CakNun.com

Sengkuni2019 Hingga Tari-Tarian Tauhid di Maiyah

Catatan Majelis Ilmu Mocopat Syafaat, 17 Januari 2019
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 9 menit

Logika Tauhid Menghadapi Pandangan Materialisme Agama, Ya Sholat ya Menari

Mbak Nanik kembali dipersilakan berbicara dan kali ini Mbak Nanik menceritakan segalanya, walau tidak berencana untuk itu. Mungkin, karena memang Mbak Nanik sangat feels like home di Maiyah sehingga apa yang inginnya dia tahan akhirnya tumpah juga. “Saya tadi di dalam tidak sempat bertanya apa-apa sama Mbah Nun tiba-tiba Mbah Nun menjawab semuanya seperti tau apa yang ingin saya tanyakan.” Ternyata Mbak Nanik mengalami benturan di mana orang-orang yang disayanginya termasuk anak kandungnya sendiri, yang setelah perceraian Mbak Nanik anak-anaknya dibawa oleh mantan suaminya dan dimasukkan ke pondok pesantren. Anak-anak dan mantan suami Mbak Nanik merasa apa yang dilakukan oleh Mbak Nanik ini adalah perbuatan musyrik dan bid’ah juga mempertontonkan aurat karena kostumnya hanya sampai betis.

Mbah Nun sempat merespons, “Tadi ora ketok betis, yang tampak adalah keindahan” dan inilah menurut Mbah Nun sumber pertengkaran kita. Karena kita menilai agama dari sudut pandang materialimse dunia. Kita beragama dengan tolok ukur katon, mungkin pandangan teologis sebagian kita belum beranjak dari kesadaran seperti yang dilukiskan William Blake dalam lukisannya yang berjudul The Ancient of Days. Urizen, Tuhan yang memegang jangkar pengukur. Tuhan dengan ukuran-ukuran matematis, baku dan beku. Kritik dan sindiran sosial tahun 1700-an itu masih faktual saja. Jumlah pahala, jumlah anggota badan yang boleh dan tidak boleh terlihat, jumlah wiridan, semua kita ukur dengan ukuran matematis manusia (yang-nilai-matematikanya-ndak-bagus-bagus-amat-juga-kayaknya, maaf, yang dalam kurung ini tambahan tidak perlu). “Orang yang selalu mengurusi soal jasad, karena matanya mata fisik dan libido,” ungkap Mbah Nun, rasanya kalimat itu menjelaskan banyak hal sekaligus. Di Maiyah kita berusaha menggunakan logika tauhid, di mana segalanya saling berkaitan satu sama lain menuju kemanunggalan. “Sebuah tarian bisa kita maknai sebagai sholat bahkan sholat itu sendiri bisa bermakna tarian juga dari sudut pandang tertentu”. Kata-kata Mbah Nun itu disimak betul oleh Mbak Nanik dan memang bagi Mbak Nanik, tariannya ini adalah “Satu-satunya cara berdoa yang saya tahu”.

Malam ini tampak raut bahagia terpancar dari Mbak Nanik, dan gelar baru disematkan kepadanya. Pak Tanto menyebutnya “Muslimah Maestro Tari” bahkan mendorong untuk dibuat hashtag kalau perlu diviralkan. Pak Toto alias Kiai Tohar punya strategic thinking yang tidak kalah ciamik. “Sesekali teman-temen Maiyah di Cirebon mengadakannya di sanggar Mbak Nanik dan baca-baca Al Qur’an. Ojo koyo aku, aku wes terlanjur ora iso”. Dan ini ditanggapi Mbah Nun, “Baru kali ini ya pengajian tapi kiai-nya bilang jangan nyontoh dirinya. Selama ini kan selalu Kiai minta dicontoh terus sama santri-santrinya. Apik to ngene iki?” disambut semburat tawa dari JM dan Mbak Nanik tampaknya sudah riang dan plong.

Mbah Nun dan atmosfer di Maiyah menerima segalanya dan penerimaan itu ternyata adalah kunci bagi membukanya ruang-ruang yang saling mengamankan. Seperti temuan Mas Karim, yang dianggap ancaman bagi Maiyah bukanlah manusia atau golongan, tapi cara pandang yang keliru dan kurang jangkep. Itulah salah satu kunci terhadap peradaban yang lebih mesra di masa depan. Pukul 03.00 WIB ternyata sudah hinggap, malam ini Kenduri Cinta akan digelar di Jakarta. Mbah Nun meminta Mbak Nanik ikut menyalami para jamaah di penghujung acara dan tanpa keberatan Mbak Nanik, bahkan bukan saja tanpa keberatan tampaknya justru sangat gembira mendapat sedulur-sedulur baru. Salah satu ciri yang bisa kita amati, orang Maiyah suka sekali bertemu dengan orang baru siapapun itu. Pejuang silaturrahim memang orang-orang Maiyah ini.

Lainnya

Topik