Sinau Bareng Masjid (Itu) Milik Allah
Sementara para jamaah Maiyah di berbagai simpul tengah menyiapkan diri untuk menjalankan salah satu pesan Amar Maiyah dari Mbah Nun untuk membaca Doa Tahlukah dan Hizib Nashr sesuai tanggal yang telah mereka pilih sendiri-sendiri, Mbah Nun dan KiaiKanjeng tadi malam (22/04) ber-Sinau Bareng mengayomi masyarakat Desa Mudal Kecamatan Temanggung Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah.
Acara Sinau Bareng ini dilangsungkan dalam rangka Tasyakuran Masjid Darul Qirom dan Akhirussanah TPQ Al-Muttaqin dan mengambil tempat halaman Barat masjid berlantai dua yang sudah hampir sempurna pembangunannya. Namun, yang kami rasakan dari intrinsik ekspresi tawadlu’ mereka, sesungguhnya beliau-beliau tengah berharap berkah do’a dari Mbah Nun untuk niat baik mereka dalam membangun masyarakat. Usai shalat Isya’ kelompok hadrah Ibu-Ibu An-Najwa tampil membuka acara, yang kemudian disambung dengan shalawatan dan ngaji para santri TPQ Al-Muttaqin. Merekalah nanti yang menjadi salah satu fokus utama dari muatan yang disampaikan Mbah Nun.
Pukul 20.30 Mbah Nun bersama KiaiKanjeng, Kyai Muzammil, dengan didampingi para tokoh masyarakat naik ke panggung. Hal awal yang disapakan Mbah Nun kepada para jamaah dan masyarakat adalah do’a bagi keterkabulan hajat mereka yang mereka mintakan kepada Allah Swt. Juga, Mbah Nun berdoa agar siapa saja yang punya niat baik, segera diijabahi oleh Allah. Sedangkan yang punya niat buruk segera dihentikan oleh-Nya. Rentang hajat mereka boleh dari skala pribadi, keluarga, hingga masyarakat, bahkan pilpres.
Untuk semua niat dan hajat itu, para jamaah diajak membaca surat Al-Fatihah sebanyak tiga kali. Tapi metodenya agak beda dari biasanya. Surat Al-Fatihah ini dibaca dengan lagu yang berbeda-beda. Tiga lagu. Yang pertama oleh Mbah Nun, dan yang kedua dan ketiga dilantunkan oleh Mbak Nia dengan menggunakan jenis lagu dalam maqamat Seni Baca Al-Qur`an.
Rupanya ini metode yang sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Maksudnya, tiga lagu yang berbeda yang dibawakan Mbah Nun dan Mbak Nia dimaksudkan sebagai pembelajaran buat santri-santri TPQ maupun para gurunya. Persisnya, dalam hal membaca Al-Qur`an para santri harus belajar apa yang harus dipelajari, yakni qiro’ah. Caranya adalah dengan membiasakan diri bukan menghapalkan. Dengan cara itu nanti mereka akan bisa sendiri. Tidak menghapalkan lagu, melainkan mengerti juntrungane lagu. Lagu-lagu itu dibiasakan, dirasakan naik turunnya nada. Dan semua itu harus dilakukan dari dalam hati.
Tentang ragam lagu dalam membaca Al-Qur`an, Mbah Nun memberikan perspektif, “Awak ndewe jare ragam atau plural. Plural ora kudu suku bangsane thok, tapi yo lagune kudu ragam. Ora ming NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan lain-lain, dan kabeh kudu njogo masjid bersama-sama.” Pesan yang terakhir itu sekaligus Mbah Nun mulai masuk ke tema masjid. Tapi yang pertama, beliau berpesan tentang sejak dini jika bisa anak-anak sudah dikenalkan dan memahami lagu-lagu dalam membaca Al-Qur`an, dalam hal ini Tujuh Maqamat yang biasa dikenal dalam MTQ (Bayyati, Rost, Shoba, Sika, Jiharkah, Hijaz, dan Nahawand).
Mbah Nun juga memberik kritik membangun untuk kita: membaca Al-Qur`an memang tidak harus pakai lagu-lagu, tapi kalau memang memakai lagu ya harus serius dan sungguh-sungguh. Tentang menguasai lagu ini menurut Mbah Nun sangat penting, karena dengan mengerti lagu-lagu itu, terutama untuk membawakan lagu-lagu shalawatan, penguasaan tersebut akan memberi peluang bagi kemampuan eksplorasi lebih kaya dan detail. Yang terakhir ini Mbah Nun sampaikan di ruang transit di sela Beliau sedang berdiskusi dengan Mas Jijit, Mas Blotong, Mas Doni, Mbak Nia dan Mbak Yuli untuk menyiapkan lagu apa yang bisa dipakai untuk dua lirik berbeda yang nanti akan dibawakan bersama jamaah, sementara dari panggung terdengar ibu-ibu An-Najwa sedang membawakan sebuah nomor shalawatan.
Kemudian sinau mengenai Masjid, dengan bantuan Kyai Muzammil untuk mengurut terbentuknya kata masjid yang berasal dari kata sajada (sujud), Mbah Nun mengurai secara dasar saja bahwa masjid baru jadi masjid jikalau ada orang yang sujud di dalamnya. Makin banyak yang sujud di dalamnya, makin tinggi nilai masjid itu. Bersamaan dengan melihat tashrif kata sajada tadi, Mbah Nun memastikan ke Kyai Muzammil, “Berarti yang disujudi adalah Al-Masjud, dalam hal ini Allah Al-Masjud?” Kyai Muzammil mengiyakan, “Bisa, bisa.” Walaupun ini kosakata yang sangat jarang dipakai, dan Mbah Nun menemukannya tadi malam.
Sinau diperdalam. “Kemudian tentang sujud itu sendiri, apakah karena kepala kita melakukan gerakan sujud, atau karena hati dan hidup kita sejatinya bersujud kepada Allah?” tanya Mbah Nun. Serempak jamaah menjawab yang kedua. Dari sini, Mbah Nun membawa jamaah kepada kesadaran bahwa shalat merupakan pelajaran untuk rendah hati, tawadlu’, andhap asor, dan sujud yang ada di dalam shalat adalah perlambangnya.
Kemudian memperdalam lagi sinau mengenai masjid ini, Mbah Nun meminta Kyai Muzammil menjelaskan ayat Al-Qur`an yang berbicara mengenai masjid. Ayat yang disitir jelas-jelas menggunakan frasa masajidallah yang artinya masjid-masjid Allah. Jauh dari yang selama ini kita pelajari, bagi Mbah Nun kata itu jelas, masjid Allah, artinya masjid milik Allah, masjid itu milik Allah. Bukan milik ormas, golongan, bahkan juga bukan milik muslimin, melainkan milik Allah. “Mestinya tidak ada masjid NU, Muhammadiyah, atau yang lain.”
Semua ini Mbah Nun sampaikan bukan seperti orang yang bilang masjid kan milik Allah dengan tendesi dia/kelompoknya biar punya akses menguasai masjid. Tetapi, dalam kemungkinan masjid bisa menjadi rebutan, Mbah Nun seakan mengatakan, “Ingat lho, Allah dengan jelas menyebut diri sebagai yang memiliki masjid. Berani tidak kita semua ikhlas mengembalikan masjid kepada pemiliknya. Apa kita tidak pekewuh kepada Allah?” Maka setiap kelompok harus menahan diri dari hasrat untuk menguasai masjid, dan mengembalikan masjid kepada fungsi rohaniahnya sebagai tempat kita sama-sama bersujud kepada Allah dengan output tawadlu’ kepada Allah, dan rendah hati kepada sesama manusia.
Itulah dua topik di antara banyak pembahasan yang berlangsung dalam Sinau Bareng tadi malam. Satu saja mungkin yang perlu ditambahkan di sini, dengan mengambil dari segmen tanya jawab. Salah seorang dari jamaah bertanya bagaimana hukumnya membawa HP ke kamar mandi sedang di dalamnya ada aplikasi digital Al-Qur`an. Jawaban fiqhiyah Kyai Muzammil ringkas saja yaitu kalau aplikasi tersebut sedang tidak dibuka ya tidak apa-apa, karena ketika sedang tidak dibuka aplikasi tersebut hanya berisi digit-digit atau angka-angka saja, alias bukan teks Al-Qur`an.
Sementara itu, Mbah Nun membawa jamaah masuk ke filsafat dan psikologi hukum yang jarang disadari dalam merespons pertanyaan yang bisa dikatakan sebagai fenomena baru yang belum dijumpai di masa Nabi bahkan di masa ulama-ulama modern sebelum HP ditemukan tersebut. Bagi Mbah Nun, kalau mau hukum secara sangat serius, fixed, dan objektif ya Allah yang tahu persis. Kita, MUI, para ulama, dan lain-lain hanyalah berpendapat, menganalisis, dan memperkirakan. Sehingga kalau pakai sudut kepastian Allah, kita tak mungkin benar-benar berani memastikan. Jadi, cara berpikir kita yang harus tahu bahwa kita ini relatif. Maka, dalam hal HP tadi, kalau memang merasa tidak enak membawa HP tersebut ke kamar mandi, ya nggak usah dibawa ke kamar mandi. “Pakai keyakinanmu yang tadi, tapi dalam posisi husnudh-dhon, mencari baik, dan tidak menjelek-jelekkan yang lain.”
Masih ada beberapa pertanyaan menarik seputar shadaqah dan keikhlasan, riba, dan bagaimana memahami kebaikan dan kesalahan pada diri manusia. Sejumlah lagu KiaiKanjeng juga bertali erat dengan kegembiraan yang terbangun dengan semua jamaah termasuk dengan para santri TPQ dan bapak-bapak yang ada di panggung. Semuanya sinau, dan semuanya bergembira. Semua itu juga diharapkan menjadi bekal agar Temanggung menjadi kota yang aman dan adem tentrem. (Helmi Mustofa)