Sinau Bareng di 50 tahun SMA NU Al-Ma’ruf Kudus
Lima puluh jumlah tumpeng dan lima puluh wisuda khataman Qur’an pada malam hari ini, Senin tanggal 9 September 2019M di SMA NU Al Ma’ruf, Kudus. Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng digelar untuk memuncaki kemeriahan harlah ke lima puluh sekolah berlatar belakang pesantren ini. Para alumni sekolah juga pulang, berreuni ria. Reuni, re-unite, bersatu kembali. Untuk bergembira. Bukan sekedar ketemu mantan kenangan atau mencari celah oportunis dalam struktur dunia dengan memanfaatkan koneksi jaringan. Walau begitu juga tidak apa. Tapi malam ini yang menonjol memang kemesraan. Hanya kemesraan dan sudah. Sinau Bareng juga reuni, bersatu kembali. Menyatukan hati yang terpecah-pecah.
Siswa-siswi yang hadir malam ini berbusana putih-putih, duduk dipisah lelaki dan perempuan. Namanya remaja tentu ada kenakalan-kenakalan sendiri, beberapa bagian tubuh tumpeng tampaknya sudah berhasil diselundupkan dengan lihai. Sementara di panggung MC sempat menjelaskan pemaknaan tumpeng, yang merupakan satu singkatan kata bahasa jawa. Di banyak budaya memang sering ada kata-kata yang dicarikan kepanjangannya, lalu kemudian disematkan dalam versi sejarah lokal bahwa ini adalah pesan para bijak di masa lalu. Tapi mungkin memang ada yang benar-benar begitu juga. Aslinya kita tidak tahu apa-apa. Karena itu kita Sinau Bareng.
Tentu saja dalam satu-dua reportase tidak semua fenomena Sinau Bareng bisa tertangkap dalam bingkai kecil tulisan. Tulisan hanya deretan huruf dan aksara, manusia yang musti bisa mengkhalifahi nuansa.
Salah satu peristiwa Sinau Bareng malam ini, adalah ketika Mbah Nun mengajak seorang siswa bersuara merdu yang sangat cakap cara bersholawatnya. Tampaknya sang pemuda tidak punya persentuhan dengan Sholawat Tarhim sehingga walau bisa menirukan nadanya tapi pemuda ini tetap kesulitan untuk melantunkan. Pemuda qori’ idaman ini kemudian dibantu juga oleh guru SMA yang berada di panggung. Dan Mbah Nun membimbing keduanya sehingga terjadi kolaborasi dadakan. Dari situ Mbah Nun meminta pemuda tersebut membacakan ayat tentang sholawat dan denting “Pambuko” dari KiaiKanjeng sukses menjemput suara sang qori’ muda kita. Ini bisa kita sebut peristiwa Sinau Bareng karena akhirnya sang pemuda bersuara emas tadi mengalami pengalaman musikal. Tidak semua qori’ punya pengalaman musikal dan dalam Sinau Bareng yang terjadi adalah kita membagi pengalaman. Artinya pengalaman bukan sekedar dibagikan dengan diceritakan, tapi dibagikan maksudnya untuk ikut dialami oleh orang lain. Begitu itu asik kan?
Dalam Sinau Bareng yang menonjol selalu adalah kegembiraan. Ini mungkin paling mendekati bila disebut sebagai forum komunal. Dalam forum komunal manusia sering menciptakan imajinasi kolektif saat membajas sejarah dan itu tidak salah. Kelebihannya tentu manusia dalam forum komunal akan cenderung membangun kembali kebanggaan atas kejayaan, kebesaran dan cerita-cerita dari para orang tua. Forum komunal dibutuhkan karena dia menjadi api penyemangat dalam perjuangan dan sebagai patok jati diri manusia di dalamnya. Sehingga akan salah aoabila, forum komunal seperti Sinau Bareng dituntut untuk benar secara akademis. Walau ada juga kewaspadaan akademis yang terbangun dalam Sinau Bareng dan itu sering dilatihkan.
“Mumpung padhang atimu, berjuang!” berkobar kalimat Mbah Nun dari panggung. Para siswa-siswi tampak antusias, tepuk tangan menggema. Memang pada usia remaja yang diperlukan adalah sosok yang berapi-api dengan sedikit radikal-revolusioner. Tapi walau punya pesona semacam itu, Mbah Nun tidak menjadikan Sinau Bareng sebagai forum dimana beliau unjuk diri pamer ilmu apalalagi berposisi sebagai guru yang harus disendiko dhawuhi. Sinau Bareng, belajar bersama dan saling mengalami satu sama lain.
Kali ini dua kelompok, putra-putri diajak naik ke panggung untuk memberikan pengartian terhadap dua syair lagu: Berguru (untuk kelompok putri) dan Putra Masa Depan (untuk kelompok putri). Dan tentu KiaiKanjeng langsung juga membawakan dua nomer tersbut. Tampaknya dua kelompok mengartikan dua syaor itu dengan sangat baik, sehingga sangat mengesankan baik Pak Jalil maupun Habib Anis. Dua sesepuh ini diminta Mbah Nun untuk menjadi juri terhadap presentasi kawan-kawan kita.
Tentu kita juga berkesempatan menyimak pemaparan ilmu dari dua sesepuh ini. Pak Jalil memberikan dengan kecermatan khas ilmiah tafsir dan dalam pandangan beliau, nomer tersebut sangat berkaitan dengan sejumlah ayat kitab suci. Sedangkan Bib Anis justru sedang merasa terheran ketika mengetahui bahwa syair tersebut diciptakan Mbah Nun pada saat berusia dua puluhan tahun “Dua puluh satu tahun bisa bikin syair begini, itu darimana?”.
Rasanya mungkin keheranan Bib Anis terjawab dengan kalimat Mbah Nun dalam penghujung acara Sinau Bareng malam ini “Setiap tempat, setiap ummat, setiap qaum punya fadhillahnya masing-masing dan kalau tidak mengerti fadhillahnya akan tidak efektif berjalan ke depannya”. Setiap manusia bisa berguru pada tuhan secara langsung, tapi tuhan hanya menerima diri yang Dia ciptakan yang belum berpolusi budaya, ingatan, masa lalu, ilmu, istilah, bacaan, kitab dan banyak lagi. Ketika kita Sinau Bareng, inilah tujuan utamanya.