CakNun.com

Sengkuni2019 Hingga Tari-Tarian Tauhid di Maiyah

Catatan Majelis Ilmu Mocopat Syafaat, 17 Januari 2019
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 9 menit

Jangan Ambil Hak Tuhan, Teliti Maiyah Seumur Hidup dan Temukanlah Ayat-Ayat Allah yang Tidak Difirmankan

Mbah Nun segera merespons dan mengaitkan dengan kondisi berpikir kita yang dikepung kesempitan-kesempitan ini. “Umpama bener haram, bukan hak kita mengharamkan.” Banyak dari kita sekarang ini disebut oleh Mbah Nun seperti ingin mengambil posisi Tuhan. Seolah bisa menentukan kebenaran dan kesesatan dengan bekal pemahaman sempit kita.

Bahasan berlanjut kepada Pak Tanto Mendut yang menjelaskan secara liar. “Cirebon beruntung karena tidak diatur pakem-pakem ahlusunnah waljamaah atau apalah itu”. Agak susah mengambil kutipan dari Pak Tanto karena cara penyampaian beliau yang khas asosiatif, beliau bisa menjelaskan kultur Cirebon yang merupakan hibrida dari dua budaya padat yang sudah ada sebelumnya kemudian loncat pada perang Bubat, loncat ke Maroko, ke Puerto Rico dan entah berapa banyak lagi referensi budaya. “Di Arab tidak ada jathilan karena mau kesurupan hewan apa? Kan referensi binatangnya terbatas, masa kemasukan arwah onta?” Santai saja Pak Tanto menjelaskan, khas juga cara beliau duduk memeluk lutut tapi pikiran dan kata-kata sudah mengembara ke seantero peradaban yang pernah lahir di dunia ini.

Peristiwa unik terjadi ketika KiaiKanjeng membawakan nomer “Manungso (Man on the Land)”. Pak Jujuk Prabowo lantas mengiringi lagu tersebut dengan komposisi gerak dan tari, entah kapan ada latihan bersama tampaknya tidak pernah ada. Tapi gerak Pak Jujuk dengan pakaian hitam dan topeng yang dikenakan beliau membuat lagu syahdu tersebut menjadi sangat bernuansa mistis.

Keliaran Pak Tanto juga diseimbangi dengan elaborasi yang rapi secara akademis oleh Mas Karim yang sedang menyelesaikan peelitian untuk disertasinya di Amsterdam. Sudah tiga kali berturut-turut Mas Karim mempresentasikan temuan-temuannya di Maiyah dan tampaknya ini tidak habis-habis selalu ada yang baru yang Mas Karim temukan. Karena ini sebuah studi akademis maka Mas Karim memang butuh mengkomparasikan, sehingga pada penelitian mengenai agen keamanan non-state Mas Karim mengambil sample pembanding dari Banser. Sempat Pak Tanto Mendut sampaikan ke Mas Karim bahwa untuk kepentingan kuliah, memang diselesaikan saja secepatnya tapi untuk betul-betul meneliti Maiyah, “teliti Maiyah sampai seumur hidup kalau perlu sampai mati.”

Pernyataan Pak Tanto ini disetujui oleh Mbah Nun dan untuk pegangan Mas Karim, Mbah Nun berpesan tiga hal yakni betul seperti kata Pak Tanto teliti Maiyah seumur hidup, ada peta konflik yang terjadi sekarang ini yang sumbernya berasal dari jauh sekali di masa lalu di sebuah jalur dengan bentuk jalan zigzag di Jombang dan efeknya kita tuai sekarang. Ini belum akan dibabarkan dengan detail oleh Mbah Nun. Kedua, Mayah mengerjakan yang tidak dilakukan oleh negara padahal semestinya itu tugas negara yaitu mengolah manusia. Maiyah belajar untuk menuju pada keutuhan “di tengah masyarakat yang cacat logika” dan ketiga, sejauh untuk kepentingan penelitian, tak apa membandingkan Maiyah dengan Banser tapi perlu disadari Maiyah dan Banser bukan sesuatu yang apple to apple “Banser gede, Maiyah gede ndak kecil juga ndak,” ucap Mbah Nun.

Kita tidak mengklasfikasikan secara padat mana Maiyah dan mana bukan Maiyah. Tapi atmosfer terasa juga bahwa di luaran sana orang sering saling salah paham terhadap kata-kata orang lain. “Di Maiyah kita tidak pernah marah satu sama lain karena kita berusaha agar cara berpikir kita tepat,” ungkap Mbah Nun dan kemudian Mbah Nun mengajak kita untuk naik kelas lagi. “Dan kalau hati Anda sudah jernih, sudah clean dan clear persoalan di dalamnya carilah ayat-ayat Allah yang tidak difirmankan.”

Lainnya

Exit mobile version