Seribu Wajah di Cermin Ramadlan
Mungkin karena puasaku sedikit membersihkan batinku, maka sangat tampak oleh pandangan mataku beribu bayang-bayang wajahku sendiri, yang terpantul dari sekitarku.
Kalau bayangan wajahku adalah budayawan, sastrawan, seniman, pekerja ilmu, Ustadz, Kiai, bahkan seakan-akan Ulama, Mursyid dan sejumlah bayang-bayang lagi — itu template rutin dan klise lama.
Tapi ada yang keterlaluan: wajahku ditutupi wajah Nabi. Aku dianggap tidak punya kesalahan. Padahal (mengutip Abu Nawas): “dzunubi mitslu a’dadir-rimali”, dosaku menghampar seperti pasir memenuhi sabana.
Ada juga yang gila: aku dituhankan, dianggap bisa mengabulkan doa, menaburkan hidayah dan menabur qabul. Istighfarku 1000x hidup tak cukup untuk mengeliminirnya.
Padahal, yang paling mendekati kebenaran adalah aku berwajah Iblis: tidak ada titik yang bukan perbuatan buruk. Bahkan kalau terdapat satu dua goresan kebaikan, ternyata itupun bagian dari keburukanku.