CakNun.com
Maiyahan Cak Nun dan KiaiKanjeng yang ke-4106

Sinau Bareng Bersyukur 62 Tahun Universitas Padjadjaran

Liputan Sinau Bareng Dies Natalis ke-62 Universitas Padjadjaran Bandung, Bandung 10 September 2019
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 6 menit

“Kita bersyukur dan senang karena kedatangan tamu sangat istimewa: Cak Nun,” kata Plt. Rektor Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Rina Indiastuti dalam pengantar Sinau Bareng untuk menayukuri Dies Natalis ke-62 Unpad di GOR Jati kompleks Kampus Jatinangor.

Bu Rina mengajak semua keluarga besar Unpad untuk melakukan refleksi atas diri almamater mereka maupun atas diri pribadi masing-masing. “Supaya kita lebih baik, dan selalu ingin melakukan segala sesuatu sebagai ibadah, dan memberikan manfaat buat orang lain.”

Universitas Padjadjaran adalah salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia dan umum (bukan kampus Islam seperti UIN), dan apa yang terjadi di Unpad tadi malam, shalawatan pembuka dan sambutan Bu Rektor, membuat Mbah Nun merasakan hal yang berbeda dari yang dibayangkan sebelumnya dan mengatakan, “Universitas sudah bangun dari komplikasi macam-macam”.

Mendapatkan undangan dari Unpad ini, menjadikan Mbah Nun berpikir keras kira-kira muatan apa yang akan diberikan termasuk lagu-lagu apa yang perlu dipersiapkan. Tetapi dengan situasi yang ada di Unpad tadi malam, Mbah Nun merasa bahwa lagu-lagu apapun akan masuk. Bahkan diajak shalawatan pun bisa semua. Ada suasana religius yang cukup kuat dirasakan Mbah Nun di dalam kampus yang sebenarnya brand-nya umum.

Bu Rektor ingin memanfaatkan kesempatan langka Sinau Bareng Cak Nun ini dengan memberikan porsi yang lebih besar bagi hadirin untuk bertanya. Pertanyaan-pertanyaan pun kemudian muncul sangat banyak, dan akan terus bertambah jika tidak dibatasi. Ada terasa dari para penanya bahwa mereka sudah lama juga ingin bertanya kepada Cak Nun. Mereka datang dari Unpad sendiri, kampus-kampus lain, maupun dari kategori non mahasiswa atau dosen. Setiap pertanyaan terasa kedalamannya karena ingin diperdalam kepada Cak Nun.

Pada bagian awal, merespons Bu Rina, ada beberapa hal yang disampaikan Mbah Nun. Dua diantaranya berkaitan dengan syukur dan prinsip pengayoman. Dari khasanah al-Qur’an ungkapan rasa syukur biasanya diambil dari ayat la-in syakartum la-azidannakum wala-in kafartum inna adzabi lasyadid. Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan pada kalian, dan jika kalian kufur, ingatlah sesungguhnya adzabku sangat pedih. Itulah kurang lebih arti ayat ini. Mbah Nun mengatakan la-azidannakum (ditambahi) di situ adalah relativitas. Artinya, kepada oranng yang bersyukur bisa saja Allah menambahinya satu kali lipat, dua kali lipat, empat kali lipat, dan seterusnya.

Allah juga punya sifat as-Syakur. Ini posisi psikologis. Posisi yang, menurut Mbah Nun, membikin orang mestinya pakewuh dan merasa malu. Memang Allah membutuhkan apa dari kita, kok bersyukur. Kalau Allah bersyukur, maka mengapa manusia tidak. Seharusnya itu membuat manusia bersyukur, apalagi mereka menjumpai diri mereka tak kurang suatu apapun. Mbah Nun lalu meningkatkan lagi. Biasanya sabar disebut sebagai pasangannya syukur. Kalau dapat rezeki kita bersyukur, dan kalau dapat musibah atau ujian, kita bersabar. “Kalau meningkat, sabar itu adalah satu bentuk syukur,” kata Mbah Nun.

Universitas dan Rububiyah

Berbicara di kampus Unpad ini juga membuat Mbah Nun ingat akan konsep dasar mengenai pendidikan yang sejak dulu diyakininya, yakni bahwa sepertinya ada beda antara universitas dan universalitas. “Saya dulu mikir-mikir sepertinya sarjana itu aslinya fakultas atau fakultatif, sehingga yang ada adalah paguyuban fakultas, bukan universitas. Kalau sarjana universitas mesti memakai metode universalitas alias kaffah, yaitu selalu ingat apa saja yang lain jika melihat sesuatu.”

Kemudian Mbah Nun memperkenalkan kepada Bu Rektor tiga term kunci yang diambil dari struktur surat an-Naas, yaitu rabb (rububiyah), malik (mulkiyah), dan ilah (uluhiyah). Sifat rububiyah atau pengayoman disebut pertama kali, sebelum sifat kekuasaan, dan sifat maha disembah. Menurut Mbah Nun ini mengandung pelajaran bahwa dalam memimpin, yang paling diutamakan adalah sifat pengayoman atau kasih sayang. Mbah Nun berpesan agar Bu Rektor dan para dosen memimpin kampus ini dengan prinsip pengayoman ini dan Mbah Nun sendiri mengatakan, “Saya menjumpai situasi penuh rububiyah di sini, pada ultah 62 Unpad.”

Ini sekaligus juga jalan Mbah Nun memperkenalkan satu dzikir atau wirid yang akan bersama-sama dibacakan oleh hadirin yang dibagi ke dalam empat kelompok. Kelompok pertama membaca la robba illallah, kelompok kedua la malika illallah, kelompok ketiga la ilaha illallah, dan kelompok keempat Muhammadur rasululllah. Dzikir beberapa saat ini berjalan lancar walau baru kali pertama diperkenalkan kepada mereka. Mereka menyerap dengan cepat. Dan sekali lagi Mbah Nun berpesan, “Baik itu rektor, atau jabatan apapun, metode utamanya adalah rububiyah.” Untuk mensyukuri 62 tahun Unpad ini kemudian Mbah Nun ajak semua hadirin melantunkan doa Khatmil Qur’an, sesudah sebelumnya diuraikan apa makna khataman.

Asiknya Bertanya Kepada Mbah Nun

Seperti harapan Bu Rektor, sesi pertanyaan dibuka sebagai jalan Sinau Bareng, dan banyak sekali yang mengacungkan tangan. Total akhirnya terhitung sekitar enam belas penanya, dan karena waktu terbatas harus dibatasi. Bermacam-macam pertanyaan mereka. Ada yang bertanya mengapa Rasulullah Muhammad itu dijadikan oleh Allah sebagai manusia terbaik. Ada pula pertanyaan: bagaimana seharusnya berbuat baik untuk Indonesia. Apa yang harus saya lakukan jika sesuatu yang saya yakini itu berbeda dengan kehendak orangtua, dan itu membuat saya ragu. Demikian satu pertanyaan berikutnya.

Seorang mahasiswa peternakan Unpad menanyakan kepada Mbah Nun bagaimana membedakan atau memahami “mencintai karena Allah” dan “cinta kepada Allah”. Dari fakultas yang lain, Fisipol, seorang mahasiwa bertanya tapi dengan mengapresiasi terlebih dulu momen Sinau Bareng ini bahwa dengan acara ini elemen-elemen di kampus dengan pejabat rektorat menjadi lebih dekat. Dia bertanya apakah jabatan yang dimiliki seseorang, menunjukkan lebih tingginya derajat dia di hadapan orang lain, misalnya rektor di hadapan mahasiwa. Ada Mbak dari Fakultas Psikologi, bertanya kepada Mbah Nun mengenai arti hijrah yang sekarang banyak diartikan sebagai beralih pakai jilbab, misalnya. Dan masih banyak pertanyaan lain.

Yang bertanya tidak hanya dari Unpad, tetapi dari UIN Bandung, ITB, UPI, kampus lain, dan kalangan umum, dan yang menyenangkan adalah cara mereka memperkenalkan diri mereka. “Saya bukan dari Unpad, tapi pernah tes di Unpad, tapi nggak keterima,” kata salah satu penanya. “Saya non-Unpad, bukan mahasiswa juga sih…,” kata yang lain. “Saya dari UPI, adiknya Unpad…,” kata yang satunya Unpad. Pokoknya semua dihubungkan dengan Unpad, walau tak berhubungan. Dan ini membuat suasana tanya-jawab jadi enak. Bu Rina dan jajaran wakil rektor terlihat menikmati suasana di mana di kampusnya banyak yang datang dari luar berkat Sinau Bareng dan itu berarti mereka turut mendoakan dan mensyukuri ultah Unpad lewat Sinau Bareng ini.

Satu per satu semua pertanyaan itu dijawab oleh Mbah Nun. “Mencintai karena Allah dan cinta kepada Allah itu seperti api dengan panasnya, gula dengan manisnya, ayam dengan kokoknya. Itu dialektika. Mencintai Allah, berarti juga mencintai yang lain. Jangan dianalisis unsur-unsurnya. Ambil senyawanya. Itu tasawuf, alami saja. Kalau filsafat, bisa saja, tapi melebihi batas. Tak ada jawabannya di situ. Kok Anda adalah Anda bukan dia. Puncak kepandaian adalah sadar banyak yang tidak Anda ketahui, maka nikmati keberserahan kepada Allah.” Itulah jawaban Mbah Nun untuk pertanyaan mengenai mencintai karena Allah.

“Anda yang luas jangan mau ditekan oleh kesempitan. Anda perlu memiliki metode mental dan psikologi dalam arti jika Anda ketemu apa-apa, perlu ada kategorisasi dan rubrikasi. Ada yang perlu dimasukkan hati, ada yang tidak. Ada yang perlu digenggam oleh tangan kanan, dan ada yang cukup tangan kiri.” Ini jawaban kepada Mbak yang bertanya mengenai fenomena hijrah di keislaman kontemporer perkotaan. Sejurus dengan ini Mbah Nun berpesan kepada Unpad untuk membiasakan para mahasiswanya mempunyai elastisitas sehingga tidak gampang puritan.

Ada yang bertanya mengenai bagaimana cara bersyukur justru pada saat mengalami kegagalan. Menurut Mbah Nun, itu semua soal waktu. Pelajarilah asro biabdihi lailan. Disebut gagal kan itu kesimpulan hari ini. Besok mungkin tak akan disebut gagal lagi. Hidup tak pernah berpijak di satu titik, melainkan dinamis dan bergerak terus. Seorang yang lain mengemukakan dirinya terlalu pasrah dalam menjalani hidup ini. Mbah Nun merespons, “Ya Anda punya akal pikiran, nanti pasti Anda akan membantah sendiri keyakinan itu. Mungkin Anda sedang capek. Sebab aslinya adalah keberbagian antara Allah dan manusia. Ada rasionalitas aqliyah yang wajar di situ.”

Itulah beberapa petikan jawaban Mbah Nun atas pertanyaan para hadirin, yang rasanya menjadikan Sinau Bareng tadi malam lebih banyak digunakan mereka untuk konsultasi dan minta bimbingan kepada Mbah Nun. Seorang yang sedang mengalami masalah keragu-raguan juga diberi panduan wirid dan dzikir. Masih banyak jawaban, suasana, dan kedalaman-kedalaman emosional antara penanya dengan Mbah Nun yang tak mungkin tergambarkan dalam liputan singkat ini. Juga suasana keseluruhan dari awal hingga akhir acara.

***

Menjelang pukul 23.00, Mbah Nun segera memuncaki acara dengan mengajak semua hadirin dan narasumber masuk dan menikmati suasana Indonesia melalui komposisi musik KiaiKanjeng berjudul Medlei Era. Semua diajak bergembira, tetapi tetap ingat tanah air tempat mereka tinggal, dan tetap ingat akan kekayaan kebudayaannya yang kali ini diwakili oleh berbagai genre musik dari berbagai era pula, menyusur dari Maju Tak Gentar, Hitam Manis, Kisah Kasih di Sekolah hingga Ruang Rindu. Mereka semua yang duduk di lapangan sepakbola GOR Jati ini berdiri bergembira, turut mensyukuri 62 Unpad. Dan doa penutup dimintakan Mbah Nun kepada Kiyai Muzammil yang tadi malam turut hadir dan ikut pula merespons beberapa pertanyaan.

Selamat ulang tahun ke-62, Universitas Rububiyah Padjadjaran.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik