Sinau Bareng di Harlah NU (Bagian 3)
Konteks Jombang kemudian dikisahkan juga oleh Mbah Nun pada bagian ini dan membuka pula satu pertanyaan mengenai siapa yang menyediakan lahan bagi berdirinya Pondok Tebuireng. Rupanya pertanyaan ini juga cukup sulit dijawab oleh para hadirin dan Mbah Nun tidak keberatan membagikan data sejarah lokal Jombang bahwa lurah Jombang saat itulah yang dulunya pernah sama-sama Mbah Hasyim nyantri di Slawi yang menyediakan lahan itu. Bila pembaca yang budiman tertarik, akan sangat menarik membuka kembali bahasan ini dengan meletakkan posisi Jombang sebagai lahan pertanian andalan pemerintah saat itu. Sebab benih tebu hitam yang sedang menjadi komoditas primadona sangat subur di tanah ini dan berbagai korporasi dari Eropa, Prancis sampai Amerika menanamkan sahamnya di wilayah ini. Sementara Hindia-Belanda melakukan perlawanan terhadap investasi itu dengan membatasi luas lahan produktif yang boleh diolah oleh asing, Hindia-Belanda juga membuka lahan perkebunan negara sendiri. Jombang saat itu masuk regulasi daerah manca, artinya dia tidak terikat keraton manapun. Data inilah yang juga sesungguhnya ingin dibuka oleh kaum komunis sejak reformasi agraria dan berujung pada 1965 kemudian belanjut menjadi konflik tak berkesudahan. Sebab data lahan produktif bisa membuka banya hal di baliknya, siapa yang benar-benar agamawan pendidik dan siapa yang sekadar majikan penyewaan tanah dengan buruh termurah sedunia saat itu? Sayangnya kekurangbijaksanaan mengolah data membuat konflik tak dapat dicegah. Sejarah seperti ini tidak boleh kita ulangi.
Mbah Nun juga membagikan kisah mengenai Cak Durasim yang berani frontal kepada pemerintahan Nippon hingga berakibat dihukum mati. Cak Durasim sesepuh kesenian ludruk, bila kita telusuri lebih ke belakang. Ludruk juga bisa ditemukan sambungannya dengan kedatangan seorang Indo-Prancis bernama August Mahieu pada 1891 bersama rombongan penghibur dari Turki ke Surabaya dan sering menampilkan hiburan Stambolan (Stambul= Istambul). Ini menjadi cikal-bakal banyak kesenian tradisi yang kita kenal sekarang. Jombang adalah lahan perkawinan berbagai macam budaya, peradaban hingga kunci jatuhnya pasar saham tebu pada penghujung 1920-an sehingga terjadi yang kita kenal dengan The Great Depression akibat jatuhnya harga saham tebu hitam. Disitulah juga kaum tua perlu mengokohkan diri menghadapi krisis maha berat yang melanda seluruh dunia saat itu. Bila saat itu Jombang bisa membuat satu dunia krisis, bukan tidak mungkin dari mata air Jombang pula pada zaman ini dunia tercengang sekali lagi.
Nampaknya beberapa jamaah memancing agar Mbah Nun menceritakan kiprah nasab Mbah Nun tapi ditegaskan oleh Mbah Nun, “jasa nasab saya biar tidak usah dibuka-buka.” Namun ternyata kejadian membukanya kisah tersebut tidak terelakkan dengan hadirnya Kiai Muzammil yang dengan segera tanpa tedeng aling-aling bercerita mengenai kisah pembagian kitab, pisang, dan cincin oleh Syakhona Kholil kepada empat orang yang dipercaya pada masa itu. Bahkan Kiai Muzammil menambahkan cerita bagaimana peran “cincin” itu pernah diambil oleh paman Mbah Nun yang bernama Mbah Kiai Hasyim Latif yang pada tahun 80-an ketika NU mengalami ancaman perpecahan yang dahsyat antara kubu Cipete dan kubu Situbondo mampu didamaikan di rumah Kiai Hasyim Latif.
Namun tampaknya Mbah Nun tidak ingin berpanjang-panjang pada bagian tersebut, Mbah Nun lebih berkonsenstrasi pada sajian keilmuan dan kemesraan dengan mengolah tanya jawab dengan Kiai Muzammil. Beberapa selingan nomor KiaiKanjeng juga menenteramkan malam dengan lantunan shalawat-shalawat yang akrab bagi anggota ormas NU. Tapi tentu kita tahu, rata-rata shalawatan yang dilantunkan ini sudah ada jauh sebelum NU lahir. Ada kemudian satu pertanyaan yang oleh Mbah Nun dibuat menjadi semacam PR bagi jamaah, yakni mengenai resolusi jihad, apakah resolusi jihad dicetuskan oleh Mbah Hasyim sebagai individu, sebagai Indonesia, sebagai NU atau sebagai Anshorullah? Pertanyaan yang membutuhkan presisi ini mungkin memang baiknya dibawa ke rumah masing-masing karena butuh telaahan lebih, perihal sekarang yang banyak mengglorifikasinya adalah ormas NU tentu itu adalah disebabkan kecintaan dan keta’dhiman pada Mbah Hasyim.
Memang berlapis sejarah itu. Apa yang kita sebut data sejarah juga dituliskan pada masa tertentu yang punya semangat zamannya sendiri. Zaman ketika nasionalisme berkobar-kobar cenderung menuliskan segala versinya tentang nasionalisme, juga begitu bila pada saatnya zaman sudah tidak ada negara maka tidak menutup kemungkinan sejarah akan ditulis dengan semangat non-negara. Presisi dan waspada perlu dibangun sementara setiap sudut pandang sama berharga hanya beda tingkat kedalamannya tentu saja. Mbah Nun bahkan sebutkan,“kalau ada satu miliar manusia maka boleh saja ada miliaran mazhab.” Semua tidak ada masalah, bukan? Kecuali kalau kita takut kemapanan golongan kita terganggu, kecuali apabila ideologi madzhab kita sesungguhnya adalah kemapanan itu sendiri maka kita tidak rela bila orang menempuh jalan sesuai penemunya masing-masing.
Satu pertanyaan Mbah Nun kepada Kiai Muzammil menutup malam ini,“Pak Muzammil, Maiyah ini madzhab atau bukan?”
Kiai Muzammil sedikit terkejut tampaknya, kemudian dengan menata napas menjawab, “Maiyah adalah cara pandang baru dalam melihat Islam.” Demikian, berarti sah-sah saja menjadi madzhab. Wah apakah Maiyah mau bikin madzhab baru? Tapi boleh juga, rasanya koq berabad-abad hanya ada empat madzhab itu jadi bosan juga kita.
Tapi Mbah Nun menyatakan dengan lantang, “Maiyah menghalangi diri untuk menjadi lembaga madzhab.” Mbah Nun mengingatkan Maiyah ada bukan untuk memadat, bukan untuk menjadi struktur di mana berbagai orang terlanjur mapan di dalamnya sehingga mempertahankan eksistensinya. (MZ Fadil)