Simfoni Manfaat, Sinau Bareng Panen Raya
Hari mulai surup, masyarakat Simorejo, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban, berduyun-duyun memenuhi lapangan. Kali ini Sinau Bareng digelar dengan tajuk Tasyakuran Panen Raya. Warga, lewat Pak Kades, bungah atas terselenggaranya acara itu. Pasalnya masyarakat Simorejo telah tujuh tahun menanti Cak Nun dan KiaiKanjeng datang ke desanya.
Sejak tahun 2012 mereka merencanakan mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng. Akhirnya bulan ke-11, tahun 2019, impian itu tertunaikan. “Saya tidak bisa ngomong banyak. Hanya bisa menangis karena mewujudkan cita-cita sejak tahun 2012. Ingin menghadirkan beliau,” tuturnya.
Meski Cak Nun sedang kurang sehat, acara malam itu berlangsung khidmat. Pada pembukaan acara Mbak Novia menuturkan kalau Cak Nun sedang diberi anugerah sakit, namun masih menyempatkan hadir. “Saya sangat bersyukur malam ini, walaupun Cak Nun sedang tidak enak badan, tetapi masih membersamai warga Tuban,” ucapnya.
Mbak Novia mendampingi Cak Nun dan berperan di sela-sela dialog. Mas Imam, Mas Jijid, dan Mas Doni juga berbagi penokohan selama memandu acara. Terlihat jelas betapa KiaiKanjeng bukan sebatas orkestrasi musik, melainkan juga simfoni berbagi peran.
Haji Sartono, Camat Widang, menyampaikan apresasi setinggi-tingginya kepada masyarakat yang telah ikut merayakan panen raya.
Menurutnya, “Panen sebagai tema yang dipilih kesempatan Sinau Bareng ini bisa menjadi refleksi. Panen tentu saja bukan hanya hak masyarakat sekitar, melainkan juga para fakir miskin maupun yatim-piatu. Kita harus tolong-menolong. Bisa bahu-membahu di antara masyarakat. Kita juga harus membantu warga di wilayah lain,” paparnya.
Mas Jijid dan Mas Doni mengawali dengan meminta audiens untuk ke panggung. Mereka dibagi menjadi tiga kelompok. Cak Nun meminta audiens dari kawula muda. Sesi ini mengajak mereka untuk bekerja sama dalam merumuskan sejumlah pertanyaan. Sebagaimana ujaran Cak Nun di beberapa kesempatan Maiyahan sebelumnya, orang cerdas itu ketika mampu merumuskan pertanyaan, bukan sekadar mampu menguraikan jawaban.
Atas dasar itulah anak muda yang diajak ke panggung kemudian berdiskusi sejenak di masing-masing kelompoknya. Mereka diminta mendaftar pertanyaan apa saja yang nantinya disampaikan ke publik. Beberapa pertanyaan seputar dua hal. Pertama, Allah juga mempunyai sifat Asy Syakuur (Maha Bersyukur) lalu bagaimana penjelasannya. “Allah kok bersyukur,” gelitik salah satu penanya. Kedua, apakah pemerintah Indonesia juga pernah melakukan acara syukuran seperti desa Sumorejo ini.
Pertanyaan demi pertanyaan diucapkan secara bergantian. Cak Nun kemudian meminta tiap kelompok saling merespons. Para sesepuh Simorejo juga mendapatkan kesempatan serupa. Di sinilah letak esensi Sinau Bareng: tiap orang adalah narasumber, pertanyaan dan jawaban merupakan bukti saling belajar. Tentu saja pertanyaan bisa beraneka, jawaban dapat relatif.
Terhadap pertanyaan Allah Yang Maha Syukur tersebut Cak Nun merespons. “Allah saja yang memberikan segala sesuatu kepada manusia bersyukur, masa manusia yang diberi sama Allah tidak bersyukur?” Jawaban reflektif demikian memberi makna betapa Tuhan memberikan contoh riil kepada manusia. Syukur menitikberatkan pada rasa terima kasih. Kalau Yang Maha saja melakukan demikian, maka sudah barang tentu manusia juga mempraktikkan jua.
Sedangkan untuk pertanyaan kedua, jawaban mengucur dari perwakilan mahasiswa. “Pemerintah Indonesia, kami kira, belum melakukan acara tasyakuran seperti ini. Pemerintah sekarang hanya merayakan tasyakuran untuk partai-partai saja. Tidak tasyakuran secara nasional. Yang ada untuk kepentingan partai,” ucapnya.
Jawaban yang disampaikannya begitu kritis. Ia berpendapat walau pemerintah acap bilang demi kepentingan kolektif—bangsa dan negara—tapi kenyataannya justru masih dikalahkan oleh primordialisme masing-masing partai.
Pada sela-sela diskusi, Cak Nun memberi pesan. Masyarakat Simorejo diminta supaya guyub-rukun. Dengan mewedar contoh Pilpres beberapa waktu silam, Cak Nun sekaligus memberikan kritik konstruktif. “Sebelum Pilpres, saya sudah usul supaya dibikin musyawarah. Kepala negara berikut wakilnya. Dan kepala pemerintahan berikut wakilnya pula. Tapi ternyata saling bertarung di Pilpres. Setelah Pilpres malah bersatu dalam kabinet. Lantas apa gunanya Pilpres kemarin?” tandasnya.
Cak Nun berpikir bahwa kalau sejak awal berunding atau musyawarah, maka tak akan ada keretakan sosial yang amat parah di lapisan masyarakat. “Kalau mereka bilang demi bangsa dan negara, kenapa sejak awal tidak musyawarah?” tuturnya. Konteks kenapa Cak Nun mengutarakan demikian karena kesempatan Sinau Bareng juga disisipi permainan mengasyikan yang dipandu Mas Jijid dan Mas Doni. Permainan itu berupa menyanyikan bersama lagu Topi Saya Bundar.
Permainan anak ini membagi dua kelompok. Mereka diminta konsentrasi dan mengikuti instruksi. Ternyata pada pertengahan permainan, kedua kelompok kehilangan titik fokus. Bahkan beberapa orang tak seirama, meskipun sesama kelompok. Di situlah letak kekompakkan dan kepemimpinan yang seyogianya disemai.
Permainan mikro itu mampu mengilustrasikan kondisi Indonesia secara luas: memimpin dan dipimpin tak semudah mengucapkan, namun membutuhkan daya kompetensi kepemimpinan yang harmonis. “Yang penting sekarang sinau kompak. Apa pun yang terjadi di Jakarta, di desa Simorejo ini semoga tetap guyub rukun. Kompak selalu,” pesan Cak Nun.