Sinau Bareng di Harlah NU (Bagian 3)
“Saya dukung semua. NU saya dukung, Muhammadiyah saya dukung. Teman-teman HTI kalau datang juga saya temani. Karena saya tidak berani bersikap tidak seperti yang dicontohkan Kanjeng Nabi shallallahu alayhi wasallam.” Ucapan Mbah Nun tersebut menggema di penghujung acara Sinau Bareng kali ini, di Alun-Alun Karanganyar dalam rangka ultah NU ke-93. Setelah berbagai kegembiraan, tawa serta sajian ilmu yang cukup dalam mewarnai malam ini, ucapan Mbah Nun yang ini agak membuat para jamaah terdiam dan merenung. Jamaah ibu-ibu yang sejak tadi suka berceloteh, tiba-tiba seperti memasuki mode silent moment. Acara cukup singkat malam ini untuk ukuran Sinau Bareng, pukul 00.04 WIB acara sudah memasuki ending. Mbah Nun menenangkan hati para hadirin bahwa walaupun tadi kita berharap agar tidak sampai lewat jam dua belas malam, tapi kalau ternyata lewat berarti kita anggap ini bonus dari Allah. Kalau bisa tepat waktu kita bersyukur karena presisi, kalau lewat kita syukuri kelebihannya. Begitulah hidup, Mbah Nun sampaikan begini, “Selalu temukan kembali kuda-kuda yang tepat untuk bersyukur kepada Allah SWT, itulah tajdid.” Hampir seabad usia NU dan malam ini para warga kebangkitan diajak untuk memperbarui, bertajdid. Melengkapi segala yang bisa dilengkapi selama perjalanan usianya.
Dan kita hanya bisa mengetahui apa yang bisa dan perlu kita lengkapi dalam diri kita manakala kita mengerti titik awal, intrik, dan dinamika perjalanan sejarah sehingga kita presisi ke arah mana tujuan yang hendak digapai. Sejarah bukan ilmu romantisme heroisme, glorifikasi penokohan, dan antagonimse pihak musuh belaka. Sejarah perlu kita gali untuk kita petik hikmahnya, dan bila tidak kita akan terjatuh pada penganutan buta. Bukan lagi jadi jamaah, tapi sekadar massa yang digerakkan tanpa mengerti arah. Sejak awal Mbah Nun tegaskan bahwa ini adalah Sinau Bareng. Bila ingin sinau maka perlu siap bertanya dan siap ditanya. Ini sudah dilakukan lama dalam Sinau Bareng, walau tentu karena kultur kita lebih dekat dengan pengajian satu arah, maka perubahan ke arah sana perlu waktu yang lebih tabah mental.
Di atas panggung tidak hanya Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Juga turut hadir jajaran pemerintah kabupaten Karanganyar, serta ketua PCNU setempat, pihak militer juga kepolisian. Agar semua terlibat, Mbah Nun mengusulkan bagaimana bila dalam sesi kuis, yang mana para hadirin diminta menjawab pertanyaan yang diajukan maka beberapa disediakan hadiah uang saku secukupnya. Dan Pak Bupati dibercandain Mbah Nun, “Kalau saya ngeluarin lima puluh masa ya sampean juga lima puluh?,” dan jadilah kemesraan itu. Uang hanya ilusi, sebagaimana batas negara, klub sepakbola, maupun simbol-simbol ormas itu semua hanya ilusi. Manusia yang menentukan bagaimana ilusi tersebut diperlakukan menjadi sarana kemesraan. Itulah yang terjadi, hadiah itu bukan hal utama malam ini. Tapi kemesraan di baliknya.
Seorang bapak beruban merata dengan kacamata, sempat menjawab satu pertanyaan soal siapa yang ikut menyokong berdirinya NU. Dengan mantap si bapak menjawab, “Kiai Kholil!” Mbah Nun mencobakan satu pertanyaan soal siapa yang membukakan lahan untuk tinggal Mbah Hasyim di Jombang. Sedikit bingung bapak ini, tetapi dengan mantap menjawab,“Mbahnya njenengan.” Dan, Mbah Nun membalas “Kowe koncoku koq ndadak njenengan itu lho. Mbok ngomong Mbahmu ngono ae” dan… terlalu polos juga si bapak, mantap sekali,“Nggih! MBAHMU!”; dan meledaklah tawa mesra yang tidak bertendensi merendahkan siapa-siapa itu. Sekali lagi, tidak satu pun tampak bahwa para hadirin terlibat dalam tanya jawab karena godaan uang. NU sudah mapan, hampir seabad, dia kakangnya NKRI. Tidak mungkin dia mencontoh adiknya yang masih remaja puber galau itu. Malam ini benar-benar terasa kita berada di negeri NU yang penuh kemesraan jelata yang nonningratisme dan nonfeodalisme. “Hierarkhi itu pasti ada, tapi menjadi feodal itu beda persoalan,” sempat Mbah Nun berucap semacam itu.
Negeri NU diajak kembali mengingat sejarah dirinya sendiri. Sebab bagaimana kita bisa menjadi bagian dari sesuatu, kalau kita tidak mengenal asal-usulnya? Bagaimana kita mau menggerakkan sesuatu apabila kita tidak mengerti arah thariq-sabil perjuangannya? Tanya-jawab malam ini berfungsi untuk itu, sehingga walau beberapa pertanyaan gagal dijawab dengan tepat oleh sebagian hadirin tapi mereka sudah bathi ilmu. Salah satu pertanyaan yang cukup menantang dan agak sulit dijawab oleh para hadirin misalnya mengenai Mbah Hasyim Asy’ari aslinya orang mana? Seorang kader ormas NU perempuan muda maju dengan tegas. “Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh. Saya akan coba menjawab. Mbah Hasyim aslinya orang Jombang!” tegas, mantap dan… “Salah!” tegas pula ditekankan oleh Mbah Nun. Tidak apa, Sinau perlu salah sedikit.
Kemudian Mbah Nun sedikit membeberkan beberapa data sejarah. Bahwa Mbah Hasyim adalah anak turun dari para “muhajirin” yang berasal dari daerah pesisir pulau Jawa di sekitaran Demak. Kadang kita perlu mengingat, bahwa Mbah Hasyim lahir sekitar dua tahun setelah R Ng Ronggowarsito meninggal dunia. Itu adalah masa ketika Terusan Suez dibuka dan perdagangan internasional menghadapi era baru, laju transformasi yang belum bisa dibayangkan oleh generasi-generasi sebelumnya seperti yang kita hadapi sekarang. Jadi Mbah Hasyim juga adalah manusia era peralihan. Generasi Syekhona Kholil mungkin seangkatan dengan orang tua Mbah Hasyim sendiri, ada pergeseran dari gelar Syaikh ke Kiai. Itu adalah salah satu cikal-bakal percekcokan PKI vs NU di kemudian hari, kita perlu kembali ingat bahwa terputusnya sejarah bisa berakibat fatal dan kita tidak boleh mengulangi hal yang sama lagi.
“Semasa mudanya Mbah Hasyim pernah mondok dimana?,” Mbah Nun kembali mengajukan pertanyaan. Kalau pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya para hadirin ingin ikut menjawab, yang kali ini cukup lama baru muncul jawaban-jawaban. Termasuk bapak tua dengan uban merata yang diceritakan pada paragraf sebelum ini. Ibu-ibu yang berrombongan di belakangan bahkan sempat berceloteh, “yo sopo sing ngerti yoo?” Sebenarnya cukup mudah untuk dilacak, walau tidak semua mungkin bisa kita dapat. Kala itu tradisi meguru ke berbagai tempat cukup akrab dan Mbah Hasyim muda pernah terrekam ada di beberap pondok, salah satunya di Langitan Tuban kemudian ke Syaikhona Kholil di Bangkalan. Namun kita perlu ingat, ada tradisi patron ala utsmani yang berbeda seperti sekarang, lebih mirip dengan Vatikan karena Utsmani sedang sengit-sengitnya dengan Eropa, sebelum jalur lautnya direbut. Kita tahu salah satu efek perang berkepanjangan adalah, kita akan menjadi semakin mirip dengan musuh kita. Bedanya, Utsmani masih menjaga tradisi kerajaan kaum muslim dengan tidak menandai wilayah berdasarkan bangunan fisik, melainkan menanam sosok yang layak jadi patron wilayah. Ada indikasi bahwa Syaikhona Kholil adalah tempat semacam “pengesahan” kaum Islam Jawa pada masa tersebut. Kata “Syaikhona” itu bukan sembarangan dipakai di zaman itu.
Kemudian tentu saja Mbah Hasyim berangkat berhaji dan mondok di pondokan Syekh Nawawi al-Bantani di Mekkah. Ini juga hal yang lumrah pada masa itu karena memang walaupun jumlah haji dari Jawa dan Sumatera selalu banyak namun mereka selalu memilih pondokan yang disediakan oleh yang sesama ras melayu. Pondok Syekh Nawawi al-Bantani cukup populer di kalangan Al Bilad al Jawi, di situ pulalah Mbah Kiai Ahmad Dahlan mondok dan sebenarnya juga bersama banyak sekali orang lain, namun kita mungkin tidak punya pencatatan sejarah yang mumpuni. Harap dimaklumi kalau reportasenya juga jadi ikut urun menjawab, sebab ada gemas-gemasnya ketika beberapa pertanyaan yang mendasar terasa sangat sulit. Kita belajar sejarah agar tidak hilang arah, bukan untuk pematungan sosok pujaan. Selebihnya, benar atau tidaknya kita tidak seratus persen mengetahui, semua hanya versi.