tari Kijang. Setelahnya duet sepasang MC, masih menemani para hadirin sembari KiaiKanjeng mempersiapkan peralatan.
Tak lama Shalawat Badar melantun, Mbah Nun tiba dan langsung ke panggung. Mbah Nun menyapa para hadirin dan sebagai orang tua Mbah Nun mendoakan agar para anak-cucu mendapat keberkahan dalam hidupnya. Dua kalimat yang tampaknya menjadi kunci Mbah Nun utarakan pada sesi awal ini adalah “Mari bersama gondelan klambine Kanjeng Nabi agar Allah menerima kita” dan “Jer basuki mowo beo”.
Mbah Nun juga memberi “oleh-oleh” dari bahasan Sinau Bareng bersama SAR DIY dengan tema “Restorasi Sosial” pada malam sebelumnya. Pemahaman bahwa restorasi adalah menemukan kembali, membangkitkan apa-apa saja yang dulu pernah ada namun sekarang berangsur hilang, contohnya soal subo sito, tepo sliro. “Semakin modernitas berlaku, semakin profesionalisme berlaku, semakin sempit ruang untuk persaudaraan dan ruang untuk saling percaya di antara satu sama lain”, pesan Mbah Nun. Mbah Nun mengambil contoh bagaimana kita sangat tergantung pada sistem identifikasi berdasarkan kartu penanda.
Sinau Bareng dan berbagai majelis Maiyah adalah usaha nyicil, membangkitkan kembali rasa percaya kita. Percaya kepada diri sendiri, percaya pada kebaikan dari orang lain. Tidak mengancam dan tidak merasa terancam oleh keberadaan yang liyan. Sehingga timbul aman. Aman, urusannya dengan iman. Kita merasa aman, manakala kita selalu beriman bahwa di dalam hati, jauh di lubuk sanubari setiap manusia ada Allah dan Rasul-Nya, bersemayam sebagai tuan rumah. Shohibul Baity, melantun. (MZ Fadil)